Spektrum
Politik dalam Radar Ekonomi
Jusman
Dalle,
Analis Ekonomi-Politik Fakultas Ekonomi
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
SUMBER : SUARA KARYA, 27 Maret 2012
Suhu politik nasional kian memanas dan menggerahkan. Eksesitisme
perseteruan elite ditabuh seirama momentum Pemilu 2014 yang kian dekat.
Hingar-bingar yang kadang menjadi tontonan menggelikan dan menggelitik itu, tak
lepas dari disain strategis untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Mengikuti sloganisme yang menyeruak sebagai bentuk kanalisasi isu
dan upaya political branding, filosofi perang ala jenderal dan filusuf perang
Tiongkok, Sun Tzu, bahwa pertahanan paling baik adalah menyerang, kini mulai
diimplementasikan.
Jika awal Januari lalu, sejumlah elite politik berseteru mulut dan
saling menyerang menggunakan asosiasi aquatic yang negatif, seperti sebutan
politisi 'ikan teri', 'ikan salmon', 'ikan piranha' dan 'ikan koi', maka
perseteruan awal Februari ini selevel lebih maju. Bukan lagi ejek-ejekan ala
politikus Taman Kanak-Kanak seperti yang pernah disindirkan mendiang Gus Dur,
tapi sudah pada bentuk serangan konkrit dengan membawa kasusnya ke ranah hukum.
Kebisingan-kebisingan yang diciptakan politisi itu, mencitakan
irama demokrasi di Indonesia. Tentu bukan hal yang menguntungkan ketika
momentum ekonomi butuh stabilitas untuk mendukung rangsangan pertumbuhan yang
lebih baik di masa mendatang setelah berbagai prestasi berhasil ditorehkan.
Harus diingat bahwa dua peringkat investasi yang diraih dari dua lembaga
pemeringkat internasional di bidang investasi, yaitu Fitchs Rating Ltd dan Moodys
Investors Service, salah satu alasannya karena stabilitas politik Indonesia
masih dipandang tidak mengganggu investasi. Namun, jika trend politik menuju
Pemilu 2014 masih seperti saat ini, tak dapat dijamin tidak adanya kekhawatiran
investor asing membiakkan modalnya di Indonesia.
Pemerintah dan semua komponen bangsa harus menyadari bahwa di luar
Eropa dan Amerika, ada banyak negara yang memiliki predikat investasi. Utamanya
negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang merupakan kompetitor utama
Indonesia untuk kawasan Asia. Sebagaimana dikutip dari keterangan resmi
masing-masing, Fitchs dan Moodys,
setidaknya ada empat alasan memasukkan Indonesia ke level investment grade.
Pertama, alasan sektor finansial Indonesia yang telah selaras
dengan negara-negara pada level rating utang Baa.
Kedua, alasan pertumbuhan. Di tengah krisis global dan ancaman
resesi, Indonesia masih memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga 6,6
persen (data tahun 2011), melampaui target 6,5 persen yang sebelumnya
ditetapkan pemerintah. Ini berarti perekonomian Indonesia tahan terhadap
guncangan eksternal yang besar.
Ketiga, policy yang
diambil oleh pemerintah dianggap mampu mengatasi kerentanan keuangan.
Keempat, sehatnya sistem perbankan kita sehingga bisa eksis dan
bertahan dari stress test.
Sementara itu Fitch juga beralasan memberikan predikat investment grade kepada Indonesia,
seperti dirilis pada Desember 2011 lalu.
Pertama, seperti juga Moodys, Fitchs memandang ekonomi Indonesia
memiliki imunitas yang cukup kuat karena berakar pada konsumsi domestik yang
besar. Hal ini terbukti pada ketangguhan ekonomi yang diuji oleh krisis
finansial di AS pada 2008 dan krisis utang di Eurozone yang belum bisa diraba kapan
berakhirnya.
Kedua, utang Indonesia memiliki rasio yang relatif kecil terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB). Yaitu, pada angka 26 persen, jauh di bawah median
'BBB' sebesar 36 persen. (detikfinance.com).
Ini berbeda jika kita komparasikan dengan negara-negara maju, seperti AS dan
negara-negara Eurozone yang malah terlilit utang hingga melampaui PDB. Bahkan,
negara sekelas Jepang yang tergolong maju, memiliki utang sebesar 217 persen
terhadap PDB.
Ketiga, dibanding negara-negara lain, bahkan dengan ekonomi
terbesar di dunia seperti AS yang hanya mampu tumbuh rata-rata 2 persen sejak
krisis 2008 lalu, ekonomi Indonesia dipandang memiliki progresivitas yang
meyakinkan dengan pertumbuhan rata-rata di atas 6 persen per tahun. Pertumbuhan
yang besar ini diproyeksi hingga 2013.
Keempat, menurut Fitch, seperti juga Moodys, kepercayaan yang
lebih tinggi atas kerangka kebijakan makro ekonomi. Di antaranya, pemerintah
bersedia untuk mengetatkan kebijakan jika inflasi mencapai single digit yang tinggi, dan kebijakan fiskal yang cermat dan
hati-hati.
Kebijakan ini tentu tidak lepas dari instrumen-instrumen politik.
Kita coba lihat, misalnya, pada inisiatif menaikkan atau membatasi penggunaan
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang kemudian ditunda karena berbagai penolakan,
termasuk dari sejumlah kekuatan di lembaga politik, DPR.
Kasus penolakan kenaikan BBM ini, jika saja diimplementasikan,
tentu menjadi mainan politik yang sangat cantik digoreng liar ke sana ke mari.
Digiring pada wacana Pemilu 2014. Akhirnya, kebijakan tersebut lebih berbau
politis ketimbang memperhitungkan kepentingan rakyat.
Maka, dalam kerangka ekonomi, berbagai dinamika politik harus
dijaga ritmenya. Spektrum politik dalam radar ekonomi harus tetap seimbang. Tak
mengorbankan demokratisasi yang sedang kita coba perkuat dengan apology dan
klaim kerakyatan. Tapi, tak juga membebani atau bahkan merusak capaian-capaian
ekonomi yang tujuannya sejalan dengan cita-cita demokrasi Indonesia, yaitu
wujudnya kesejahteraan rakyat.
Sebagai manusia modern yang hidup di tengah keterbukaan, tentu tak
sempurna kesejahteraan yang diraih tanpa disertai proses demokratisasi. Karena,
demokratisasi memberikan apresiasi atas kapasitas individu dan kolektif
sekaligus. Pun sia-sia jika kita berdemokrasi namun hidup dalam keterpurukan.
Maka, mensinergikan kedua sektor ini, yaitu ekonomi dan politik merupakan
pekerjaan besar dan tugas kolektif sebagai umat demokrasi dan anak bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar