Kere Gemple Gandulan Bale
Tandi Skober, Budayawan
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 31 Maret 2012
PEMBACA
amarah rakyat (27/3) ketika harga BBM akan dinaikkan mengingatkan saya akan
sebuah ruang purba ketika rakyat Cimanuk Indraprahasta tapa pepe (jemur diri) di halaman depan Istana-protes terhadap
despotisme penguasa Kalikeling. Era itu, seperti halnya saat ini, ditengarai
sebagai zaman yang terperangkap pada isu gombal anomanik. Jelang petang dan di
setiap matahari terbit petugas keraton menabuh kemlong ambarang wayang yang
mengabarkan bahwa armada Mahapati Gajahmada akan memasuki Pajajaran melalui
Pelabuhan Cimanuk. Ketika warga mau tidur, dituturkan tragedi kisah-kasih Dyah
Pithaloka-Hayam Wuruk yang berakhir pedih di Bubat pada Selasa Wage, sebelum
tengah hari, tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka.
Tak
pelak, suasana begitu mencekam. Luka Bubat menjadi megatruh getah getih yang
menyakitkan hingga dari setiap lembar kain berwarna hitam selalu terlihat
percikan darah yang amis. Mendung pun menjadi pamayung galau di pusat kekuasaan
Galuh. Air mata Pasundan dilarung di Sungai Cimanuk. Rakyat menunduk, gerimis
menjadi bidadari angin yang meninting roh Dyah Pithaloka yang gugur di Bubat.
Mata sunyi Putra Mahkota Prabu Niskala Wastu Kancana, meski masih berusia di
bawah umur, tahu pasti ada deret derita dari keseluruhan cerita hanya untuk apa
yang disebut kursi permaisuri Hayam Wuruk.
Mata Lapar
Ihwal itu membuat penguasa Cimanuk, Kalikeling, tidak
hanya memproteksi secara ketat pelabuhan, mengawasi jongkong-jongkong yang lalu
lalang di mulut laut, juga memberlakukan penimbunan bahan pangan di Lumbung Pari
termasuk pembunuhan sistemis terhadap siapa saja yang memiliki garis genetika Majapahit.
Kebijakan tersebut tentu menyengsarakan rakyat. Jongkong tidak lagi melaut. Andaipun
melaut, jongkong tak lagi pulang membawa ikan sebab ombak laut melipati banyak mayat.
Gerimis pun berbau amis darah. Tidak hanya itu, lihat tidak sedikit rakyat yang
berebut sisa nasi di daun jati atau mereka yang memakan ampo yang terbuat dari tanah
liat.
Sebab itulah rakyat berduyun-duyun tapa pepe. Dari
tapa pepe itulah lahir mitos Kere Gemple Gandulan Bale. Kenapa? Pada
saat tapa pepe itulah terdengar gumam yang pedih tentang deret derita
tak terukur. ‘Belimbing keris panca warna/turun tangis saban dina/mikiri
urip kaniyaya’.
Mitos ruang purba bernama Kere Gemple Gandulan Bale ini
tidak hanya bermakna kemiskinan absolut, itu lebih jauh kerap ditafsirkan sebagai kemiskinan (kere), ketidakberdayaan (gemple), pengharapan terhadap kearifan
penguasa (gandulan bale). Malangnya bale
sebagai simbol singgasana wong duwur --yang mestinya berpihak kepada wong--tidak
lagi menjadi jargon kelembutan pemegang kasih sayang pemegang payung kekuasaan.
Tapa pepe rakyat Kere Gemple itu berlangsung
tiap hari, terus-menerus, terus-terusan hingga hanya dalam rentang waktu
singkat peserta tapa pepe memadati
tanggul-tanggul Cimanuk. Dalam lanskap terik matahari yang retak, mereka zikirkan
kere gemple gandulan bale. Mereka berharap Kalikeling membuka wuwungan
atas lumbung padi dan membagikan kepada rakyat seikat dua ikat padi.
Harapan itu tinggal hanya harapan. Kalikeling kian
arogan. Bahkan, pada malam-malam tertentu, kaki tangan Kalikeling diam-diam
menculik sesepuh tapa pepe. Esok hari, saat matahari membuka mata lapar
rakyat, mereka lihat sesepuh itu sudah tertancap di ujung bambu, di dermaga
pelabuhan.
Hingga muncul tokoh Ki Mardiah! Siapa dia? Itu tidak
terjelaskan. Namun dari berbagai artefak yang ditemukan di garis barzah Pelabuhan
Cimanuk, ia dikenal sebagai sosok penari Pandji. “Ki Mardiah itu selalu muncul saat
purnama n a d a d a r i , ” ucap kakek saya. Saat itu, Ki Mardiah sedakep
sinuku tunggal menghadapi kedok Pandji, getah putih dan getih merah.
Sabda Palon dan Naya Genggong menabuh gending Manunggaling Kawula Gusti. Adapun
keluarga raja—yang berseberangan dengan Kalikeling mematut diri bersimpuh di hadapan
jasad telanjang cah ayu Dewi Lanjar.
Ritual
Tari Pandji pun bergerak dalam hening awang-uwung. Dengan mengenakan kedok
Pandji, Ki Mardiah konon meninting canting jali berisi cairan getah dan getih.
Gamelan megatruh mengalun. Canting Jali pun melukisi tubuh cah ayu Dewi Lanjar.
Ada garis-garis takdir yang melintasi tubuh cah ayu. Tiap kali satu garis
diakhiri tusukan ujung lancip canting jali--sebuah titik pemberhentian-rintihan
pedih cah ayu menjadi aura ritual yang menghentak. Rintihan takdir itu,
megatruh getah dan getih, ditulis Amongraga dalam pahatan teks Serat Chandini
sebagai sesuatu yang juga pedih, tapi kudu dilakoni untuk menghentikan langkah
adigang adigung adiguna Kalikeling.
Ki
Mardiah yang mengenakan topeng Pandji itu tidak hanya mampu membangkitkan
keberanian di kalangan para petapa pepe
untuk meruntuhkan penguasa zalim Kalikeling. Apa yang ia lakukan juga menjadi
isyarat adanya kearifan kultural purba yang selayaknya diadopsi elite Republik
saat ini.
Sebab,
jiwa manusia Jawa di era itu konon terlukis di kedok Pandji. Bisa jadi, itu
hanya serpihan seni purba megatruh getah getih. Mereka meyakini, dalam getah
pohon berwarna putih dan getih manusia berwarna merah, ada eksistensi Sang
Hyang Tunggal yang awang-uwung. Itulah sebabnya topeng Pandji berwarna putih,
bersih tanpa hiasan. Hal itu pula yang mendasari Tari Pandji miskin gerak. Diam
yang kosong. Awang-uwung tan ana lir
sumilir sejatining zat.
Seusai
ritual itu, Ki Mardiah membacakan ayat-ayat aneh yang sulit dimengerti, tapi
dapat dijabarkan pada pertengahan abad ke-16 oleh Raden Wiralodra dan dijadikan
isyarat adanya deposit minyak bumi di Cimanuk Indraprahasta. “Yen ana taksaka nyabrang Kali Cimanuk/Sumur
kejayan deres milih/Delupak murub tanpa patra.” Jika ada ular menyeberangi
Sungai Cimanuk/Sumur kejayaan mengalir deras/Lampu menyala tanpa minyak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar