Menangkap Pesan Dua KTT Nuklir
Chusnan Maghribi, Alumnus
Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
SUMBER : SUARA MERDEKA, 29 Maret 2012
"Pesan utama yang bisa kita tangkap dari dua
konferensi nuklir itu adalah betapa serius ikhtiar para pemimpin dunia
menyelamatkan kehidupan"
DUA tahun terakhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keamanan Nuklir digelar dua kali, yaitu 12-13 Maret 2010 di Washington Amerika Serikat dan 26-27 Maret 2012 di Seoul Korea Selatan. Konferensi I menghasilkan Komunike Washington, antara lain menyangkut kesepakatan 47 negara peserta untuk meminimalisasi materi nuklir, meratifikasi ketentuan internasional terkait keamanan nuklir, dan mendukung segenap aktivitas yang relevan dengan inisiatif global berkait keamanan nuklir.
Adapun konferensi II menghasilkan persetujuan 53 negara peserta, di antaranya membangun komitmen untuk meningkatkan keamanan nuklir, termasuk mengurangi jumlah arsenal nuklir. Pesan utama yang bisa kita tangkap dari dua konferensi itu adalah betapa serius ikhtiar para pemimpin dunia untuk menyelamatkan kehidupan manusia dan dunia dari ancaman bahaya (perang) nuklir.
Kini, apakah kepemilikan senjata nuklir, khususnya negara-negara nuklir utama (lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB) plus India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel sudah sedemikian mengkhawatirkan hingga mengancam kehidupan umat manusia?
Itu sebabnya Sekjen PBB Ban Ki-Moon dalam proposalnya yang ikut didiskusikan dalam KTT Seoul mengajak segenap negara untuk memiliki nuklir secara aman baik dari segi pemanfaatan maupun pengamanannya. Dia juga melarang keras semua negara mengembangkan kemampuan nuklirnya untuk keperluan militer mengingat dampak destruktifnya. Luluh-lantaknya Hiroshima dan Nagasaki akibat dua bom atom yang dijatuhkan pesawat Amerika pada Perang Dunia II 1945 menjadi bukti sahih.
Dewasa ini kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara nuklir memang tidak sebanyak sewaktu Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat. Semasa Perang Dingin, senjata nuklir yang dimiliki AS dan Uni Soviet (Rusia) mencapai 50.000 arsenal, jumlah yang lebih dari cukup untuk menghancurkan dunia seisinya.
Perlakuan Adil
Seiring empat kali ditandatanganinya Perjanjian Pengurangan/ Perlucutan Senjata Strategis (Strategic Arms Reduction Treaty/ START) oleh AS dan Rusia, yakni 1991, 1993, 1997, dan 2010, kepemilikan senjata nuklir dua negara adidaya itu masing-masing tinggal 1.550 buah. Namun hal itu dipandang oleh banyak kalangan masih membahayakan kehidupan dunia.
Apalagi jumlah negara yang memiliki senjata nuklir kini cenderung bertambah. India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel disinyalir memproduksi (memiliki) senjata nuklir. Israel diam-diam memiliki tak kurang dari 200 senjata nuklir (Kompas, 27/03/12).
Di luar itu, walaupun negara-negara pecahan Uni Soviet, seperti Ukraina dan Kazakhstan sudah memusnahkan semua uraniaum enrichment yang dimilikinya, cadangan global uranium unrichment saat ini masih lebih dari 1.400 ton. Di sisi lain, sejumlah negara masih menyimpan sekitar 500 ton plutonium, 250 ton di antaranya bisa dikembangkan untuk membuat senjata nuklir.
Simpulannya, realitas kehidupan dunia sekarang ini memang berada di tengah ancaman perang senjata nuklir. Masuk akal jika banyak pemimpin negara sepakat berkomitmen meningkatkan keamanan nuklir, baik dari segi pemanfaatan maupun penjagaannya.
Karena itu, logis jika negara yang berminat mengembangkan senjata nuklir selalu diawasi dan dicegah agar tidak merealisasikan niatnya itu. Namun, langkah ini hendaknya diberlakukan bagi semua negara mana pun. International Atomic Energy Council (IAEC) selaku lembaga dunia paling berwenang atas langkah itu jangan diskriminatif.
Janganlah Iran, yang belum terbukti memproduksi senjata nuklir, ditekan habis-habisan, sementara Israel yang jelas-jelas sudah memilikinya didiamkan. Apabila perlakuan tidak adil seperti itu masih berlanjut, dikhawatirkan upaya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya perang senjata nuklir, sebagaimana diperlihatkan dalam KTT I dan II Nuklir, menjadi sia-sia. ●
DUA tahun terakhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keamanan Nuklir digelar dua kali, yaitu 12-13 Maret 2010 di Washington Amerika Serikat dan 26-27 Maret 2012 di Seoul Korea Selatan. Konferensi I menghasilkan Komunike Washington, antara lain menyangkut kesepakatan 47 negara peserta untuk meminimalisasi materi nuklir, meratifikasi ketentuan internasional terkait keamanan nuklir, dan mendukung segenap aktivitas yang relevan dengan inisiatif global berkait keamanan nuklir.
Adapun konferensi II menghasilkan persetujuan 53 negara peserta, di antaranya membangun komitmen untuk meningkatkan keamanan nuklir, termasuk mengurangi jumlah arsenal nuklir. Pesan utama yang bisa kita tangkap dari dua konferensi itu adalah betapa serius ikhtiar para pemimpin dunia untuk menyelamatkan kehidupan manusia dan dunia dari ancaman bahaya (perang) nuklir.
Kini, apakah kepemilikan senjata nuklir, khususnya negara-negara nuklir utama (lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB) plus India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel sudah sedemikian mengkhawatirkan hingga mengancam kehidupan umat manusia?
Itu sebabnya Sekjen PBB Ban Ki-Moon dalam proposalnya yang ikut didiskusikan dalam KTT Seoul mengajak segenap negara untuk memiliki nuklir secara aman baik dari segi pemanfaatan maupun pengamanannya. Dia juga melarang keras semua negara mengembangkan kemampuan nuklirnya untuk keperluan militer mengingat dampak destruktifnya. Luluh-lantaknya Hiroshima dan Nagasaki akibat dua bom atom yang dijatuhkan pesawat Amerika pada Perang Dunia II 1945 menjadi bukti sahih.
Dewasa ini kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara nuklir memang tidak sebanyak sewaktu Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat. Semasa Perang Dingin, senjata nuklir yang dimiliki AS dan Uni Soviet (Rusia) mencapai 50.000 arsenal, jumlah yang lebih dari cukup untuk menghancurkan dunia seisinya.
Perlakuan Adil
Seiring empat kali ditandatanganinya Perjanjian Pengurangan/ Perlucutan Senjata Strategis (Strategic Arms Reduction Treaty/ START) oleh AS dan Rusia, yakni 1991, 1993, 1997, dan 2010, kepemilikan senjata nuklir dua negara adidaya itu masing-masing tinggal 1.550 buah. Namun hal itu dipandang oleh banyak kalangan masih membahayakan kehidupan dunia.
Apalagi jumlah negara yang memiliki senjata nuklir kini cenderung bertambah. India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel disinyalir memproduksi (memiliki) senjata nuklir. Israel diam-diam memiliki tak kurang dari 200 senjata nuklir (Kompas, 27/03/12).
Di luar itu, walaupun negara-negara pecahan Uni Soviet, seperti Ukraina dan Kazakhstan sudah memusnahkan semua uraniaum enrichment yang dimilikinya, cadangan global uranium unrichment saat ini masih lebih dari 1.400 ton. Di sisi lain, sejumlah negara masih menyimpan sekitar 500 ton plutonium, 250 ton di antaranya bisa dikembangkan untuk membuat senjata nuklir.
Simpulannya, realitas kehidupan dunia sekarang ini memang berada di tengah ancaman perang senjata nuklir. Masuk akal jika banyak pemimpin negara sepakat berkomitmen meningkatkan keamanan nuklir, baik dari segi pemanfaatan maupun penjagaannya.
Karena itu, logis jika negara yang berminat mengembangkan senjata nuklir selalu diawasi dan dicegah agar tidak merealisasikan niatnya itu. Namun, langkah ini hendaknya diberlakukan bagi semua negara mana pun. International Atomic Energy Council (IAEC) selaku lembaga dunia paling berwenang atas langkah itu jangan diskriminatif.
Janganlah Iran, yang belum terbukti memproduksi senjata nuklir, ditekan habis-habisan, sementara Israel yang jelas-jelas sudah memilikinya didiamkan. Apabila perlakuan tidak adil seperti itu masih berlanjut, dikhawatirkan upaya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya perang senjata nuklir, sebagaimana diperlihatkan dalam KTT I dan II Nuklir, menjadi sia-sia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar