Logika Desain Pemilu
Sunny Tanuwidjaja, Peneliti
Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS; Kandidat Doktor Ilmu
Politik di Northern Illinois University
SUMBER : KOMPAS, 29 Maret 2012
Rancangan Undang-Undang Pemilu Legislatif
yang sebentar lagi akan disahkan masih menyimpan empat poin yang belum
disepakati antarpartai politik: besaran ambang batas parlemen, jumlah kursi per
daerah pemilihan, rumusan konversi suara ke kursi, dan pilihan antara sistem
terbuka atau tertutup.
Perdebatan dalam tiga dimensi pertama
berkutat pada keterwakilan dan efektivitas pemerintahan. Semakin tinggi ambang
batas parlemen membuat jumlah partai semakin sedikit. Logika yang sama
digunakan dalam berargumentasi soal jumlah kursi per daerah pemilihan (dapil)
karena jumlah kursi per dapil yang semakin sedikit akan mengurangi jumlah
partai. Begitu juga dengan pilihan rumus konversi suara ke kursi, ada rumusan
yang lebih mendorong pengurangan jumlah partai.
Implikasinya sangat sederhana. Semakin banyak
jumlah partai di parlemen, diasumsikan kapasitas representasi suatu sistem
kepartaian akan lebih baik meski dengan mengorbankan efektivitas pemerintahan.
Sebaliknya semakin sedikit jumlah partai di parlemen, diasumsikan efektivitas
pemerintahan akan lebih baik, tetapi aspek representasi dikorbankan.
Perdebatan dalam dimensi keempat berkutat
pada persoalan antara kedaulatan pemilih dan penguatan partai politik.
Sebenarnya ada tiga opsi terkait dengan dimensi keempat ini dengan berbagai
variasinya. Pertama adalah daftar calon legislatif (caleg) tertutup: pemilih
tidak tahu siapa caleg yang diajukan partai dan penentuan caleg yang memperoleh
kursi ada di tangan partai. Kedua adalah daftar caleg terbuka: penentuan caleg
yang memperoleh kursi menggunakan sistem nomor urut yang sudah ditentukan
partai. Ketiga adalah daftar caleg terbuka: penentuan caleg yang memperoleh
kursi menggunakan sistem suara terbanyak. Pilihan pertama dan kedua
mengedepankan penguatan peran partai dan pilihan ketiga lebih mengedepankan
kedaulatan pemilih.
Perbaiki Perilaku
Yang dilupakan sebenarnya adalah kapasitas
keterwakilan dan efektivitas pemerintahan suatu struktur politik yang baru
sebagai hasil pemilu sangat bergantung pada perilaku partai dan politisinya.
Penguatan partai politik ataupun pengedepanan kedaulatan pemilih dalam pemilu
akan berguna hanya dan hanya jika perilaku partai dan politisi betul-betul
memihak kepada masyarakat.
Apakah pada akhirnya kita punya dua atau 20
partai di parlemen—jika perilaku partai dan politisi masih seperti
sekarang—kecil harapan bagi munculnya suatu struktur kepartaian dan DPR yang
representatif dan sistem pemerintahan yang efektif. Kita akan memiliki partai
yang kuat dan pemilih yang berdaulat jika perilaku partai dan politisi
betul-betul memihak pemilih.
Saat ini, kita tahu betul bahwa masyarakat
kecewa kepada elite dan partai politik. Dengan demikian, yang seharusnya
dipikirkan dalam merancang sistem pemilu adalah pertama, sistem pemilu seperti
apa yang bisa memberikan insentif bagi partai dan politisi agar berperilaku
sesuai mandat yang diberikan pemilih. Kedua, sistem pemilu seperti apa yang
bisa memberikan ruang bagi munculnya caleg-caleg yang punya kapabilitas dan
integritas.
Insentif terpenting yang bisa diberikan
kepada partai dan politisi adalah insentif elektoral. Jika partai dan
politisinya dianggap buruk, sistem pemilu harus memberikan kesempatan optimal
untuk pemilih menghukum mereka.
Untuk itu ada dua pilihan. Pertama, dengan
pengurangan jumlah kursi per daerah pemilihan. Pengurangan bertujuan memudahkan
pemilih mengenal wakil mereka di lembaga perwakilan. Dengan mengurangi jumlah
kursi, yang diwakili jadi lebih mudah tahu siapa dan partai mana yang harus
dimintai pertanggungjawaban. Dengan demikian, wakil ataupun partainya akan
berpikir dua kali untuk mengkhianati mandat dari pemilih.
Opsi kedua yang selama ini belum ramai
dibicarakan adalah diadakannya pemilu sela. Dengan mempersempit rentang waktu
pemilu sebagai sarana atau mekanisme akuntabilitas vertikal, pemilih akan punya
lebih banyak kesempatan untuk menghukum politisi dan partai.
Jika dalam sebuah dapil ada beberapa kursi
yang diperebutkan dalam periode waktu yang berbeda, akan terbuka kesempatan
bagi pemilih untuk menghukum atau mendukung partai yang gagal atau sukses
mewakili aspirasi mereka. Meski sering dianggap mahal, sebenarnya perbaikan
perilaku politisi dan partai bernilai jauh melebihi biaya tersebut.
Dua pilihan di atas perlu disandingkan agar
mendorong desain pemilu yang lebih terbuka agar muncul caleg-caleg yang
berkualitas dan berintegritas.
Peran Partai
Pengajuan caleg dan penentuan anggota
parlemen yang mengutamakan peranan partai memang ideal. Namun, ini mensyaratkan
partai yang sudah demokratis dan tereformasi yang masih jauh dari pencapaian
partai kita hari ini.
Sistem daftar caleg terbuka bisa menjadi
pilihan karena penentuan caleg yang memperoleh kursi berdasarkan suara
terbanyak akan membuka peluang masuknya individu-individu yang tidak terikat
patronase politik di dalam partai. Pilihan ini akan lebih optimal jika
caleg-caleg yang berkualitas dan berintegritas juga rajin membangun basis massa
di daerahnya.
Kedua, pembatasan dana kampanye juga menjadi
keniscayaan. Selain dibukanya pintu masuk untuk caleg-caleg berkualitas dan berintegritas,
perlu dikembangkan arena kompetisi yang lebih seimbang mengingat individu yang
punya kapasitas dan integritas sering minim biaya. Meski pada pelaksanaannya
sangat sulit dari sisi pengawasan ataupun penindakan, isu ini harus mulai
serius dipikirkan.
Masih banyak lagi cara untuk merancang agar
sistem pemilu kita betul-betul menghasilkan perubahan perilaku partai dan
politisi. Namun, sebagai langkah awal perlu kita sepakati dulu tujuan-tujuan
mulia yang selama ini jadi landasan perdebatan sistem pemilu, mulai dari
persoalan keterwakilan, efektivitas pemerintahan, kelembagaan partai, sampai
kedaulatan pemilih. Yang penting tujuan akhirnya adalah sistem yang mampu
memberikan insentif untuk partai dan mengubah perilaku politisi agar sesuai
mandat dan aspirasi pemilih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar