Pilkada DKI dan Pemilu 2014
Hajriyanto Y Thohari, Wakil
Ketua MPR
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012
Meskipun berhasil menjadikan masyarakat
bergairah—berkat keberhasilan menyediakan sejumlah pasangan calon gubernur dan
calon wakil gubernur yang beragam—proses penentuan calon gubernur dan wakil
gubernur oleh partai-partai politik dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun
2012 masih sangat kental beraroma oligarkis.
Kecuali calon-calon independen, proses
penentuan calon gubernur dari partai politik miskin suasana demokrasi dan
keterbukaan. Banyak orang partai politik sendiri terkejut dengan calon-calon
gubernur yang tiba-tiba muncul atau dimunculkan. Suasana oligarkis semacam ini
janganlah sampai terulang pada Pemilu Presiden 2014 yang akan datang.
Memang benar bahwa seperti disebutkan dalam
UUD 1945 Pasal 6A, calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan dalam satu
pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Walhasil, menurut konstitusi, hanya partai
politik yang berhak mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden
(selanjutnya disebut capres) dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Di luar partai politik, sebagaimana ketentuan dalam konstitusi, sama sekali
tidak ada pintu yang lain untuk pengajuan capres.
Namun, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Pasal 10 Ayat (1)
menegaskan bahwa ”Partai-partai politik dalam penentuan calon presiden dan/atau
calon wakil presiden harus dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai
dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.”
Walhasil, meski partai-partai politik
memiliki otonomi dalam proses penentuan capres sesuai dengan mekanisme internal
masing-masing partai, proses dan mekanisme itu sendiri tetaplah harus dilakukan
secara demokratis dan terbuka.
Apa pengertian kata ”demokratis” dan
”terbuka” dalam UU No 42/2008 tersebut memang tidak dijelaskan, bahkan dalam
bagian penjelasan sekalipun. Namun, saya rasa kita tahu bahwa proses penentuan
capres dikatakan demokratis manakala melibatkan para anggota partai politik
yang bersangkutan, atau setidaknya meminta pendapat dan memperhatikan aspirasi
dari para pengurus partai politik sampai kepada eselon yang paling bawah.
Dan dikatakan ”terbuka” apabila proses, tata
cara, dan mekanisme pemilihan sampai kepada penentuan capres yang dimaksud
dapat diikuti secara transparan oleh seluruh masyarakat, terlebih lagi para
anggota dari partai politik tersebut.
Semangat Keterbukaan
Apabila kita memahami undang-undang tersebut
secara mafhum mukhalafah (logika terbalik), proses penentuan capres secara
sembunyi-sembunyi, tertutup, dan hanya melibatkan sekelompok kecil pimpinan
parpol adalah tidak bisa dibenarkan. Proses penentuan capres yang bersifat
oligarkis seperti inilah yang sejatinya membuka peluang terjadinya politik
transaksional.
Pasalnya, politik transaksional selalu
dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh para oligark dan pasti bermula dari
tidak adanya keterbukaan. Cara-cara ini bertentangan secara diametral dengan
prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan.
Ketentuan yang berisi keharusan bagi
partai-partai politik untuk mempraktikkan prinsip-prinsip demokrasi dan
keterbukaan sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam UU No 42/2008 ini
pada hakikatnya sangat sejalan dengan semangat UUD 1945 Pasal 6A itu. Jika kita
membaca risalah atau notulensi pembahasan amandemen UUD 1945 Pasal 6A akan
sangat terasa adanya semangat demokrasi dan keterbukaan.
Bahwa partai politik memang memiliki
privilese politik yang sangat istimewa dalam pengajuan capres adalah benar
belaka. Namun, partai-partai politik harus membuka dirinya secara demokratis.
Kata demokratis berarti berkaitan dengan bukan hanya kebebasan, melainkan juga
hak memilih dan dipilih bagi setiap orang.
Maka, mekanisme internal dalam suatu partai
politik haruslah mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keterbukaan. Bukannya
justru sebaliknya, mengokohkan semangat oligarkisme yang eksklusif. Lebih fatal
lagi jika yang berkembang adalah oligarkisme dalam semangat politik transaksional
yang materialistis dan plutokratis.
Pada waktu pembahasan amandemen UUD 1945, MPR
tidak pernah membayangkan sama sekali bahwa partai-partai politik setelah era
reformasi akan membaca UUD 1945 dalam semangat eksklusif seperti itu.
MPR sangat yakin partai politik setelah
reformasi akan menjadi partai politik dalam pengertian yang sebenarnya dan
karena itu tidak waswas untuk memberikan hak istimewa kepada partai politik
sebagai satu-satunya institusi politik yang berhak mengajukan calon presiden
dan calon wakil presiden.
Menghindari Apatisme Politik
Partai politik akhirnya memang diberi hak
eksklusif untuk mengajukan calon presiden. Syaratnya adalah partai politik
harus demokratis dan membuka diri.
Sayangnya, hal ini tidak pernah terjadi.
Partai-partai politik belum bersedia membuka akses yang luas bagi calon
perorangan untuk ikut dalam proses penentuan calon dalam dan atau melalui
partai-partai politik. Partai Golkar adalah satu-satunya partai politik yang
pernah melaksanakan prinsip demokrasi dan keterbukaan ini melalui mekanisme
konvensi calon presiden pada tahun 2004 untuk pertama kalinya—dan sekaligus
yang terakhir kalinya—dalam sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia.
Pasca-kepemimpinan Akbar Tandjung, konvensi tidak pernah diselenggarakan.
M Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar
2004-2009, menolak secara kategoris penyelenggaraan konvensi capres. Sementara
Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar 2009-2015, juga kurang antusias
dengan konvensi. Sementara tidak ada satu pun partai-partai politik lain yang
pernah melaksanakannya.
Ironisnya, dan sekaligus anehnya, para
pengamat dan masyarakat politik Indonesia hanya mendesak dilakukannya
penyelenggaraan konvensi capres kepada Partai Golkar semata. Tak heran jika
Partai Golkar kemudian juga tidak bersemangat untuk merespons desakan tersebut.
Desakan hanya kepada Golkar adalah tidak adil dan sulit untuk dimengerti.
Pasalnya, keharusan demokrasi dan keterbukaan adalah kewajiban bagi semua
partai politik.
Jika suasana seperti ini yang nanti akan
terjadi dikhawatirkan partisipasi rakyat dalam Pilpres 2014 akan rendah.
Pasalnya, tidak banyak alternatif yang akan ditawarkan oleh partai-partai
politik itu. Maka, partai-partai politik sebagai pilar demokrasi dan pelaku
tunggal dalam Pilpres 2014 harus mengambil langkah yang cerdik dan cerdas untuk
menjadikan rakyat bergairah.
Jangan biarkan rakyat bersikap pesimistis dan
apatis yang kemudian akan menghukum partai-partai politik dengan tidak hadir di
tempat-tempat pemungutan suara. Ingatlah, kepercayaan rakyat kepada partai
politik sekarang ini sudah sangat rendah. Percayalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar