Hancurnya Keadaban Hukum
Benny Susetyo, Sekretaris
Eksekutif Komisi HAK KWI,
Sekretaris Dewan Nasional Setara
Sekretaris Dewan Nasional Setara
SUMBER : SINDO, 31 Maret 2012
Kasus
yang melibatkan penguasa politik serta orang yang memiliki kekuatan modal sulit
disentuh oleh hukum negeri ini. Di negeri ini perkara orang besar mendapatkan
hak khusus di mata hukum karena hukum kerapkali melindungi mereka yang memiliki
kekuatan politik dan uang.
Kekuatan
mendikte dan mengendalikannya. Ini menyebabkan hukum di negeri tidak berdaya
karena ada kekuatan tersembunyi yang mengendalikan jalannya perkara. Tujuan
hukum untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat tidak tercapai. Masyarakat justru
memelihara persepsi yang semakin kuat bahwa hukum hanya untuk penguasa.
Ia akan menguntungkan bagi penguasa dan mereka yang mampu berkelit di tengah jeratan pasal-pasal. Pada akhirnya hukum hanya menguntungkan mereka yang mampu memperdayai penegaknya dan tak jarang berusaha menukarnya dengan imbalan tertentu. Kasus pencuri piring,kakao, sandal jepit,dan berbagai kasus serupa lainnya menunjukkan bahwa hukum tidak punya taring untuk menjerat para mafia dan pelaku skandal pembobolan uang negara.
Ia hanya tajam ke bawah dan sangat tumpul ke atas.Para koruptor dengan mudahnya mengelabui para penegak hukum.Para penegak hukum dengan mudahnya teperdaya untuk melakukan rekayasa dengan berbagai cara. Kini kita dapat merasakan bahwa kekuatan uang dan pengaruh politik telah menguasai arah penindakan hukum di negeri ini.
Kita prihatin saat pisau hukum terlihat sangat tajam terhadap rakyat kecil seperti Rasminah lantaran mencuri enam piring majikannya. Sebaliknya, hukum tumpul saat berhadapan dengan pemilik modal besar yang memiliki pengaruh politik. Jika ketidakadilan penindakan hukum seperti itu terus dibiarkan, bukan hanya kepercayaan publik terhadap lembaga hukum yang hilang, negara juga akan mengalami kehancuran.
Rakyat sudah tidak memiliki pegangan untuk mengandalkan Indonesia sebagai negerinya sendiri. Tanpa disadari apa yang terjadi dewasa ini, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, makin menjadi pemahaman masyarakat luas. Kasus Rasminah merupakan preseden buruk bagi dunia hukum kita.
Ini pengulangan dari penindakan hukum yang selalu mencederai keadilan, khususnya bagi rakyat kecil.Itu semua terjadi pada saat hukum justru gagal membongkar kasus-kasus besar yang sudah telanjang di depan kita. Penegakan hukum yang kontras atas Rasminah dengan para pengemplang BLBI akan membuat murka rakyat. Hukum hanya berpihak pada kekuatan uang dan politik. Ini sangat berbahaya dan akan menghancurkan bangsa dan negara.
Retorika Pasal-Pasal
Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang.Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, tapi untuk sebagian (yang bisa “membeli”- nya). Keadilan yang milik penguasa dan si empunya uang.
Dari hari ke hari semakin banyak kasus yang bisa menunjukkan bahwa hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan juga sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya.
Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat beroleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini adalah sebuah ilusi.
Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum seringkali hanya pajangan dan retorika pasalpasal. Di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat” hukum tak lagi memiliki taring.Tumpul akibat banyak macam sebab.
Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas.Hukum belah bambu telah mengirisiris rasa keadilan di negeri ini. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita.Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum” seringkali hanya sebagai pemanis mulut.
Apa yang kita ajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan. Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan segala hal yang berkomprador dengannya. Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang.Didamba selalu berdekatan,tapi tak pernah menyatu.
Bahkan bertemu sekalipun tak pernah.Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memanis- maniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis sebab hukum dan keadilan merupakan (sekadar) hiburan bagi rakyat kecil. Litani jeritan kekecewaan dan kesedihan.
Orang-orang kuat sering merasa bisa mengelabui dan memodifikasi hukum bahkan moralitas. Akibatnya hukum tunduk di bawah perintah orang kuat. Hukum telah sering dilumat oleh taring-taring kekuasaan. Hukum dan moralitas ada,tapi sering dianggap tiada. Berpuluh-puluh undangundang dan ketetapan dilahirkan untuk bisa dicari-cari sisi lemahnya, diperdayai.
Masyarakat diajari hidup di alam yang amat-amat buas bahwa yang kuat selalu menang dan yang kecil harus kalah. Kita menjadi bangsa yang seolah-olah taat pada norma hukum, tapi sesungguhnya justru melukainya dan boleh saja melalui logika kekuasaan dan uang mengkhianati nilainilai keadilan.
Keadilan sudah dibelokkan menjadi keadilan versi penguasa, dan keadilan sejati adalah barang klasik yang amat langka di negeri ini. Negeri ini hampir kehilangan suara hatinya sebab politik masyarakat telah dihancurleburkan oleh realitas politik yang penuh kompromi dan kepentingan sesaat. ●
Ia akan menguntungkan bagi penguasa dan mereka yang mampu berkelit di tengah jeratan pasal-pasal. Pada akhirnya hukum hanya menguntungkan mereka yang mampu memperdayai penegaknya dan tak jarang berusaha menukarnya dengan imbalan tertentu. Kasus pencuri piring,kakao, sandal jepit,dan berbagai kasus serupa lainnya menunjukkan bahwa hukum tidak punya taring untuk menjerat para mafia dan pelaku skandal pembobolan uang negara.
Ia hanya tajam ke bawah dan sangat tumpul ke atas.Para koruptor dengan mudahnya mengelabui para penegak hukum.Para penegak hukum dengan mudahnya teperdaya untuk melakukan rekayasa dengan berbagai cara. Kini kita dapat merasakan bahwa kekuatan uang dan pengaruh politik telah menguasai arah penindakan hukum di negeri ini.
Kita prihatin saat pisau hukum terlihat sangat tajam terhadap rakyat kecil seperti Rasminah lantaran mencuri enam piring majikannya. Sebaliknya, hukum tumpul saat berhadapan dengan pemilik modal besar yang memiliki pengaruh politik. Jika ketidakadilan penindakan hukum seperti itu terus dibiarkan, bukan hanya kepercayaan publik terhadap lembaga hukum yang hilang, negara juga akan mengalami kehancuran.
Rakyat sudah tidak memiliki pegangan untuk mengandalkan Indonesia sebagai negerinya sendiri. Tanpa disadari apa yang terjadi dewasa ini, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, makin menjadi pemahaman masyarakat luas. Kasus Rasminah merupakan preseden buruk bagi dunia hukum kita.
Ini pengulangan dari penindakan hukum yang selalu mencederai keadilan, khususnya bagi rakyat kecil.Itu semua terjadi pada saat hukum justru gagal membongkar kasus-kasus besar yang sudah telanjang di depan kita. Penegakan hukum yang kontras atas Rasminah dengan para pengemplang BLBI akan membuat murka rakyat. Hukum hanya berpihak pada kekuatan uang dan politik. Ini sangat berbahaya dan akan menghancurkan bangsa dan negara.
Retorika Pasal-Pasal
Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang.Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, tapi untuk sebagian (yang bisa “membeli”- nya). Keadilan yang milik penguasa dan si empunya uang.
Dari hari ke hari semakin banyak kasus yang bisa menunjukkan bahwa hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan juga sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya.
Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat beroleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini adalah sebuah ilusi.
Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum seringkali hanya pajangan dan retorika pasalpasal. Di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat” hukum tak lagi memiliki taring.Tumpul akibat banyak macam sebab.
Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas.Hukum belah bambu telah mengirisiris rasa keadilan di negeri ini. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita.Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum” seringkali hanya sebagai pemanis mulut.
Apa yang kita ajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan. Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan segala hal yang berkomprador dengannya. Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang.Didamba selalu berdekatan,tapi tak pernah menyatu.
Bahkan bertemu sekalipun tak pernah.Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memanis- maniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis sebab hukum dan keadilan merupakan (sekadar) hiburan bagi rakyat kecil. Litani jeritan kekecewaan dan kesedihan.
Orang-orang kuat sering merasa bisa mengelabui dan memodifikasi hukum bahkan moralitas. Akibatnya hukum tunduk di bawah perintah orang kuat. Hukum telah sering dilumat oleh taring-taring kekuasaan. Hukum dan moralitas ada,tapi sering dianggap tiada. Berpuluh-puluh undangundang dan ketetapan dilahirkan untuk bisa dicari-cari sisi lemahnya, diperdayai.
Masyarakat diajari hidup di alam yang amat-amat buas bahwa yang kuat selalu menang dan yang kecil harus kalah. Kita menjadi bangsa yang seolah-olah taat pada norma hukum, tapi sesungguhnya justru melukainya dan boleh saja melalui logika kekuasaan dan uang mengkhianati nilainilai keadilan.
Keadilan sudah dibelokkan menjadi keadilan versi penguasa, dan keadilan sejati adalah barang klasik yang amat langka di negeri ini. Negeri ini hampir kehilangan suara hatinya sebab politik masyarakat telah dihancurleburkan oleh realitas politik yang penuh kompromi dan kepentingan sesaat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar