Etika Berdemokrasi
James Luhulima, Wartawan
Kompas
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012
Kita terheran-heran melihat 21 kepala daerah
ikut berunjuk rasa menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak, Selasa
(27/3). Bukan hanya itu, di Jakarta, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Maruarar Sirait dan Ribka
Tjiptaning, juga mengikuti unjuk rasa menolak rencana kenaikan harga BBM di
depan Istana Merdeka, Selasa.
Kepada wartawan, Maruarar Sirait, yang juga
anggota Komisi XI DPR, mengatakan, dirinya ikut berunjuk rasa karena ingin
menjelaskan alasan mengapa partainya menolak kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM).
Ketua DPRD Kabupaten Madiun Yohanes Ristu
Nugroho, Selasa, menyatakan, DPRD Madiun juga mendukung penolakan rencana
kenaikan harga BBM. Namun, ia memilih tidak ikut berunjuk rasa, tetapi membuat
surat pernyataan yang akan dikirimkan kepada pemerintah pusat.
Pada saat sama, kita juga mengamati mengapa
di dalam sistem pemilihan umum kepala daerah mudah sekali terjadi ”pecah
kongsi” antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, juga ramainya fenomena
”kutu loncat”. Yang dimaksud dengan ”kutu loncat” adalah orang berpindah partai
politik hanya dengan maksud agar dirinya dicalonkan sebagai kepala daerah atau
wakil kepala daerah.
Alpa
Demokrasi bukanlah tradisi Indonesia yang
lebih akrab dengan sistem kerajaan yang totaliter. Walaupun para pendiri bangsa
memperkenalkan demokrasi dengan menerapkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada
18 Agustus 1945, dalam kenyataannya sistem demokrasi tidak pernah dijalankan
sepenuhnya. Sistem demokrasi yang dijalankan lebih mengarah ke sistem
totaliter.
Keadaan mulai berubah setelah Presiden
Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Diawali di
bawah kekuasaan Presiden BJ Habibie yang relatif singkat, secara
berangsung-angsur sistem demokrasi yang murni mulai dikembangkan. Sayangnya,
pengembangan sistem demokrasi itu tidak dibarengi dengan pengembangan tata cara
dan etika berdemokrasi.
Kealpaan dalam mengembangkan tata cara dan
etika berdemokrasi itu menjadikan banyak orang menjalankan demokrasi tanpa
dilandasi tata cara dan etika berdemokrasi yang benar.
Keikutsertaan kepala daerah yang merupakan
unsur eksekutif dan ketua DPRD yang merupakan unsur legislatif di dalam aksi
unjuk rasa menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM adalah hal yang
aneh dan tak lazim. Demikian juga dengan keikutsertaan anggota DPR di dalam
aksi unjuk rasa yang sama serta terjadinya ”pecah kongsi” dan ”kutu loncat”.
Ke-21 kepala daerah itu mungkin bisa
mencontoh sikap yang ditunjukkan Ketua DPRD Kabupaten Madiun Yohanes Ristu
Nugroho yang memilih membuat surat pernyataan dan mengirimnya kepada pemerintah
pusat.
Sementara anggota DPR seharusnya menggunakan
forum-forum di DPR untuk menyampaikan pendapat, baik itu pendapat pribadi
maupun pendapat partainya. Aksi-aksi turun ke jalan atau parlemen jalanan
hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang yang tak memiliki saluran untuk
menyampaikan pendapatnya atau pendapat kelompoknya.
Adapun persoalan ”pecah kongsi” dan ”kutu
loncat” lebih serius. Sebab, ”pecah kongsi” dan ”kutu loncat” tidak
dilatarbelakangi oleh ketidakmengertian, tetapi dilatarbelakangi oleh sikap
hidup seseorang yang dapat disebut sebagai tujuan menghalalkan segala cara.
Politik mempersyaratkan adanya komitmen dan
loyalitas terhadap partai dan konstituen yang diwakili. Itu sebabnya tidak
mengherankan jika Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
Djohermansyah Djohan mengomentari ”pecah kongsi” dan ”kutu loncat” itu dengan
mengatakan, cara berpolitik demikian tidak ideologis dan amoral.
Sesungguhnya, dalam sejarah bangsa ini pernah
tercatat ada seseorang yang melakukan hal yang lebih kurang sama dan akhirnya
menjadi Raja Majapahit. Dikisahkan bahwa pada tahun 1292 Raja Singasari
Kertanegara diserang dan dibunuh oleh Raja Kediri Jayakatwang.
Raden Wijaya, yang merupakan salah seorang
pemimpin pasukan Kertanegara, kemudian melarikan diri hingga ke Pulau Madura.
Di Madura, Raden Wijaya bertemu dengan Arya Wiraraja, penguasa Sumenep. Oleh
Arya Wiraraja, Raden Wijaya diajak bertemu dengan Raja Jayakatwang dan
menyatakan menyerah. Raja Jayakatwang kemudian memberikan tanah di Hutan Tarik
di timur Kediri sebagai hadiah. Namun, Raden Wijaya kemudian secara diam-diam
menggunakan tanah di Hutan Tarik untuk membangun kekuatan guna mengalahkan Raja
Jayakatwang.
Sebelum diserang oleh Jayakatwang,
Kertanegara mencederai utusan Khubilai Khan dan mengusirnya pulang. Khubilai
Khan berang dan segera mengirimkan bala tentara untuk menghukum Kertanegara.
Tahun 1293, bala tentara Khubilai Khan tiba.
Mereka tidak mengetahui bahwa Kertanegara telah dibunuh Jayakatwang. Raden
Wijaya memanfaatkan ketidaktahuan itu dan bergabung dengan bala tentara Kubilai
Khan menyerang Jayakatwang yang telah menerima dirinya dan memberikan tanah di
Hutan Tarik.
Setelah Raja Jayakatwang dibunuh, bala
tentara Kubilai Khan pulang ke negaranya. Namun, tentara yang masih tersisa
diserang dan dibunuh oleh Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan
Majapahit.
Sayangnya, tidak ada pesan moral yang
menyertai cerita tersebut. Sama sekali tidak diajarkan bahwa tindakan seperti
itu salah dan sebaiknya tidak ditiru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar