Merenungi
Ketidakadilan Subsidi BBM
J.
Kristiadi, Peneliti
Senior CSIS
SUMBER : KOMPAS, 27 Maret 2012
Salah satu alasan utama pemerintah mengurangi
subsidi bahan bakar minyak adalah menghilangkan ketidakadilan permanen dalam
masyarakat. Selama ini, subsidi BBM lebih banyak dinikmati warga kategori kaya
dibandingkan dengan warga miskin. Logika tersebut sejalan dengan berbagai studi
yang dilakukan para pemerhati sosial dan kalangan akademisi. Namun, jalan
pikiran tersebut tidak masuk akal publik karena instrumen yang menjadi andalan
adalah bantuan langsung sementara masyarakat. Pengalaman masa lalu membuktikan,
kebijakan ini lebih banyak membawa musibah daripada berkah bagi masyarakat.
Oleh sebab itu, strategi tersebut menuai
kritik tajam karena beberapa alasan. Pertama, pelaksanaan bantuan langsung
tunai (BLT) mendorong warga penerima bermental pengemis dan pemalas karena
mereka selalu berharap bantuan dari pemerintah. Bahkan, bantuan karitatif
semacam itu menstimulasi warga memalsu data untuk mendapatkan jatah dari
negara. Gejala semacam ini kalau dibiarkan akan merusak mental masyarakat.
Kedua, bantuan sering menyebabkan konflik
dalam masyarakat, antara lain karena data pemerintah antara instansi yang satu
dan lainnya berbeda. Untuk menghindari konflik, pejabat lokal mengambil
kebijakan membagi rata bantuan tersebut kepada penduduk setempat. Maksud baik
tersebut justru di lapangan menjadi salah sasaran.
Ketiga, warga penerima bantuan menjadi
makanan empuk rentenir. Mereka memberikan iming-iming dana cash kepada calon
penerima BLT yang jumlahnya lebih kecil daripada dana yang semestinya diterima
dari pemerintah. Pada saat dana tiba, para pemburu riba secara sistematis dan
terorganisasi mengumpulkan dana yang seharusnya diterima warga miskin. Meski
masyarakat mengetahui pahitnya berurusan dengan rentenir, demi kelangsungan
hidup keluarga, mereka tidak segan-segan berhubungan dengan rentenir. Akibatnya
tragis, warga terjebak utang dan masuk perangkap jaringan labirin yang sulit
ditemukan jalan keluarnya.
Keempat, godaan konsumerisme telah menggoda
penerima bantuan tidak memanfaatkan uang untuk memenuhi kebutuhan mendesak,
tetapi untuk memenuhi keinginan yang mungkin belum diperlukan.
Beberapa pengalaman lapangan tersebut
memberikan fakta bahwa skema BLT ternyata bukan obat mujarab untuk mengatasi
ketidakadilan. Instrumen ini bahkan cenderung dapat merusak mental masyarakat.
Oleh karena itu, menggunakan skema yang sama
sebangun dalam bentuk bantuan langsung sementara masyarakat hanya menegaskan
bahwa pengelola negara miskin empati terhadap rasa keadilan masyarakat.
Perilaku keseharian mereka yang hedonis dan pamer kemewahan membuat mereka mati
rasa terhadap penderitaan rakyat. Tingkah laku yang menusuk rasa keadilan
publik setiap hari menjadi tontonan rakyat melalui televisi. Ratusan miliar
uang negara dihambur-hamburkan untuk kepentingan kekuasaan yang dinikmati oleh
yang bersangkutan dan kerabat mereka. Tak mengherankan kalau pola hidup mereka
mengakibatkan kebijakan yang diproduksinya justru melukai rasa keadilan publik.
Banyak alasan publik mempunyai resistensi
yang keras terhadap kenaikan harga BBM. Namun, salah satu faktor yang membuat
rakyat marah adalah absennya sensitivitas dan perilaku korup para pengelola
negara. Oleh sebab itu, tidak mengherankan meski pemerintah menjelaskan alasan
kenaikan harga BBM adalah untuk menghilangkan ketidakadilan, publik bersikap
sinis dan skeptis. Bahkan, tidak sedikit pendapat masyarakat yang menganggap
pengurangan subsidi BBM dilakukan untuk menomboki APBN yang jebol akibat
dikorupsi pejabat negara. Sebagian berpendapat kenaikan harga BBM adalah produk
dari pemerintah yang salah urus karena lebih sibuk menguras kekayaan negara
daripada mengurus rakyat.
Hampir dapat dipastikan daya tolak masyarakat
akan lebih lunak kalau pemerintah peka terhadap rasa keadilan dan penderitaan
rakyat. Sebelum mengurangi subsidi BBM, pemerintah membangun terlebih dahulu
fasilitas yang sangat dibutuhkan masyarakat. Fasilitas itu, misalnya,
infrastruktur jalan, pembangunan irigasi, penyediaan pupuk dan benih yang tepat
waktu bagi petani, transportasi umum yang bagus dan murah, serta sarana
pendidikan dan kesehatan. Pemerintah dengan serius juga harus melindungi rakyat
dari agresi minimarket yang merambah dan mengancam pasar tradisional di pedesaan,
membangun kebutuhan masyarakat sesuai dengan karakter masyarakat setempat,
serta fasilitas yang dapat mendorong peningkatan daya beli masyarakat.
Sementara itu, kompensasi yang diberikan
harus menjadi bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengentaskan rakyat dari
kemiskinan. Program-program yang secara harfiah dan retorika bagus, seperti
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, tetapi efektivitasnya perlu
ditingkatkan, perlu diperluas pada segmen-segmen masyarakat yang sangat
memerlukan perhatian, misalnya petani dan nelayan.
Namun, salah satu syarat penting agar program
semacam itu dapat mencapai sasaran adalah jika pelaksanaannya tidak terdistorsi
kepentingan politik kekuasaan subyektif dan transaksional. Oleh karena itu,
kontrol publik sangat diperlukan, mengingat agresi jaringan kepentingan politik
kekuasaan di daerah tidak kalah daya rusaknya dibandingkan dengan mereka yang
beroperasi di pusat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar