Perbaikan dari Pinggir
Mohammad Nasih, Pengajar
di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengurus Dewan Pakar
ICMI Pusat
SUMBER : SINDO, 31 Maret 2012
Fungsi
negara adalah membuat kebijakan dan melaksanakannya dengan tujuan untuk mewujudkan
kebaikan dan kesejahteraan umum. Negara bisa melakukan itu karena memiliki
struktur-struktur yang bisa digerakkan untuk mengemban tugas-tugas tertentu.
Struktur-struktur
itu berkewajiban untuk menjalankan tugas-tugas spesifik yang semuanya diorientasi
untuk mencapai tujuan negara.Struktur-struktur itu bisa digerakkan dengan
relatif mudah karena negara memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan anggaran
dengan jumlah yang cukup guna menunjang kinerjanya.
Namun,berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan (baca: korupsi) yang terjadi secara sistemik dan bahkan sistematik telah meruntuhkan harapan bahwa negara dapat menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kebaikan bersama. Struktur-struktur negara berbentuk piramidal dengan kekuasaan tertinggi berada pada satu orang.
Walaupun dalam negara demokrasi terdapat poros-poros kekuasaan yang diidealisasikan saling melakukan checks and balances, tetap saja pemimpin tertinggi berada di poros eksekutif. Pemimpin tertinggi itu memiliki peran yang sangat besar dalam membuat struktur-struktur negara yang akan menjalankan kinerja.
Terutama dalam konteks masyarakat Indonesia yang berbudaya feodal dan masih mengidap sindrom postkolonial, pemimpin formal bisa memiliki kesempatan yang sangat besar untuk memobilisasikan pejabat- pejabat di bawahnya sesuai keinginannya. Dengan kata lain,pemimpinpemimpin formal yang berada dalam struktur lebih bawah sangat dipengaruhi olehnya dan bisa disimplifikasi merupakan cerminan dirinya.
Jika pemimpin- pemimpin formal memiliki perangai-perangai yang baik, perbaikan akan relatif mudah terjadi.Sebaliknya,jika mereka berperilaku buruk, perilaku itu pulalah yang akan membudaya dalam masyarakat. Ketika negara mengalami disfungsi untuk menciptakan kebaikan bersama atau bahkan dibajak untuk melakukan yang sebaliknya, akan lahir dua macam kelompok orang.
Pertama, kelompok mereka yang apatis dan kemudian mengikuti arus besar yang terjadi. Mereka merasa tidak memiliki kewajiban untuk melakukan yang seharusnya menjadi tugas negara. Mereka merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan upaya perbaikan. Kedua, kelompok mereka yang memiliki panggilan moral untuk melakukan perbaikan dengan segala risikonya, bahkan walaupun mereka harus melakukannya secara soliter dan perbaikan yang mungkin diupayakan hanya berskala sangat kecil.
Orang-orang yang terpanggil untuk melakukan upaya-upaya perbaikan di tengah situasi dan kondisi yang sarat kerusakan adalah orangorang yang memiliki semangat profetik tinggi. Awalnya tindakan mereka sering dianggap sebagai keanehan. Namun, tantangan yang besar justru melahirkan upaya yang besar dan melipatgandakan kemampuan.
Itulah yang menjadi salah satu faktor dominan keberhasilan yang memberikan inspirasi kepada orang-orang yang lain bahwa ternyata dalam situasi yang buruk pun masih ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk memperbaiki. Kejadian inspiratif itu menjadi virus positif yang menggerakkan lebih banyak orang untuk melakukan upaya yang sama atau setidaknya memberikan dukungan.
Bisa dibayangkan perbaikan dalam skala kecil itu terjadi di banyak tempat dan kemudian saling menyambung. Ibaratnya, masing-masing mereka meletakkan bata-bata di tempat-tempat yang berbeda. Namun, lama-kelamaan batabata tersebut tersambung menjadi konstruksi atau bangunan yang kokoh dan indah sebagaimana diidealisasikan oleh masing-masing mereka.
Dalam konteks tersebut, perbaikan terjadi bukan karena aktor-aktor penyelenggara negara, melainkan justru oleh mereka yang berada di luar struktur negara dan merasa tidak lagi bisa berharap kepada penyelenggara negara. Ketiadaan harapan itulah yang kemudian menyebabkan orangorang tertentu yang memiliki komitmen kuat kepada panggilan profetik untuk mengabdikan diri dengan melakukan berbagai macam upaya perbaikan.
Penyelenggara negara biasanya mencari kesempatan untuk bisa mengklaim bahwa keberhasilan yang terjadi adalah atas usaha mereka.Padahal mereka adalah perusak perbaikan yang dilakukan orangorang yang tidak pernah mendapatkan anggaran dari negara, apalagi fasilitas-fasilitas penunjang.
Gerakan-gerakan seperti itu di negara-negara di bawah kekuasaan yang cenderung absolut menyebabkan revolusi.Contoh yang paling monumental adalah revolusi Islam di Iran pada 1979. Setelah melakukan perjuangan dari pinggiran, dalam aras kultural selama puluhan tahun, Khomeini berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Syah.
Setelah itu perjuangannya berubah aras dari kultural ke struktural dan kemudian melakukan perubahan fundamental dengan melakukan revolusi dari atas dengan menjadikan Iran sebagai Republik Islam. Sedangkan dalam negara yang secara formal menganut demokrasi, upaya-upaya di pinggiran dalam aras kultural tersebut bisa menyebabkan pergantian rezim penguasa melalui pemilu yang damai.
Contohnya adalah pergantian kekuasaan di Turki kepada para pemimpin AKP (Partai Persatuan dan Pembangunan). Para pemimpin AKP adalah para aktivis muslim yang sebelumnya melakukan perjuangan secara kultural dalam komunitas-komunitas sufi. Dengan sangat gigih mereka melakukan berbagai upaya perbaikan dalam masyarakat sehingga masyarakat kemudian memiliki kesadaran baru yang lebih baik bahwa mereka harus dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang baik dan jauh dari tindakan penyelewengan kekuasaan.
Itulah yang membuat AKP sebagai partai baru menang pemilu secara signifikan sehingga para aktivisnya dapat memperluas medan perjuangan tidak hanya dalam aras kultural, tetapi juga dalam aras struktural. Ketika berkuasa,para elite AKP sampai saat ini menunjukkan konsistensinya kepada nilainilai kesalehan sosial yang sebelumnya mereka perjuangkan. Kapan Indonesia menyusul? Wallahu a’lam bi al-shawab. ●
Namun,berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan (baca: korupsi) yang terjadi secara sistemik dan bahkan sistematik telah meruntuhkan harapan bahwa negara dapat menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kebaikan bersama. Struktur-struktur negara berbentuk piramidal dengan kekuasaan tertinggi berada pada satu orang.
Walaupun dalam negara demokrasi terdapat poros-poros kekuasaan yang diidealisasikan saling melakukan checks and balances, tetap saja pemimpin tertinggi berada di poros eksekutif. Pemimpin tertinggi itu memiliki peran yang sangat besar dalam membuat struktur-struktur negara yang akan menjalankan kinerja.
Terutama dalam konteks masyarakat Indonesia yang berbudaya feodal dan masih mengidap sindrom postkolonial, pemimpin formal bisa memiliki kesempatan yang sangat besar untuk memobilisasikan pejabat- pejabat di bawahnya sesuai keinginannya. Dengan kata lain,pemimpinpemimpin formal yang berada dalam struktur lebih bawah sangat dipengaruhi olehnya dan bisa disimplifikasi merupakan cerminan dirinya.
Jika pemimpin- pemimpin formal memiliki perangai-perangai yang baik, perbaikan akan relatif mudah terjadi.Sebaliknya,jika mereka berperilaku buruk, perilaku itu pulalah yang akan membudaya dalam masyarakat. Ketika negara mengalami disfungsi untuk menciptakan kebaikan bersama atau bahkan dibajak untuk melakukan yang sebaliknya, akan lahir dua macam kelompok orang.
Pertama, kelompok mereka yang apatis dan kemudian mengikuti arus besar yang terjadi. Mereka merasa tidak memiliki kewajiban untuk melakukan yang seharusnya menjadi tugas negara. Mereka merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan upaya perbaikan. Kedua, kelompok mereka yang memiliki panggilan moral untuk melakukan perbaikan dengan segala risikonya, bahkan walaupun mereka harus melakukannya secara soliter dan perbaikan yang mungkin diupayakan hanya berskala sangat kecil.
Orang-orang yang terpanggil untuk melakukan upaya-upaya perbaikan di tengah situasi dan kondisi yang sarat kerusakan adalah orangorang yang memiliki semangat profetik tinggi. Awalnya tindakan mereka sering dianggap sebagai keanehan. Namun, tantangan yang besar justru melahirkan upaya yang besar dan melipatgandakan kemampuan.
Itulah yang menjadi salah satu faktor dominan keberhasilan yang memberikan inspirasi kepada orang-orang yang lain bahwa ternyata dalam situasi yang buruk pun masih ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk memperbaiki. Kejadian inspiratif itu menjadi virus positif yang menggerakkan lebih banyak orang untuk melakukan upaya yang sama atau setidaknya memberikan dukungan.
Bisa dibayangkan perbaikan dalam skala kecil itu terjadi di banyak tempat dan kemudian saling menyambung. Ibaratnya, masing-masing mereka meletakkan bata-bata di tempat-tempat yang berbeda. Namun, lama-kelamaan batabata tersebut tersambung menjadi konstruksi atau bangunan yang kokoh dan indah sebagaimana diidealisasikan oleh masing-masing mereka.
Dalam konteks tersebut, perbaikan terjadi bukan karena aktor-aktor penyelenggara negara, melainkan justru oleh mereka yang berada di luar struktur negara dan merasa tidak lagi bisa berharap kepada penyelenggara negara. Ketiadaan harapan itulah yang kemudian menyebabkan orangorang tertentu yang memiliki komitmen kuat kepada panggilan profetik untuk mengabdikan diri dengan melakukan berbagai macam upaya perbaikan.
Penyelenggara negara biasanya mencari kesempatan untuk bisa mengklaim bahwa keberhasilan yang terjadi adalah atas usaha mereka.Padahal mereka adalah perusak perbaikan yang dilakukan orangorang yang tidak pernah mendapatkan anggaran dari negara, apalagi fasilitas-fasilitas penunjang.
Gerakan-gerakan seperti itu di negara-negara di bawah kekuasaan yang cenderung absolut menyebabkan revolusi.Contoh yang paling monumental adalah revolusi Islam di Iran pada 1979. Setelah melakukan perjuangan dari pinggiran, dalam aras kultural selama puluhan tahun, Khomeini berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Syah.
Setelah itu perjuangannya berubah aras dari kultural ke struktural dan kemudian melakukan perubahan fundamental dengan melakukan revolusi dari atas dengan menjadikan Iran sebagai Republik Islam. Sedangkan dalam negara yang secara formal menganut demokrasi, upaya-upaya di pinggiran dalam aras kultural tersebut bisa menyebabkan pergantian rezim penguasa melalui pemilu yang damai.
Contohnya adalah pergantian kekuasaan di Turki kepada para pemimpin AKP (Partai Persatuan dan Pembangunan). Para pemimpin AKP adalah para aktivis muslim yang sebelumnya melakukan perjuangan secara kultural dalam komunitas-komunitas sufi. Dengan sangat gigih mereka melakukan berbagai upaya perbaikan dalam masyarakat sehingga masyarakat kemudian memiliki kesadaran baru yang lebih baik bahwa mereka harus dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang baik dan jauh dari tindakan penyelewengan kekuasaan.
Itulah yang membuat AKP sebagai partai baru menang pemilu secara signifikan sehingga para aktivisnya dapat memperluas medan perjuangan tidak hanya dalam aras kultural, tetapi juga dalam aras struktural. Ketika berkuasa,para elite AKP sampai saat ini menunjukkan konsistensinya kepada nilainilai kesalehan sosial yang sebelumnya mereka perjuangkan. Kapan Indonesia menyusul? Wallahu a’lam bi al-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar