Unjuk Rasa Kenaikan BBM
Asrudin, Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup,
tulisan ini pendapat pribadi
tulisan ini pendapat pribadi
SUMBER : SUARA KARYA, 29 Maret 2012
Aksi unjuk rasa penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi oleh publik dapat digolongkan menantang pemerintah dari sisi
kebijakan publik. Sebab, kenaikan harga BBM ini akan berimbas kepada kenaikan
harga-harga kebutuhan pokok publik lainnya. Kementerian Kesehatan, misalnya,
telah memastikan akan menaikkan harga obat sebesar 6-9 persen. Belum lagi,
dengan rencana akan dinaikkannya tarif transportasi umum, kenaikan kebutuhan
sembilan bahan pokok, dan banyak kebutuhan pokok lainnya.
Dari sisi kebijakan, pemerintah membela diri bahwa menaikkan harga
BBM adalah rasional mengingat naiknya harga minyak dunia yang mencapai 115
dolar AS per barel, telah membebani APBN setiap tahunnya. Asumsi ini
dikeluarkan dari kasus APBN tahun 2011. Pada saat itu, ketika pemerintah
menyiapkan dana subsidi BBM sebesar Rp 129.7 triliun, namun pada kenyataannya,
pemerintah justru mengeluarkan anggaran subsidi BBM sebesar Rp 165.2 triliun
agar dapat menutupi kekurangan dana akibat tingginya harga minyak global. Untuk
itu menaikkan harga BBM dipandang sebagai opsi yang tepat, minimal dari sisi
APBN.
Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ini, pemerintah telah
menganggarkan dana bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 30-40 triliun
sebagai cara untuk meredam kemarahan publik. Dana tersebut akan diberikan dalam
bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Problemnya, rupanya
program BLT yang dicanangkan pemerintah ini tidak dapat sepenuhnya mampu
meredam kemarahan publik. Hal ini terlihat dari berbagai unjuk rasa yang
terjadi kemarin (27/3).
Sebenarnya ada dua hal yang bisa dijelaskan untuk dapat memahami
unjuk rasa kemarin. Pertama, respon publik sudah jelas menolak, tapi pemerintah
tetap memaksa untuk menaikan. Kedua, jika opsi menaikan BBM ini tetap
dilakukan, pemerintah sepertinya telah melanggar sebuah prinsip yang cukup
dikenal dalam demokrasi, yakni konsultasi kepada public sebagai pertimbangan
pemerintah untuk menjalankan sebuah kebijakan.
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia
(LSI) pada 5-8 Maret 2012 terkait dengan kenaikan harga BBM, diketahui
mayoritas (86.60 persen) publik menyatakan tidak setuju dengan naiknya harga
BBM. Yang setuju hanya 11.26 persen. Sementara sisanya 2.14 persen menjawab
tidak tahu. Survei dilakukan terhadap 440 responden dari 33 provinsi di
Indonesia. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling, dengan
margin of error plus minus 4.8 persen.
Jika dilihat dari segmen yang menentang kenaikan harga BBM, itu
merata di semua segmen. Baik laki atau perempuan, dari desa atau kota, orang
kaya atau miskin, pendidikan tinggi atau pendidikan rendah, pemilih partai
pemerintah ataupun partai oposisi, mayoritas menentang kenaikan harga BBM.
Angka persentase menentang kenaikan harga BBM di berbagai segmen ini beragam
antara angka 67-95 persen.
Sebaliknya, survei LSI juga menemukan, jika program BLT
dijalankan, sebanyak 69.64 persen publik setuju dengan program BLT. Hanya 28.69
persen yang tak setuju. Dan, sisanya 1.67 persen menjawab tidak tahu. Yang
setuju dengan program BLT juga lintas segmen. Mulai dari warga desa atau kota,
lelaki atau perempuan, pendidikan tinggi atau pendidikan rendah, kaya atau
miskin, pemilih partai oposisi ataupun partai pemerintah, lebih banyak yang
setuju dengan program BLT dibandingkan yang tidak setuju. Prosentase yang
setuju program BLT dalam aneka segmen masyarakat itu, berkisar antara 40-85
persen.
Hasil survei ini menggambarkan bahwa publik yang menolak kenaikan
harga BBM (86.60 persen) itu lebih tinggi ketimbang publik yang mendukung
program BLT (69.64 persen). Itu artinya publik lebih menginginkan tidak
dinaikkannya harga BBM, meskipun pemerintah mengantinya dengan kompensasi BLT.
Dengan bercermin pada hasil survei ini, adalah wajar, ketika
pemerintah memaksa untuk menjalankan kebijakan menaikan harga BBM, publik pun
menjadi marah dan unjuk rasa dijadikan pilihan paling logis agar pemerintah
mengurungkan niatnya untuk menaikan harga BBM.
Unjuk rasa kenaikan harga BBM dapat juga dipahami karena
pemerintah tidak responsif terhadap keinginan public-nya. Padahal, mayoritas
publik (86.60 persen) telah menyatakan menolak kenaikan harga BBM.
Hati Nurani
Di sinilah tesis Jurgen Habermas tentang demokrasi deliberatif
menjadi penting untuk diperhatikan. Secara etimologi, deliberatif itu berasal
dari bahasa latin, deliberatio. Artinya, menimbang-nimbang, konsultasi atau
musyawarah. Demokrasi dapat dikatakan deliberatif jika proses pemberian suatu
alasan atas suatu kebijakan publik diuji terlebih dahulu melalui konsultasi
publik atau lewat diskursus publik.
Demokrasi deliberatif ingin membuka ruang yang lebih lebar bagi
masyarakat untuk melakukan penilaian atas suatu kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah selaku pembuat kebijakan kenaikkan harga
BBM seharusnya melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada publik agar memahami
maksud kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah.
Sayangnya, yang dilakukan pemerintah melalui Presiden SBY dalam
menyikapi penolakan publik atas kenaikan harga BBM hanyalah sebuah pernyataan
sepihak. Presiden SBY hanya bisa meminta kepada publik yang berunjuk rasa untuk
memahami bahwa kebijakan menaikkan harga BBM adalah demi untuk menyelamatkan
APBN atau kepentingan ekonomi bangsa.
Bahasa yang dikomunikasikan oleh Presiden SBY kepada publik ini
sangat jelas bukanlah suatu bentuk deliberasi, melainkan bentuk paksaan. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh publik ini adalah
karena pemerintah telah mengeluarkan sebuah kebijakan tanpa deliberasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar