Aspek Konsistensi Sistem Pemilu
Ramlan Surbakti, Guru
Besar Perbandingan Politik FISIP Universitas Airlangga
SUMBER : KOMPAS, 30 Maret 2012
Salah satu alasan Mahkamah Konstitusi
membatalkan Pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
adalah ketidak-konsistenan antara model pemberian suara dan tata cara penetapan
calon terpilih.
Suara diberikan kepada satu calon, tetapi penetapan
calon terpilih dilakukan dengan nomor urut calon kalau tidak ada calon yang
mencapai sekurang-kurangnya 30 persen suara dari bilangan pembagi pemilih.
Namun, MK juga menunjukkan ketidak-konsistenan: tidak hanya tak menjadikan
ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pertimbangan hukum, tetapi
juga karena mengabaikan ketentuan Pasal 55 Ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan
pengurus partai politik mengajukan daftar calon berdasarkan nomor urut.
Aspek ketidak-konsistenan ini perlu
dikemukakan agar mendapat perhatian pembuat UU yang tengah merevisi UU Pemilu
itu. Ketidak-konsistenan dalam sistem pemilu ini sesungguhnya dimulai oleh
pembuat UU.
Pengajuan daftar calon berdasarkan nomor urut
oleh partai politik merupakan konsekuensi ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945
yang menetapkan partai politik sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD.
Konsekuensi pola pencalonan seperti ini: model pemberian suara kepada partai
politik sebagai peserta pemilu. Namun, UU Pemilu memakai model pemberian suara kepada
calon.
Bukan Visi Calon Anggota
Materi kampanye pemilu yang dilaksanakan
calon anggota DPR dan DPRD bukanlah visi, misi, dan program yang disusun oleh
calon anggota DPR atau calon anggota DPRD, melainkan visi, misi, dan program
partai politik. Rupanya yang melaksanakan fungsi representasi politik
(menampung dan merumuskan aspirasi konstituen) bukan anggota DPR dan anggota
DPRD, melainkan partai politik sebagai peserta pemilu.
Namun, model pemberian suara yang diserap
dalam UU Pemilu itu bukan pemberian suara kepada partai politik sebagai peserta
pemilu, melainkan kepada calon. Karena itu, calon anggota DPR dan DPRD
melaksanakan kampanye berdasarkan ”programnya”
sendiri.
Suara yang diberikan pemilih kepada partai
politik hanya ”bernilai 50 persen”’
sebab suara itu hanya ikut menentukan perolehan kursi partai politik, tetapi
tidak menentukan siapa yang terpilih. Bagaimana mungkin suara yang diberikan
kepada partai politik sebagai peserta pemilu bernilai lebih rendah daripada
suara yang diberikan kepada calon yang bukan peserta pemilu?
Tata cara penetapan calon terpilih yang
diadopsi UU Pemilu adalah campuran: penetapan calon terpilih berdasarkan jumlah
suara sekurang-kurangnya 30 persen suara dari bilangan pembagi pemilih dan
nomor urut (Pasal 214). Tata cara campuran yang lebih mengedepankan nomor urut
daripada perolehan suara ini memang lebih mendekati, tetapi tak sesuai
sepenuhnya dengan pola pencalonan berdasarkan nomor urut.
Selain itu, ketentuan campuran itu tak
konsisten dengan model pemberian suara kepada calon. Ketentuan ini kemudian
dibatalkan oleh MK sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini.
Yang aneh, sampai hari ini pembuat UU belum
pernah menetapkan ketentuan baru sebagai pengganti Pasal 214 yang dibatalkan
itu. Yang menetapkan ketentuan pengganti Pasal 214 justru bukan DPR dan
presiden selaku pembuat UU, melainkan KPU sebagai penyelenggara pemilu. KPU
membuat peraturan ini tidak berdasarkan amar putusan MK, tetapi karena ”tekanan” ketua MK melalui media.
Karena KPU menetapkan tata cara penetapan
calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak, setiap calon anggota DPR dan
DPRD berkampanye tanpa koordinasi dengan partai politik dan tanpa menggunakan
visi, misi, dan program partai.
Maka, setiap calon mengeluarkan dana kampanye
yang sangat besar untuk mendapat suara sebanyak-banyaknya. Namun, yang wajib
menyampaikan laporan awal serta laporan akhir penerimaan dan pengeluaran dana
kampanye bukan tiap calon anggota DPR dan DPRD yang mengeluarkan dana kampanye,
melainkan partai politik sebagai peserta pemilu. Ketidak-konsistenan seperti
ini perlu diluruskan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar