Politisasi Kenaikan Harga BBM
Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center
SUMBER : SUARA KARYA, 30 Maret 2012
Keputusan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) agaknya
tidak dapat diundur lagi. Pilihan itu menjadi kebijakan paling rasional untuk
ditempuh oleh pemerintah saat ini menyusul kenaikan harga minyak dunia yang
telah melampaui target APBN 2012.
Kenaikan harga minyak dunia kian menggila akibat dipicu ketegangan
di Timteng antara Iran vs AS yang kian memanas. Situasi konflik di kawasan
tersebut memang sangat rentan terhadap harga minyak dunia. Selain itu, kenaikan
harga minyak juga disebabkan resesi ekonomi global di Eropa dan AS.
Kompleksitas masalah di tingkat global itu tentu berada jauh di luar jangkauan
kita sehingga sulit untuk menghindar.
Lonjakan harga minyak dunia itu tentu akan membawa dampak serius
bagi perekonomian nasional. Harga minyak dunia yang terus berada di atas level
120 dolar AS per barel secara otomatis akan mengakibatkan beban APBN bertambah
mengingat subsidi negara terhadap BBM masih cukup tinggi. Sementara asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN
2012 hanya 90 dolar AS per barel. Keseimbangan APBN yang terganggu akibat
lonjakan harga minyak dunia, cepat atau lambat, akan membawa dampak negatif
terhadap performa perekonomian nasional secara keseluruhan.
Tidak ada jalan lain, untuk meminimalisasi efek negatif itu,
pemerintah perlu mendorong efisiensi konsumsi BBM. Harga BBM yang murah karena
ditopang subsidi pemerintah merupakan salah satu penyebab utama inefisiensi
konsumsi BBM selama ini.
Mengacu pada data YLKI, dari sisi kemanfaatan sosial ekonomi,
subsidi BBM terbukti tidak tepat sasaran. Konsumen BBM bersubsidi sebanyak 85%
adalah kendaraan pribadi. Sedangkan angkutan umum hanya menggunakan 4% dari
total BBM bersubsidi dan angkutan barang hanya 7%. Maka, jelas kelompok
masyarakat mana yang sesungguhnya menikmati subsidi BBM selama ini. Sungguh
tidak adil memang apabila dana subsidi BBM justru lebih banyak dinikmati oleh
kelompok masyarakat mampu.
Selama ini masalah pemborosan anggaran dan ketidaktepatan sasaran
subsidi selalu menghantui Indonesia. Kita pun seakan tidak pernah dapat lepas
dari perangkap ini, antara lain karena subsidi BBM dibiarkan tidak tepat sasaran,
tidak menyentuh masyarakat miskin dan lebih banyak dinikmati oleh kelompok
masyarakat mampu.
Karena itu, dibutuhkan keberanian pemerintah untuk mengambil
langkah strategis dalam mengatasi efek negatif lonjakan harga minyak dunia
terhadap keseimbangan APBN. Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, merupakan
salah satu wujud langkah strategis itu.
Memang, menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang selalu
dianggap tidak popular secara politik. Akan tetapi, menaikkan harga BBM
merupakan kebijakan yang produktif secara ekonomis, yang akan bermanfaat bagi
seluruh komponen bangsa, termasuk orang miskin kelak.
Sebagai gambaran, saat ini total subsidi energi di APBN 2012
mencapai Rp 168 triliun, meliputi subsidi BBM dan tabung gas 3 kg Rp 123
triliun dan subsidi listrik Rp 44 triliun. Dapat dibayangkan, jika langkah
menaikkan harga BBM tidak ditempuh pemerintah, sangat boleh jadi total subsidi
energi di APBN akan mencapai Rp 200 triliun. Angka itu jauh lebih besar
dibandingkan dengan dana pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan
yang dikeluarkan pemerintah selama satu tahun.
Ajang Pencitraan
Namun, patut disayangkan kebijakan baik dan rasional itu, kini
justru menjadi ajang pencitraan bagi sebagian elite politik kita. Sikap PDIP
dan partai-partai lainnya yang kian lantang menyuarakan penentangan terhadap
rencana kenaikan harga BBM merupakan salah wujud dari hal itu.
Tidak hanya di arena parlemen, sikap resistensi itu juga
ditunjukkan oleh PDIP di luar parlemen. Hampir di setiap sudut jalan, kita dapat
melihat bentangan spanduk bernada penolakan kenaikan harga BBM dari partai
berlambang moncong putih itu.
Sebagai bagian dari kelompok oposisi, memang merupakan hal wajar
dan lumrah jika PDIP mengambil sikap kontra terhadap rencana kenaikan harga
BBM. Sudah menjadi tugas kelompok oposisi untuk mengingatkan dan melakukan
koreksi terhadap pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif dalam setiap
langkah pengambilan kebijakan. Namun, tugas mulia menjadi kehilangan makna
ketika berbalut kepentingan jangka pendek berupa pencitraan politik.
Masih segar dalam ingatan publik tatkala di bulan Januari 2012
lalu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputi, mendesak pemerintah untuk
menaikkan harga BBM mengusulkan agar pemerintah menaikkan harga BBM menyusul
ketegangan antara Iran dan AS di Selat Hormuz. Padahal, saat itu harga minyak
dunia belum menyentuh level 120 dolar AS per barel. (tempo.co, Selasa, 12 Januari 2012)
Dalam kaitan itu menjadi aneh jika kini, di saat harga minyak
dunia telah meroket di atas level 120 dolar AS per barel, PDIP menunjukkan
resistensi terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Wajar, jika
kemudian publik menilai PDIP tengah memanfaatkan isu kenaikan harga BBM sebagai
ajang untuk melakukan pencitraan agar terlihat seakan-akan peduli dengan
kehidupan rakyat kecil.
Publik tentu patut miris melihat tingkah laku elite politik mereka
yang tidak gemar menjadikan isu kesulitan hidup rakyat sehari-hari sebagai
ajang untuk sekadar mewujudkan kepentingan politik jangka pendek mereka. Kini,
publik dituntut untuk lebih cermat memilah mana elite-elite politik yang
benar-benar berjuang untuk rakyat dan mana yang berjuang untuk kepe-ntingan
politik jangka pendek semata.
Sikap resistensi terhadap sebuah kebijakan pemerintah tidak lagi
dapat menjadi ukuran valid untuk melakukan penilaian bahwa elite politik
bersangkutan berjuang bagi kepentingan masyarakat luas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar