RUU Ormas dan Konsolidasi Demokratis
Poltak Partogi Nainggolan, Doktor
Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg,
Jerman; Kepala Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPR
SUMBER : SINAR HARAPAN, 29 Maret 2012
Pembuatan RUU yang baik, yang memenuhi
kelayakan legislasi dari Naskah Akademik-nya dan melibatkan masyarakat, akan
terhindar dari penolakan publik. Bagaimana dengan RUU Ormas yang akan mengganti
UU No 8/1985 peninggalan Orde Baru?
Terbatasnya referensi yang digunakan telah
menjadi sumber persoalan, sehingga argumentasi amendemen UU lama ini tidak
konsisten dan kuat. Sungguh ironis, dalam era Reformasi, muncul inisiatif
pengekangan baru atas kebebasan berserikat akibat referensi yang kurang dan
argumentasi yang lemah.
Dengan kondisi seperti ini, sulit membawa
Indonesia keluar dari transisi berkepanjangan sejak 1998 menuju konsolidasi
demokratis. Ini karena konsolidasi demokratis membutuhkan ormas yang tumbuh
sehat dan kuat, lepas dari kooptasi pemerintah seperti pada era represi di
bawah Orba.
Pakar transisi demokratis, seperti Diamond,
Linz, Stephan, dan O’Donnell (1986) telah mengingatkan bahwa ormas yang kuat
akan menjadi artikulator kepentingan masyarakat dan aktor yang membuat
demokrasi sebagai the only game in town, bersama-sama dengan sistem
hukum, pers, partai politik, dan parlemen yang efektif.
Kurang Empiris
Dapat dikatakan, RUU Ormas lebih terobsesi
menciptakan tertib sosial ketimbang membantu ormas tumbuh sehat untuk mendorong
konsolidasi demokratis.
Argumen negara pretorian dan pentingnya
tertib politik yang digunakan di bagian pembuka naskah RUU menggambarkan betapa
pembuatnya, yang disponsori Depdagri, agen kontrol ormas sejak zaman Orba,
masih ketakutan dengan kebebasan politik yang muncul selepas jatuhnya rezim
otoriter.
Padahal, lemahnya otoritas negara tidak
disebabkan menjamurnya ormas dan kuatnya gerakan politik massa, melainkan
disebabkan buruknya kepemimpinan penguasa, terutama di pusat.
Adapun lemahnya kepemimpinan penguasa
diakibatkan sikapnya yang tidak tegas mengambil keputusan dan tidak mampu
menegakkan hukum, karena telah menjadi bagian dari masalah,, yakni terlibat
dalam praktik politik curang dan korup.
Lantaran menghadapi ketidakpastian yang
menjadi-jadi, masyarakat mengambil jalannya sendiri-sendiri untuk menemukan
solusi atas masalahnya.
Dengan begitu, suburnya pertumbuhan ormas dan
gerakan politik massa merupakan reaksi atas stagnasi politik, dan bukan
penyebab lemahnya pemerintah. Dengan demikian, argumen amendeman UU Ormas ini
mencari kambing hitam pada ormas dan inisiatif masyarakat yang tumbuh subur di
era baru reformasi dan demokratisasi.
Perlmutter begitu kritis dalam menganalisis
masalah ini di banyak kasus kandasnya demokratisasi. Namun, penyusun Naskah
Akademik RUU Ormas keliru dalam menganalisis (penyebab) stagnasi konsolidasi
demokratis di Indonesia. Penggunaan kembali karya klasik Huntington era
1960-an, yaitu Political Order in Changing Society, untuk memotret
problem Indonesia pasca-Soeharto, tampaknya kurang relevan.
Ini karena maraknya politisasi masyarakat
sipil, sebagai konsekuensi, bukan penyebab lemahnya pemerintahan sipil hasil
pemilu. Jadi, konseptor Naskah Akademik RUU ini lupa bahwa menjamurnya ormas
selepas jatuhnya rezim otoriter adalah normal, akibat telah terbukanya ruang
politik dengan lebar.
Ini artinya, partisipasi politik masyarakat
sebenarnya telah tumbuh baik untuk mendukung proses konsolidasi demokratis.
Gerakan politik massa itu sendiri merupakan perwujudan partisipasi politik
publik yang terhalang penyelesaian aspirasinya, karena pemerintah baru yang
terbentuk tidak (mau) bekerja.
Pemerintah tidak punya target kerja setelah
pemilu selesai, sehingga massa pendukung perlu melakukan tekanan politik agar
pemerintah terpilih tetap menghormati dan menepati kontrak sosialnya. Dalam
konteks partisipasi politik inilah seharusnya pemikiran Huntington digunakan
untuk memahami fenomena merebaknya ormas dan gerakan massa.
Sebaliknya, kekhawatiran penguasa terhadap
menjamurnya ormas kian menunjukkan ketakutan pemerintah pada kelemahannya, yang
seharusnya dikoreksi dengan memperbaiki kinerja dan memenuhi komitmennya.
Selain karena menggunakan referensi yang
sangat minim, kelemahan Naskah Akademik RUU Ormas juga disebabkan terbatasnya
penelitian lapangan yang dilakukan. Dengan demikian, data empiris yang
digunakan juga terbatas.
Studi terhadap kasus-kasus ormas di daerah
yang dilakukan, kurang representatif. Tidak ada riset lapangan yang kita
ketahui dilakukan di daerah-daerah keras, seperti di Sumatera Utara, Makasar
(Sulawesi Selatan), Aceh, Maluku, dan Papua, yang ormas dan perilaku politik
masyarakatnya sangat keras, selain juga partisipasi politik masyarakatnya sangat
dinamis.
Siapa Targetnya?
Yang paling dicemaskan dengan hadirnya UU
Ormas yang baru adalah pembuatan Naskah Akademik yang terlalu anti-asing.
Secara jelas, materi RUU ini menggambarkan sikap xenophobia penguasa,
terutama terhadap Barat.
Padahal, dalam era globalisasi sekarang ini,
peluang intervensi asing tidak hanya bisa dilakukan negara Barat, tetapi juga
negara dari kawasan Timur Tengah dan lainnya, yang memiliki kepentingan atas
Indonesia.
Naskah Akademik RUU ini tampak sumir karena
objek kecurigaannya subjektif atau sepihak. Diantisipasi, sasaran RUU Ormas ini
adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang kritis, seperti Kontras, Walhi,
dan Greenpeace, walaupun mereka telah bekerja menyelamatkan Indonesia.
Sikap asertif mereka telah disalahartikan
seolah-olah eksistensi mereka mengancam kepentingan negara dan masyarakat.
Padahal, kehadiran dan posisi mereka mengancam penguasa, karena penguasa telah
mendukung pihak-pihak yang bersalah, terutama pemilik modal dan aparat
pengendali represi.
Kontras diketahui sangat keras dan tidak
surut dengan tuntutan pengadilan HAM ad hoc atas para pelaku kejahatan
HAM berat. Sementara itu, Greenpeace dengan jaringan internasionalnya yang kuat
telah terancam diusir dari Indonesia oleh konspirasi parlemen, ormas radikal,
dan penguasa (aparat keamanan), didukung pemilik modal yang sedang terancam
kepentingannya dalam mengeksploitasi hutan Indonesia.
Sayangnya, Naskah Akademik RUU Ormas ini
tampak malu-malu menyebut ormas radikal keagamaan yang aktivitasnya selama ini
telah banyak mengganggu ketenteraman publik, yang seharusnya dapat ditindak,
apalagi jika ideologi dan tujuannya bertentangan dengan ideologi dan tujuan
negara.
Dengan segala kekurangan dalam Naskah
Akademik dan muatannya, RUU Ormas menjadi kontraproduktif terhadap konsolidasi
demokratis di Indonesia. Karena itulah dibutuhkan banyak koreksi dalam
pembahasannya. Jika tidak, RUU amendemen ini menjadi pintu masuk bagi penguasa
untuk menjalankan tindakan represifnya melalui pasal-pasal karet tindak pidana subversif
seperti di masa lalu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar