Kebijakan Baru Luar Negeri China
Christine Susanna Tjhin, Peneliti
di CSIS Jakarta;
Mahasiswa
Program Doktor di Sekolah Studi Internasional, Universitas Peking
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012
Di hadapan Kongres Rakyat Nasional ke-11 awal
Maret lalu, Perdana Menteri Wen Jiabao menyisipkan sinyal halus mengenai
perubahan gagasan kebijakan luar negeri China.
Sebelum pidato itu, gagasan kebijakan luar
negeri China bertumpu pada pandangan bahwa hubungan dengan negara
adidaya/kekuatan utama adalah prioritas utama perumus kebijakan China.
Berikutnya negara tetangga, lalu negara berkembang, kemudian organisasi
internasional/regional. Dalam pidatonya PM Wen justru menempatkan negara
tetangga dulu lalu negara berkembang baru kemudian negara kekuatan utama.
Sinyal halus itu telah ditangkap dan sedang
diperdebatkan di China. Perdebatan intelektual seputar gagasan baru itu sudah
mengindikasikan bahwa ini bukan berarti negara kekuatan utama tak lagi penting
bagi China, tetapi di saat bersamaan, China akan menyisihkan perhatian yang
lebih besar ke kawasan sekitarnya.
Ada sejumlah motivasi yang tampaknya
mendorong gagasan baru ini. Pertama, adanya keinginan mengelola hubungan dengan
kawasan secara lebih strategis. ”Abad Asia” kian mengambil bentuk dan peran
China yang dominan di dalamnya mengundang reaksi beragam di kawasan.
Kedua, adanya keinginan mengantisipasi
”kembalinya” AS ke dalam kawasan yang oleh banyak pihak di China dipandang
sebagai upaya membendung China. Respons AS terhadap situasi di Laut China
Selatan serta penempatan personel militer di Australia telah memicu reaksi kuat
di China. Jika dulu ada semacam sikap mafhum terhadap kehadiran AS di kawasan
(berguna untuk mencegah Jepang atau Korea Utara menjadi agresif lagi), sekarang
ini penolakan justru dominan dan hampir tak ada lagi diskusi mengenai menerima
kehadiran militer AS.
Ketiga, melemahnya interaksi ekonomi dengan
dunia Barat akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan di AS dan Eropa telah
mendorong China memikirkan alternatif kebijakan luar negerinya, yang merupakan
kepanjangan tangan kepentingan dalam negeri: secara umum, reformasi dan
modernisasi; secara khusus, restrukturisasi ekonomi dari ekonomi yang
berorientasi ekspor menjadi ekonomi yang berbasis pada konsumsi domestik.
Keempat, adanya keinginan mengakomodasi
perubahan dinamika di dalam negeri China. Kebangkitan China di arena global
sangat dibanggakan masyarakat China. Salah satu mentalitas yang mengemuka saat
ini adalah bagaimana publik di China merespons rasa tak percaya atau resistansi
yang muncul dari negara tetangga. Ada peningkatan rasa percaya diri di kalangan
generasi muda. Ada tuntutan supaya Pemerintah China lebih bersuara tegas dan
bertindak proaktif menjernihkan kesan negatif di benak negara tetangga. Publik
menginginkan China tak lagi korban dominasi media atau kekuatan lunak negara
Barat.
Punya Andil
Musim gugur di China tahun ini akan
mengiringi peralihan kepemimpinan tertinggi dari generasi keempat ke generasi
kelima. Terlepas dari isu keguncangan politik yang bertebaran pasca-pemecatan
figur karismatik di Chongqing, Bo Xilai, tampaknya tak akan ada perubahan
drastis dalam perumusan kebijakan China secara umum. Dengan kata lain, sinyal
halus yang dilontarkan PM Wen bisa jadi pertanda awal kebijakan ”mendekati
Asia” dari China yang lebih dinamis.
Sebagai negara mitra strategis pertama dan
terbesar China di Asia Tenggara dan sebagai negara yang juga menjalin kemitraan
komprehensif dengan AS, kita punya andil yang unik mengan- tisipasi dinamika
ini demi keamanan dan stabilitas regional.
Yang paling hangat dewasa ini adalah
persoalan keamanan regional. Selama ini kita melihat sikap China di Laut China
Selatan sebagai sikap agresif, bukan sekadar bersuara tegas dan bertindak
proaktif sebab kita melihat adanya inkonsistensi sikap, terutama, antara
pejabat Kemenlu China dan pejabat militer yang kini kian kerap bersuara di
arena hubungan luar negeri.
Kemunculan aktor baru dalam perumusan
kebijakan luar negeri adalah gejala baru yang cukup bikin pening perumus
kebijakan di China. Sejumlah diplomat China sudah mengutarakan kekhawatiran
mengenai pergesekan antara aktor-aktor yang ada dalam proses kebijakan luar
negeri. Gejala ini tak akan hilang dalam waktu dekat, apalagi persaingan
politik kian intens menjelang transisi kepemimpinan tahun ini.
Sementara berharap perdebatan internal di
China bisa menghasilkan iklim kondusif dan kebijakan konstruktif, kita harus
konsisten dan tegas dengan prinsip bebas aktif. Terlepas dari semboyan andalan
Presiden SBY ”sejuta teman, nol musuh”, ada sejumlah pengamat di China yang
menafsirkan responsnya atas penempatan tentara AS di Australia (untuk
membendung China) sebagai indikasi keberpihakan.
Kita berharap hasil kunjungan SBY ke China
kemarin bisa mulai mengikis misinterpretasi itu dan supaya Pemerintah China bisa
paham bahwa kita tak ingin berpihak, juga tak ingin Perang Dingin terulang di
kawasan ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar