Islam, Masyarakat Indonesia, dan Demokrasi
Irman Gusman, Ketua
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
SUMBER : SINDO, 30 Maret 2012
Beberapa
hari lalu, saya memenuhi undangan Dr Farhan Ahmad Nizami, Direktur The Oxford Center for Islamic Studies,
untuk berdialog dengan para ahli dan beberapa profesor tentang perkembangan
Islam dan demokratisasi di Indonesia.
Dialog
itu diselenggarakan di The Oxford Center
for Islamic Studies, Universitas Oxford, Inggris, yang merupakan salah satu
universitas tertua dan terkemuka di dunia. Pada kesempatan itu, saya
menguraikan beberapa pokok pikiran tentang pengalaman masyarakat muslim di
Indonesia, yang merupakan masyarakat mayoritas muslim terbesar di dunia, dalam
menerima ide-ide demokrasi.
Mungkin bagi sebagian masyarakat Barat, Islam selalu dilihat secara dikotomis dengan perkembangan demokrasi. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana masyarakat Barat mengaitkan aksi terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme yang berkembang di Indonesia dengan pemikiranpemikiran Islam. Seolah-olah Islam dan demokrasi merupakan dua hal yang bertentangan. Tentu hal tersebut tidak tepat.
Dalam kesempatan diskusi itu, saya menjelaskan bagaimana perjalanan transisi demokrasi di Indonesia bisa berlangsung baik sejak gerakan Reformasi 1998, meskipun tentu masih ada tantangan di sana-sini. Namun, secara keseluruhan, masyarakat muslim di Indonesia mampu menerima ide-ide demokrasi dan menginstitusi onalkannya dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan berbagai bidang kehidupan lainnya. Jika kita amati secara keseluruhan, grafik demokrasi kita berkembang pesat.
Sejak 1998, berbagai langkah reformasi sistem ekonomi, politik, dan hukum mengalami lonjakan seiring dengan semakin terbukanya pemikiran masyarakat muslim Indonesia terhadap ide-ide demokrasi. Dalam hal ini, Islam dan demokrasi tidak dipandang terpisah, melainkan merupakan satu-kesatuan nilai yang sama. Dalam nilai dasar Islam, kesamaan, keadilan, kesejahteraan, keharmonisan, kerukunan, kepedulian sosial juga merupakan bagian dari nilai-nilai demokrasi yang mendapat sambutan luas dari masyarakat.
Tingkat penerimaan yang tinggi terhadap demokrasi di Indonesia memperlihatkan keterbukaan masyarakat muslim akan ide-ide perubahan.Hal ini tidak salah jika seorang diplomat Timur Tengah yang pernah saya temui di tahun 2001 menjuluki Indonesia sebagai negeri mukjizat. Karena dengan berbagai perbedaan yang ada, baik suku, ras maupun agama, dengan ribuan pulau dan ratusan bahasa, di mana masyarakat muslim merupakan masyarakat mayoritas, mereka tidak terjebak pada ide-ide sektarian dan rasis yang memecah belah bangsa.
Malahan dengan perbedaan- perbedaan tersebut, masyarakat kita mampu hidup rukun, harmonis, dan toleran. Gerakan reformasi yang diikuti pula oleh demokratisasi di berbagai bidang kehidupan juga tidak menimbulkan konflik dan perpecahan dalam skala yang masif. Ini menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi dapat bersanding dalam kehidupan masyarakat muslim kita.
Membumikan Islam dan Demokrasi
Meskipun demikian, tidak mudah untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan demokrasi secara penuh dan utuh. Sampai sejauh ini masih ada tantangan yang menghadang, terutama menyangkut keterbukaan ruang demokrasi untuk membumikan ajaran-ajaran Islam. Ajaran Islam yang dimaksud di sini adalah ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Pada 2010, studi Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari yang dimuat di jurnal George Washington University dengan judul “How Islamic are Islamic Countries” memperlihatkan suatu hasil kajian yang sedikit mengagetkan kita. Studi itu mengulas bagaimana sebuah negara Islam melaksanakan ajaran-ajaran yang dikaitkan dengan perekonomian, finansial, politik, hukum, dan perilaku sosial sebuah negara.
Hal ini berangkat dari sebuah cara pandang bahwa Islam pada dasarnya memiliki sistem nilai yang terbuka seperti peraturan yang tegas, perekonomian yang adil, pemerintahan yang baik, penghormatan atas HAM, kebebasan sipil,perlindungan hukum, dan keterbukaan interaksi dengan manusia. Hasilnya, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas populasi beragama Islam di dunia, tetapi tidak memiliki performa yang baik dan hanya menempati urutan ke-140 dari 208 negara yang dikaji.
Hal ini akibat dari beberapa kelemahan yang merupakan bagian dari permasalahan umum negara berkembang seperti institusi-institusi yang tidak efisien, kebijakan perekonomian yang buruk, tingkat korupsi yang tinggi, peraturan hukum yang tidak berkembang, adil, dan tegas, sistem perekonomian dan sosial yang tidak menguntungkan wanita dan anak-anak, terjadinya berbagai kericuhan dan pelanggaran HAM, serta masalah-masalah tradisional negara berkembang lainnya.
Ini berarti demokrasi kita belum dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia secara konsekuen dan utuh sesuai dengan tujuan demokrasi itu sendiri. Hal ini tergambar jelas juga dari indeks demokrasi global yang menempatkan Indonesia pada posisi yang masih rendah. Hasil survei majalah Economist pada 2011 menempatkan kita pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang disurvei terhadap lima variabel utama, yakni pluralisme dan pemilihan umum, fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, budaya politik, dan partisipasi politik.
Tentu ke depan kita membutuhkan penguatan sistem demokrasi agar target pembangunan dapat terealisasi, terutama menyangkut target pencapaian tahun 2025 yang oleh banyak pengamat Indonesia disebut sebagai negara masa depan. Pada 2025, Indonesia diprediksi akan masuk dalam 10 besar negara yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita sebesar USD25.000.
Lalu bagaimana mencapai itu semua? Tak ada pilihan lain kecuali memperkuat sistem demokrasi dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam universal dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tentu ajaran Islam dalam pengertian substantif, bukan prosedural. ●
Mungkin bagi sebagian masyarakat Barat, Islam selalu dilihat secara dikotomis dengan perkembangan demokrasi. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana masyarakat Barat mengaitkan aksi terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme yang berkembang di Indonesia dengan pemikiranpemikiran Islam. Seolah-olah Islam dan demokrasi merupakan dua hal yang bertentangan. Tentu hal tersebut tidak tepat.
Dalam kesempatan diskusi itu, saya menjelaskan bagaimana perjalanan transisi demokrasi di Indonesia bisa berlangsung baik sejak gerakan Reformasi 1998, meskipun tentu masih ada tantangan di sana-sini. Namun, secara keseluruhan, masyarakat muslim di Indonesia mampu menerima ide-ide demokrasi dan menginstitusi onalkannya dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan berbagai bidang kehidupan lainnya. Jika kita amati secara keseluruhan, grafik demokrasi kita berkembang pesat.
Sejak 1998, berbagai langkah reformasi sistem ekonomi, politik, dan hukum mengalami lonjakan seiring dengan semakin terbukanya pemikiran masyarakat muslim Indonesia terhadap ide-ide demokrasi. Dalam hal ini, Islam dan demokrasi tidak dipandang terpisah, melainkan merupakan satu-kesatuan nilai yang sama. Dalam nilai dasar Islam, kesamaan, keadilan, kesejahteraan, keharmonisan, kerukunan, kepedulian sosial juga merupakan bagian dari nilai-nilai demokrasi yang mendapat sambutan luas dari masyarakat.
Tingkat penerimaan yang tinggi terhadap demokrasi di Indonesia memperlihatkan keterbukaan masyarakat muslim akan ide-ide perubahan.Hal ini tidak salah jika seorang diplomat Timur Tengah yang pernah saya temui di tahun 2001 menjuluki Indonesia sebagai negeri mukjizat. Karena dengan berbagai perbedaan yang ada, baik suku, ras maupun agama, dengan ribuan pulau dan ratusan bahasa, di mana masyarakat muslim merupakan masyarakat mayoritas, mereka tidak terjebak pada ide-ide sektarian dan rasis yang memecah belah bangsa.
Malahan dengan perbedaan- perbedaan tersebut, masyarakat kita mampu hidup rukun, harmonis, dan toleran. Gerakan reformasi yang diikuti pula oleh demokratisasi di berbagai bidang kehidupan juga tidak menimbulkan konflik dan perpecahan dalam skala yang masif. Ini menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi dapat bersanding dalam kehidupan masyarakat muslim kita.
Membumikan Islam dan Demokrasi
Meskipun demikian, tidak mudah untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan demokrasi secara penuh dan utuh. Sampai sejauh ini masih ada tantangan yang menghadang, terutama menyangkut keterbukaan ruang demokrasi untuk membumikan ajaran-ajaran Islam. Ajaran Islam yang dimaksud di sini adalah ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Pada 2010, studi Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari yang dimuat di jurnal George Washington University dengan judul “How Islamic are Islamic Countries” memperlihatkan suatu hasil kajian yang sedikit mengagetkan kita. Studi itu mengulas bagaimana sebuah negara Islam melaksanakan ajaran-ajaran yang dikaitkan dengan perekonomian, finansial, politik, hukum, dan perilaku sosial sebuah negara.
Hal ini berangkat dari sebuah cara pandang bahwa Islam pada dasarnya memiliki sistem nilai yang terbuka seperti peraturan yang tegas, perekonomian yang adil, pemerintahan yang baik, penghormatan atas HAM, kebebasan sipil,perlindungan hukum, dan keterbukaan interaksi dengan manusia. Hasilnya, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas populasi beragama Islam di dunia, tetapi tidak memiliki performa yang baik dan hanya menempati urutan ke-140 dari 208 negara yang dikaji.
Hal ini akibat dari beberapa kelemahan yang merupakan bagian dari permasalahan umum negara berkembang seperti institusi-institusi yang tidak efisien, kebijakan perekonomian yang buruk, tingkat korupsi yang tinggi, peraturan hukum yang tidak berkembang, adil, dan tegas, sistem perekonomian dan sosial yang tidak menguntungkan wanita dan anak-anak, terjadinya berbagai kericuhan dan pelanggaran HAM, serta masalah-masalah tradisional negara berkembang lainnya.
Ini berarti demokrasi kita belum dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia secara konsekuen dan utuh sesuai dengan tujuan demokrasi itu sendiri. Hal ini tergambar jelas juga dari indeks demokrasi global yang menempatkan Indonesia pada posisi yang masih rendah. Hasil survei majalah Economist pada 2011 menempatkan kita pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang disurvei terhadap lima variabel utama, yakni pluralisme dan pemilihan umum, fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, budaya politik, dan partisipasi politik.
Tentu ke depan kita membutuhkan penguatan sistem demokrasi agar target pembangunan dapat terealisasi, terutama menyangkut target pencapaian tahun 2025 yang oleh banyak pengamat Indonesia disebut sebagai negara masa depan. Pada 2025, Indonesia diprediksi akan masuk dalam 10 besar negara yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita sebesar USD25.000.
Lalu bagaimana mencapai itu semua? Tak ada pilihan lain kecuali memperkuat sistem demokrasi dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam universal dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tentu ajaran Islam dalam pengertian substantif, bukan prosedural. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar