Konsumsi
BBM
Tulus
Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI, Anggota
Dewan Transportasi Kota Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 27 Maret 2012
Hasrat
pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tampaknya tak
terbendung lagi. Kendati, riak-riak penolakan mulai menguat, baik dari kalangan
mahasiswa, maupun beberapa fraksi di parlemen (DPR). Sementara itu, para ekonom
independen, pemerhati di bidang transportasi dan energi, umumnya bisa memahami
upaya pemerintah untuk menekan tingginya subsidi BBM pada APBN 2012. Bahkan,
sebagian pengamat mendorong agar pemerintah menekan secara signifikan alokasi
subsidi di sektor energi (BBM dan sektor ketenagalistrikan), yang jumlahnya tak
kurang dari Rp 270 triliun.
Pada
akhirnya, masyarakat konsu men juga yang terkena dampak konkret dari kenaikan
itu. Kenaikan harga kebutuhan pokok, sebagaimana yang di nya takan Apindo,
minimal mencapai 10 persen. Bahkan, untuk tarif angkutan umum, Organda meminta
kenaikan tarif antara 35-50 persen. Benar, atas kenaik an harga BBM itu, kita
semua akan me ra sakan beban ekonomi yang lebih berat dari biasanya. Bukan
hanya harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum, melainkan berbagai
komoditas lain juga akan mengalami kenaikan, termasuk harga obat generik,
bahkan harga bahan-bahan bangunan.
Namun,
dalam berkonsumsi, baik barang maupun jasa, idealnya konsumen tidak hanya
memikirkan dirinya, ansich. Idealnya, konsumen juga mulai memikirkan
dengan perspektif yang lebih me luas. Tidak saja memikirkan dari sisi harga
atau bahkan kualitas belaka, tetapi juga melihat pada konteks sosial, ekonomi,
budaya, dan bahkan lingkung an global. Karena itu, kebijakan peme rintah
menaikkan harga BBM, idealnya diletakkan dalam kerangka ini. Cara berkonsumsi
yang demikian, lazim disebut konsumsi berkelanjutan (sustainable consumption). Lalu, mengapa kebijakan pemerintah
menaikkan harga BBM mesti kita dekati dengan kerangka berpikir konsumsi
berkelanjutan?
Pertama,
mitos kalau perut bumi Indonesia dikatakan kaya-raya dengan cadangan minyak
bumi. Faktanya, ca dangan minyak bumi di perut bumi Indonesia hanya 1,3 persen
dari cadangan minyak bumi dunia. Dengan fakta semacam ini, bahkan, sangat boleh
jadi Indonesia sejatinya termasuk “negara miskin” cadangan minyak bumi. Kini
cadangan terbukti (proven) minyak
bumi di Indonesia hanya 4 miliar barel dan akan habis hingga 12 tahun ke depan.
Bandingkan
dengan cadangan minyak Arab Saudi yang mencapai 265 miliar barel! Kalau
cadangan yang amat minim ini terus dikuras tanpa kendali, lalu ge nerasi
mendatang mendapatkan apa? Hanya gigit jari, karena pasokan minyak bumi di
Indonesia telah habis. Ini sangat tidak adil, di tengah ketidakmampuan
pemerintah mengembangkan sumber energi lainnya, yang sejatinya sangat melimpah.
Kedua,
mitos pula kalau produksi minyak kita melimpah. Terbukti, produksi minyak kita
tak mampu lagi memasok kebutuhan nasional. Saat ini, kebutuhan nasional BBM
mencapai 1,3 juta barel per hari. Sedangkan produksi nasional minyak di
Indonesia hanya mampu memasok 850 ribu barel per hari. Jadi, sisanya, berkisar
450 ribu-500 ribu barel, diimpor (nett
oil importer). Sangat ironis, jika sebuah komoditas yanng diimpor malah
disubsidi. Seharusnya, suatu komoditas impor justru diberikan beban harga/tarif
yang mahal (diberikan disinsentif).
Ketiga,
sebuah komoditas yang menimbulkan dampak eksternalitas, seharusnya diberikan
disinsentif bagi penggunanya. Disinsentif itu bisa berupa harga/tarif mahal
atau bahkan dikenakan pajak atau cukai. BBM adalah komoditas yang menimbulkan
dampak eksternalitas bagi lingkungan yang amat serius. Saat ini sedang
hangat-hangatnya isu perubahan iklim global (global climate change). BBM (dan energi fosil lainnya)
berkontribusi paling besar terhadap fenomena perubahan iklim global itu.
Penggunaan BBM, baik untuk sektor transportasi, industri, maupun untuk keperluan
domestik rumah tangga, berkontribusi langsung terhadap kerusakan lingkungan.
Dengan demikian, kebijakan subsidi terhadap komoditas BBM sama saja pemerintah
mendukung kerusakan lingkungan. Bahkan, pemberian subsidi BBM bertentangan
secara diametral dengan janji Presiden Yudhoyono untuk menekan produksi gas
karbon hingga 26 persen. Dengan basis semacam ini, kebijakan yang relevan
adalah memberikan disinsentif (harga mahal) untuk komoditas yang bernama BBM.
Di negara-negara Eropa, BBM justru diberikan pajak (gasoline tax).
Lagi
pula, subsidi juga akan mendorong perilaku boros konsumen. Harga BBM masih
dianggap murah (sangat terjangkau). Karena itu, praktis tidak ada upaya
konsumen untuk berhemat. Jadi, jangan mimpi pemerintah mampu mendorong
masyarakat berperilaku he mat dalam menggunakan BBM, jika harga BBM masih
disubsidi. Para pengguna kendaraan pribadi, yang merupakan 90 persen penikmat
BBM bersubsidi, akan berparadigma “semau
gue” dalam menggunakan kendaraan pribadinya.
Pada
akhirnya, pola konsumsi masya rakat konsumen, idealnya bukan hanya dilandasi
oleh sikap “mampu membayar” dan atau aspek kualitas. Aspek sosial, ekonomi,
budaya, dan lingkungan seharusnya menjadi basis kuat untuk menentukan pola
konsumsinya itu. Subsidi BBM jelas berlawanan dengan pola konsumsi yang
berkelanjutan. Namun, kebijakan pemerintah harus juga bersifat adil dan
komprehensif. Setelah subsidi BBM dikurangi (dicabut), perbaikan dan
pembangunan sarana prasarana di bidang transportasi menjadi prasyarat mutlak.
Wujudkan angkutan umum publik massal yang aman, nyaman, dan manusiawi.
Mobilitas warga, khususnya di kota-kota besar, seharusnya berbasis angkutan
umum massal (mass rapid transportation).
Terwujudnya angkutan umum massal yang nyaman, aman, dan manusiawi, tidak hanya
pro terhadap lingkungan global dan konsumsi berkelanjutan, tetapi juga pro
terhadap aspek keselamatan bagi penggunanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar