Problema RUU Pendidikan Tinggi
Darmaningtyas, Penulis
Buku “Manipulasi Kebijakan Pendidikan”
SUMBER : KORAN TEMPO, 29 Maret 2012
Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat saat ini
sedang menuntaskan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Kedokteran. Diharapkan, kedua rancangan tersebut disahkan pada
sidang paripurna, 4 April 2012. Meskipun merupakan rancangan yang amat
strategis--karena menyangkut nasib pendidikan anak bangsa--kedua RUU itu kurang
mendapat perhatian media massa. Bandingkan, misalnya, dengan RUU Pemilu, yang
masa berlakunya hanya lima tahun. Perhatian serius hanya diberikan oleh
segelintir aktivis pendidikan. Tulisan di bawah ini akan membatasi diri pada
pembahasan mengenai RUU PT saja, tidak kedua RUU tersebut.
Problem Otonomi
Mengingat banyak pembaca yang tidak mengikuti
isu Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT), perlu dijelaskan di
sini secara singkat mengenai kemunculan RUU PT tersebut. RUU PT muncul karena
desakan tujuh pendidikan tinggi badan hukum milik negara yang merasa kehilangan
payung hukum dengan dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh
Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010.
Selama ini ketujuh perguruan tinggi badan
usaha milik negara (PT BUMN) tersebut, yakni UI, UGM, ITB, IPB, USU, Unair, dan
UPI, berjalan berdasarkan peraturan pemerintah (PP) saja. Semula mereka akan
diperkuat dengan UU BHP. Tapi, karena UU BHP hanya mampu bertahan dalam satu
tahun tiga bulan saja, payung hukum tersebut kembali ke PP untuk masing-masing
perguruan tinggi. Payung hukum dalam bentuk PP ini dinilai terlalu lemah,
terutama di hadapan Kementerian Keuangan, sehingga perlu ada undang-undang
khusus tentang pendidikan tinggi. Atas dasar latar belakang seperti itulah
kemudian disusun RUU PT.
Tentu saja RUU PT akan menimbulkan resistansi
kuat jika hanya memenuhi kebutuhan PT BHMN saja. Untuk itulah isu besar perlu
diangkat guna menghindari munculnya resistansi tersebut. Isu besar dalam
penyelenggaraan perguruan tinggi kita adalah masalah otonomi, baik otonomi
keuangan maupun otonomi akademik. Otonomi keuangan menyangkut soal pengelolaan
keuangan di PT yang lebih fleksibel sehingga tidak menghambat proses
belajar-mengajar. Sedangkan otonomi akademik menyangkut kebebasan PT untuk
mengembangkan program-program studinya dan mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa
mengalami hambatan birokrasi.
Masalah otonomi keuangan itu terutama
dihadapi oleh PT yang didirikan oleh pemerintah, baik yang berstatus PTN maupun
PT BHMN. Karena PTN/PT BHMN tersebut mempergunakan uang negara, mekanisme
penggunaan anggarannya mengikuti mekanisme penggunaan anggaran yang diatur
dalam perundangan keuangan negara. Misalnya, anggaran harus diajukan setahun
sebelumnya dan hanya yang sudah dianggarkan saja yang bisa dibiayai, atau
penggunaan anggaran melalui proses tender untuk dana di atas Rp 100 juta dan di
luar anggaran rutin. Bahkan sumbangan dana dari mahasiswa (yang lebih dikenal
dengan sebutan pendapatan negara bukan pajak/PNBP) pun harus disetor ke kas
negara terlebih dulu, tidak bisa langsung dipergunakan.
Mekanisme penganggaran yang seperti itu jelas
tidak sejalan dengan kebutuhan proses pembelajaran di perguruan tinggi yang
dinamis dan fleksibel. Sebagai contoh, kebutuhan pembelian bahan-bahan kimia
atau bahan habis pakai lain untuk kebutuhan praktikum dengan nilai Rp 200 juta.
Bila prosedur pembelanjaan barang tersebut melalui sistem tender, jelas tidak
tepat karena butuh waktu lama. Akibatnya, bisa-bisa tender baru selesai,
praktikumnya sudah selesai. Tapi, bila tidak melalui tender, pasti
dipersoalkan, yang ujung-ujungnya si penanggung jawab masuk penjara dengan
tuduhan korupsi. Mekanisme penggunaan anggaran seperti itu jelas tidak sejalan
dengan kebutuhan kelancaran proses belajar-mengajar di PT. Pengelolaan keuangan
di PT jelas memerlukan fleksibilitas tersendiri, termasuk penggunaan dana dari
mahasiswa. Seharusnya dana tersebut tidak disetor ke kas negara, tapi cukup
langsung masuk ke kas PTN saja dan langsung dapat dibelanjakan. Otonomi
pengelolaan keuangan seperti inilah yang dibutuhkan oleh PT.
Demikian pula masalah otonomi akademik,
seharusnya PT memiliki otonomi cukup kuat sehingga pengembangan PT tidak
terhambat oleh birokratisasi PT. Setiap PT dapat membuka-tutup program studi
secara otonom, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga terhindar
dari miss match. Atau mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan
potensi yang dimilikinya dan lingkungan sosial-budaya yang melingkupinya.
Berdasarkan perspektif otonomi seperti itu, saya mendukungnya seratus persen.
Artinya, saya tidak keberatan dengan tuntutan otonomi penuh dari para pengelola
PTN.
Yang menjadi keberatan saya adalah bila
pemberian otonomi penuh tersebut hanya berlaku pada PTN tertentu dan disertai
dengan perubahan status kelembagaan dengan membentuk badan hukum baru. Yang
saya bayangkan, otonomi PTN itu seperti yang terdapat di negara-negara Eropa
atau Australia, yaitu dana operasional PTN itu dari pemerintah, tapi
pengelolaan keuangannya menjadi otonomi penuh PTN yang bersangkutan. Selama ini
yang ada di PTN kita adalah otonom dalam mencari dana--yang kemudian berdampak
tingginya SPP mahasiswa tapi pengelolaannya belum otonom.
Badan Hukum
Kemungkinan pembentukan badan hukum
pendidikan tinggi (BHPT) baru tersebut memang diatur dalam RUU PT, termasuk
versi 22 Februari 2012. Pasal 70 ayat (2) berbunyi “PTN didirikan oleh Pemerintah dengan Peraturan Presiden atau Peraturan
Pemerintah bagi yang berbentuk badan hukum pendidikan nirlaba”; ayat (2) “PTS didirikan oleh masyarakat dengan membentuk
badan penyelenggara yang berbadan hukum bersifat nirlaba”. Pasal ini
merupakan titik masuk untuk pembentukan BHPT baru, sekaligus memperkuat status
PT BHMN yang ada. Hanya, problemnya adalah, kalau keberadaan PT BHMN dipayungi
dengan Pasal 70 ayat (2) tersebut, maka payung hukum mereka juga sama, hanya
peraturan pemerintah (PP) saja. Bila sama-sama dipayungi dengan PP, mengapa
memerlukan UU PT? Mengapa tidak berlindung di PP yang sudah ada saja? Atau,
kalau butuh payung hukum dalam bentuk undang-undang, mestinya pembentukan badan
hukum tersebut langsung diatur dalam undang-undang, bukan melalui PP atau
perpres. Pembentukan BHPT yang diatur dalam UU PT jauh lebih kuat dan
terkontrol oleh publik. Kalau didasarkan pada PP, selain kurang kuat, ia minim
kontrol karena PP dan perpres adalah domain pemerintah.
Salah satu perdebatan yang masih alot dalam
RUU PT adalah kemungkinan membentuk BHPT tersebut. Juga adanya pengelompokan PT
berdasarkan status, seperti otonom, semiotonom, dan otonom terbatas. Pengelompokan
itu tidak akan mengubah kondisi yang ada saat ini, yaitu PT yang
diselenggarakan oleh pemerintah dikelompokkan menjadi PT BHMN, PTN dengan pola
manajemen badan layanan umum (BLU) dan PTN. Hanya, dalam pembahasan belakangan,
kata ”status” diganti dengan ”pola”, sehingga pengelompokan tersebut
lebih mengacu ke pengelolaan keuangannya bukan pada status.
Saya pribadi mendukung 1.001 persen otonomi
perguruan tinggi, tapi saya belum bisa menerima 100 persen bila otonomi
tersebut harus disertai dengan pembentukan badan hukum baru. Sebab, ada banyak
pengalaman bahwa pembentukan badan hukum baru tersebut tidak serta-merta
menyelesaikan persoalan. Saya mendukung penuh Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Tinggi jika ia mampu menjamin akses pendidikan bagi semua warga
tanpa diskriminasi, memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan kepada
pengelola PTN tanpa mengubah kelembagaan, serta meningkatkan kualitas
pendidikan tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar