Diskusi Panel “Ketahanan Energi Pasca-Kenaikan Harga BBM Bersubsidi” :
Ancaman
Krisis Minyak
SUMBER : KOMPAS, 27 Maret 2012
Ketahanan energi di Tanah Air telah berada di
titik kritis. Produksi minyak nasional terus menurun seiring bertambahnya usia
sumur-sumur minyak yang ada. Di lain pihak, kebutuhan bahan bakar minyak di
kalangan masyarakat kian tinggi sebagai dampak pesatnya pertumbuhan ekonomi.
Maka, Indonesia pun kini menjadi negara importir minyak.
Menurut pengamat energi yang juga terlibat dalam
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), Abdul Muin, selain produksi minyak
yang terus menurun, cadangannya pun setali tiga uang. Padahal, tingkat konsumsi
terus meningkat. Alhasil, pertumbuhan impor minyak terus naik seiring dengan
pertumbuhan penduduk.
”Penurunan produksi setelah melalui puncak
produksi adalah indikasi bahwa Indonesia sudah masuk dalam era krisis minyak,”
katanya.
Mengutip data Badan Pelaksana Kegiatan Hulu
Minyak dan Gas Bumi, dalam 10 tahun terakhir, realisasi produksi minyak dan
kondensat mengalami laju penurunan 6 persen setiap tahun. Adapun laju penurunan
produksi minyak selama lima tahun terakhir rata-rata 2 persen per tahun.
Tahun lalu, realisasi produksi minyak dan
kondensat hanya mencapai 902.053 barrel per hari. Menurut Deputi Pengendalian
Operasi BP Migas Rudi Rubiandini, dari produksi minyak mentah (lifting) sekitar
900.000 barrel minyak per hari (bph), bagian negara hanya 600.000 bph. Padahal,
kebutuhan nasional 1,3 juta barrel minyak per hari. Kondisi inilah yang menyebabkan
ketergantungan kita terhadap impor minyak.
Saat ini pengurasan cadangan minyak Indonesia
sangat tinggi, mencapai delapan kali laju pengurasan di negara-negara penghasil
minyak utama dunia, seperti Arab Saudi dan Libya. Padahal, menurut Kepala
Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana, Indonesia hanya
memiliki cadangan sekitar 4 miliar barrel dan memproduksikan minyak rata-rata 1
juta barrel per hari. Ini berarti rasio cadangan terhadap produksi hanya 4.
Angka ini jauh di bawah Arab Saudi dan Libya.
Dengan cadangan minyak mencapai 265 miliar barrel, Arab Saudi hanya memproduksi
rata-rata 8 juta barrel per hari atau tingkat rasio cadangan terhadap produksi
mencapai 35. Sementara Libya yang memiliki cadangan 46 miliar barrel dan tingkat
produksi 1,5 juta barrel per hari, memiliki rasio cadangan terhadap produksi
sebesar 30.
Dikuras habis
Penemuan cadangan minyak yang besar, antara
lain, di lapangan Minas dan Duri, Riau, serta terakhir Blok Cepu, perbatasan
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengurasan cadangan Minas mencapai puncaknya pada
1975-1976 dengan tingkat produksi berkisar 250.000 bph, menjadi penyumbang
utama produksi minyak nasional, sebesar 1,5 juta barrel. Selanjutnya,
pengurasan cadangan Duri membuat produksi nasional kembali mencapai puncaknya
pada 1995, sebesar 1,6 juta barrel per hari. Saat ini cadangan dan produksi
minyak di dua blok itu kian tipis.
Pengembangan proyek Blok Cepu yang diandalkan
dapat mendongkrak produksi minyak nasional juga berjalan lambat karena kendala
perizinan dan pembebasan lahan. Tanpa ada upaya menghambat laju penurunan
produksi minyak, target produksi minyak nasional minimal 1 juta bph yang
ditetapkan pemerintah akan sulit tercapai meski Blok Cepu telah berproduksi
penuh sebesar 165.000 bph pada 2014.
Sejauh ini belum ada lagi penemuan lapangan
minyak baru berukuran besar. Sebaliknya, eksplorasi yang gencar dilakukan di
kawasan Indonesia timur menghasilkan penemuan cadangan-cadangan gas dalam
jumlah besar. Misalnya Tangguh, area laut dalam Selat Makassar, Masela, dan
terakhir oleh Genting Oil di Bintuni. Karena jumlah penemuan blok minyak terus
menurun, hal itu sulit menahan laju penurunan produksi.
Sebenarnya cadangan dan produksi gas alam
masih bisa meningkat, tetapi pasokan domestik terkendala minimnya
infrastruktur. Potensi batubara sangat besar, tetapi lebih banyak diekspor dan
pemanfaatannya sangat minimal untuk memenuhi kebutuhan domestik ataupun sebagai
sumber penerimaan APBN. Sementara pengadaan pembangkit listrik di masa lalu
didominasi berbasiskan energi fosil, terutama bahan bakar minyak.
Tentu krisis ketersediaan energi, khususnya
migas, di Indonesia tidak terjadi dalam sekejap. Hal ini, menurut Abdul Muin,
karena beberapa dekade ini Indonesia tidak punya kebijakan pengelolaan energi
strategis yang komprehensif dan terpadu. Tidak ada perencanaan jangka panjang
yang memadai, berkelanjutan, dan berimbang dengan kepentingan publik lain.
Pengurasan sumber minyak bumi secara maksimal
jadi sasaran utama untuk memenuhi kebutuhan rutin belanja negara jangka pendek
sehingga alokasi dana pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi pun
terabaikan cukup lama.
Guna mengatasi ancaman krisis minyak, harus
ada kepastian hukum di sektor migas, pemberian insentif, dan penyisihan
anggaran untuk studi agar dapat menemukan cadangan minyak serta pengembangan
energi alternatif. ●
Minyak Indonesia yang seharusnya kita bisa produksi sendiri dan nikmati sendiri nyatanya juga digunakan oleh pihak luar sebagai komoditi mereka, sementara bangsa kita kekurangan stok minyak
BalasHapus