Kisruh Bunga Setoran Haji
Effnu Subiyanto, Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER : REPUBLIKA, 28 Maret 2012
Polemik
haji dan patgulipat triliunan dana idle-nya akhirnya diendus KPK. Per 21
Februari 2012, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam rapat dengar pendapat
dengan Komisi VIII DPR RI meminta pendaftaran haji dihentikan sementara.
Kontroversi
manajemen haji sebetulnya tidak ada yang baru kendati berganti menteri.
Perdebatan itu selalu berputar-putar dari soal pondokan ring I, ring II, dan
ring yang lebih besar dibandingkan dengan pondokan jamaah haji dari negara
lain, misalnya, Malaysia yang selalu menempati hotel (bukan maktab) di sekitar
masjid di Madinah dan di Makkah. Faktor jarak ini selalu menjadi handicap utama karena menyangkut konsentrasi
ibadah. Transportasi adalah persoalan lain yang tidak kalah penting yang harus
dicermati. Kendati, Kemenag menjamin sistem transportasi 24 jam, faktanya sama
sekali berbeda.
Tidak Transparan
Sudah
sangat terkenal bahwa biaya untuk beribadah haji bagi jamaah Indonesia terkenal
sangat mahal. Biaya dalam rentang Rp 30-36 juta, dibandingkan dengan jamaah
asal negara lain, misalnya, Malaysia, sebetulnya cukup untuk membiayai setiap
jamaah setara dengan pelayanan standar kelas satu. Namun sayangnya, karena
Depag tidak cukup cerdas dalam melakukan pengelolaan manajemen maka yang
terjadi para jamaah Indonesia selalu mempunyai cerita yang tidak menyenangkan.
Kekacauan
demi kekacauan dalam manajemen haji menandakan bahwa Kemenag tidak memiliki
strategi visioner dalam mengorganisasi event yang besar, kendati dalam jadwal
regular yang tetap. Ini sangat mengherankan karena sebetulnya Kemenag memiliki
“power“ lebih dari cukup untuk melakukan inovasi manajemen, namun perubahan itu
tampaknya tabu.
Hal
ini menunjukkan bahwa bargaining
positioning Kemenag dalam melindungi kepentingan CJH Indonesia di hadapan
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak maksimal. Mayoritasnya jumlah jamaah haji
Indonesia tiap tahun dan menyumbang devisa besar bagi Kerajaan Arab Saudi, sama
sekali tidak menjadi diferensiasi dibanding dengan negara lain. Soal ini harus
difokuskan oleh Menteri Agama karena kekuatan diplomasi kita dengan Kementerian
Urusan Haji (KUH) Arab Saudi tidak dalam posisi seimbang.
Persoalannya
kenapa Kemenag bersikukuh tidak belajar dengan pengalaman masa lalu? Kondisi
ini tampaknya sudah menjadi tradisi bahwa manajemen haji selalu menimbulkan
kontroversi dan polemik, siapa pun menteri agamanya.
Dana
besar setiap tahun dari setoran awal haji, sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk
melakukan bargaining positioning dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Seperti
misalnya, melakukan kontrak jangka panjang untuk pemondokan jamaah yang paling
dekat dengan Masjidil Haram sekalipun, begitu pula kontrak penyediaan makanan
dan transportasi yang nyaman bagi seluruh jamaah.
Sekarang
ini, ketika calon jamaah mendaftar di bank untuk mendapat nomor urut dalam
siskohat, setiap calon harus membayar minimal Rp 20 juta. Padahal, kuota
nasional sampai dengan 12 tahun ke depan sudah dinya takan habis atau penuh.
Sekarang ini, sedikitnya 1,6 juta calon jamaah terpaksa duduk dalam daftar
tunggu dan kondisi ini berlangsung terus menerus sepanjang tahun.
Dengan
demikian, pada saat ini di rekening Kemenag sudah standby dana cash sedikitnya sebesar Rp 32 triliun. Menteri Agama
bahkan baru saja memindahkan dana setoran awal Rp 20 triliun ke Sukuk yang
diklaim memberikan tingkat suku bunga lebih besar. Berapa bunga per tahun,
tidak jelas, namun sejak 2009 Kemenag meng aku pernah memiliki dana cash menganggur Rp 17,6 triliun. Jumlah
bunga ketika itu sudah mencapai Rp 900 miliar, dengan bunga berbunga jumlah
sekarang tentu sangat besar.
Tentunya,
rakyat negeri ini akan bertanya, berapa bunga bank dari standby dana triliunan tersebut dalam setahun. Jika secara simulasi
menggunakan bunga tabungan atau deposito termurah kini sekitar lima persen
pertahun maka total bunga akan mencapai minimal 50 persen dalam 10 tahun ke
depan. Ini angka minimal karena sebetulnya bank memiliki mekanisme bunga
berbunga, atau setidaknya cash
tambahan Kemenag dari pendapatan bunga saja sekitar Rp 1,6 triliun per tahun.
Jika Kemenag baru member angkatkan haji pada tahun kelima ma ka minimal sekitar
Rp 8 triliun setiap tahun dalam genggaman Kemenag.
Surplus
biaya dari bunga ini sebetulnya lebih dari cukup untuk melindungi kepentingan
jamaah haji Indonesia, seperti dapat membayar uang muka pemondokan yang sangat
layak atau makanan yang memenuhi syarat gizi. Secara kalkulasi kasar,
sebetulnya dana tersebut cukup untuk reservasi kamar hotel setara bintang empat
di Indonesia, setiap jamaah. Padahal, jamaah Indonesia mayoritas dengan
pasangannya, artinya hanya diperlukan kamar hotel di Arab Saudi setengah dari
total jamaah atau sekitar 96.418 kamar untuk 40 hari sekaligus atau hanya Rp
1,928 triliun.
Sekarang
ini untuk menutupi biaya pondokan di ring I Masjidil Haram selama musim haji
yang termahal adalah 2.500 riyal per orang atau 71 riyal per orang untuk 35
hari. Kalau secara simulasi digenapkan seluruh jamaah Indonesia menginap di
Makkah selama 40 hari, dengan tarif pondokan paling mahal, masih ada Rp 1,652
triliun?
Inilah
ironi bagi calon jamaan haji negeri ini, sudah mahal, pondokan jauh, tidak
terjamin transportasi, persoalan makanan, dan kini dibebani dengan setoran awal
yang mencekik. Problem teknis itu berlangsung permanen dari pendaftaran hingga
pemulangan, sejak jaman baheula sampai sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar