Simpang-Siur Status Hakim
Dimas Prasidi, Peneliti
Peradilan pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)
SUMBER : KORAN TEMPO, 30 Maret 2012
Peningkatan kesejahteraan hakim sedang
mendapat sorotan. Wacana ini muncul dari institusi Mahkamah Agung sendiri
melalui juru bicaranya. Kesejahteraan hakim memang merupakan isu lanjutan dalam
upaya pembaruan peradilan, reformasi birokrasi, dan upaya pemberantasan korupsi
di tubuh badan peradilan. Korelasi antara kesejahteraan hakim dan pembaruan
peradilan, terutama pemberantasan mafia peradilan, adalah guna menekan sifat
koruptif individu hakim. Sifat koruptif yang dimaksud di sini adalah dorongan
hakim untuk mengambil keuntungan lebih dari jabatannya, karena desakan ekonomi
akibat minimnya kesejahteraan. Diharapkan, dengan kesejahteraan yang layak,
profesi hakim akan kembali menjadi profesi yang bermartabat, terhormat, dan
berwibawa.
Kesejahteraan hakim, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
adalah kewajiban negara. Undang-undang paket peradilan yang disahkan pada 2009
menyatakan bahwa kesejahteraan hakim adalah hak-hak yang melekat pada jabatan
hakim, yakni gaji pokok, tunjangan (jabatan dan khusus), biaya dinas, pensiun, rumah
jabatan milik negara, jaminan kesehatan, sarana transportasi milik negara, dan
jaminan keamanan. Sejak 1999, kesejahteraan hakim dikelola oleh Mahkamah Agung
sendiri berdasarkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman--yang terakhir dicabut dan digantikan
oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Anggaran untuk pembiayaan pegawai yang
memegang fungsi kekuasaan kehakiman yang dipegang oleh Mahkamah Agung cukup
besar, yakni sekitar Rp 3 triliun untuk 2011 berdasarkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2010 tentang APBN 2011. Lantas, mengapa hakim masih saja mengeluhkan
pendapatan yang minim? Ada dua permasalahan besar yang berhasil penulis
identifikasi. Pertama, membengkaknya jumlah pegawai dalam institusi Mahkamah
Agung serta badan peradilan di bawahnya. Kedua, tidak jelasnya status hakim
sejak kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung) menjadi satu atap.
Pertama, saat ini pegawai negeri yang bekerja
di institusi Mahkamah Agung serta badan-badan peradilan di bawahnya berjumlah
sekitar 30 ribu pegawai non-teknis dan sekitar 7.000 hakim. Problem utamanya
ada dalam proses seleksi. Saat ini, alur seleksi untuk menjadi seorang hakim
tidak sepenuhnya ada pada Mahkamah Agung. Proses seleksi dimulai dari usul
Mahkamah Agung kepada pemerintah atas adanya kebutuhan tertentu untuk kemudian
pemerintah memberikan persetujuan atas formasi yang dibutuhkan tersebut.
Setelah disetujui, barulah Mahkamah Agung dapat melaksanakan proses seleksi
calon hakim.
Proses ini adalah alur proses berdasarkan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Padahal
undang-undang ini diberlakukan pada saat proses rekrutmen pegawai Mahkamah
Agung masih berada dalam wewenang Departemen Kehakiman. Saat itu, pegawai
negeri sipil di Mahkamah Agung adalah PNS organik Departemen Kehakiman. Proses
seleksi dengan alur ini tentu saja sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang.
Saat ini, penentuan kapan proses rekrutmen masih berada di Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara. Padahal, sejak satu atap, kebutuhan riil badan
peradilan tentulah berada di Mahkamah Agung. Akibatnya, proses rekrutmen tidak
berbanding lurus dengan kebutuhan Mahkamah Agung. Saat ini, pegawai negeri
calon hakim yang tidak lulus menjadi hakim maka akan menjadi pegawai negeri
pada Mahkamah Agung. Banyaknya pegawai negeri yang tidak lulus sebagai hakim
ini memberi kontribusi pada membengkaknya kebutuhan pembayaran upah pegawai di
Mahkamah Agung.
Kedua, adanya ketidakjelasan status hakim
sejak kekuasaan kehakiman menjadi satu atap. Sejak 1999, semua hal yang
berkaitan dengan administrasi badan peradilan menjadi wewenang Mahkamah Agung.
Sebelumnya, wewenang tersebut berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman.
Artinya, institusi peradilan hanya menjalankan tugas memeriksa dan mengadili,
sedangkan “urusan perut” para pegawai pengadilan dan pengadil ada di tangan
Departemen Kehakiman. Sejak satu atap, urusan perut ini berpindah ke Mahkamah
Agung secara sporadis, yang sudah berlangsung pada satu dekade terakhir. Sejak
itu pula, status hakim berubah menjadi pejabat negara berdasarkan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian. Namun perubahan sporadis
ini tidak diikuti dengan penyesuaian peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan urusan administrasi para pegawainya. Maka, akibatnya, status pegawai dan
hakim menjadi simpang-siur.
Dua masalah ini terus-menerus menjadi sumber
masalah besar di institusi peradilan. Kesejahteraan hakim yang tidak layak
memperbesar potensi sifat koruptif. Kondisi ini memunculkan tuduhan liar:
pemerintah memang membuat kondisi badan peradilan yang statusnya simpang-siur
seperti ini dalam rangka melemahkan fungsi kekuasaan kehakiman, sehingga dapat
disetir kembali seperti pada zaman Orde Baru. Atau, telah terjadi pembiaran
oleh eksekutif dan legislatif terhadap yudikatif mengenai keberlangsungan hidup
lembaga yudikatif. Efek puncak dari fenomena ini adalah jatuhnya martabat dan kehormatan
hakim.
Pihak yang berwenang mengatur urusan perut
lembaga yudikatif sudah seharusnya mempercepat pengesahan kebijakan soal
kesejahteraan hakim, misalnya pembaruan kebijakan soal gaji pokok hakim,
tunjangan jabatan hakim sebagai pejabat negara, dan tunjangan khusus lainnya.
Selanjutnya, perlu ada pendekatan mendalam soal kemungkinan perombakan sistem
administrasi badan peradilan, terutama yang terkait dengan kesejahteraan,
martabat, dan kehormatan hakim. Dalam hal ini, peran Komisi Yudisial bisa diperluas
untuk mengelola kesejahteraan hakim dalam rangka menjaga martabat dan
kehormatan hakim. Praktek demikian juga digunakan oleh beberapa negara lain
dalam pendekatan yang berbeda-beda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar