Laskar Pelangi di Langit Indonesia
A Faisal, Ketua Tim Program
Konversi Minyak Tanah ke LPG,
PT Pertamina,
2006-2010
SUMBER : KOMPAS, 28 Maret 2012
Usai sudah perdebatan wacana apa yang akan
ditempuh pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Pemerintah
akhirnya menyatakan bakal menaikkan harga BBM bersubsidi mulai 1 April
mendatang.
Memang belum ada kata sepakat tentang besaran
kenaikan. Wacana yang berkembang Rp 500-Rp 1.500 per liter. Pertimbangan ini tentu
mengacu pada kekhawatiran akan inflasi yang bakal terjadi.
Menurut hemat saya, inflasi adalah sebuah
keniscayaan yang selalu terjadi dalam hidup bernegara. Hanya saja, yang perlu
jadi pertimbangan adalah seberapa jauh pemerintah menakar kesiapan publik untuk
menghadapi inflasi tersebut.
Bisa saja besaran kenaikan yang dilakukan
bertahap hingga secara perlahan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mampu
menipiskan disparitas harganya dengan BBM nonsubsidi. Katakanlah kenaikan itu
dipatok Rp 1.500, pemerintah dapat menawarkan kenaikan setiap triwulan Rp 500.
Sosialisasi dilakukan sejak awal sehingga publik pun siap menghadapi tahapan
kenaikan tersebut.
Lalu, apakah keputusan menaikkan harga BBM
bersubsidi ini lantas menuntaskan persoalan energi bangsa ini? Untuk jangka
waktu tertentu mungkin saja ”ya”. Namun, apabila kita bicara dalam konteks
energi, berapa pun besaran kenaikan itu sifatnya adalah sesaat.
Tercatat sepanjang 2011 konsumsi premium 25
juta kiloliter. Dengan tingkat laju pertumbuhan premium 6,5 persen per tahun,
pada 2020 konsumsi premium bakal melejit hingga 58 juta kiloliter.
Harus dipahami, cadangan minyak di Indonesia
semakin menipis. Tingkat produksi kita saat ini 900.000 barrel per hari, dengan
impor minyak mentah mencapai 400.000 barrel per hari dan impor produk 350.000
barrel per hari.
Dalam 10-20 tahun lagi cadangan tersebut akan
menyisakan tidak lebih dari 400.000 barrel per hari. Sementara impor minyak
mentah akan melejit lebih dari 1,5 juta barrel per hari. Melihat tren harga minyak
dunia yang terus melambung, sulit dibayangkan berapa anggaran belanja
pemerintah yang harus dikeluarkan demi ketersediaan BBM di Tanah Air.
Isu
Lingkungan
Itu baru hitungan angka. Dari segi
lingkungan, 25 juta kiloliter premium dan 15 juta kiloliter solar yang setiap
tahun terbakar niscaya membuat langit negeri ini tidak akan biru lagi.
Kandungan SO2, CO, CO2, NO yang
terbakar setiap hari menjadikan udara kita tercemar. Dampak dari pencemaran itu
timbul beragam penyakit. Reaksi pembakaran SO2 dengan H2O
(air) yang menjadi H2SO4 adalah
pangkal terjadinya disfungsi otak. Reaksi CO dengan H2O
juga terbukti menyebabkan peradangan tenggorokan. Sementara partikel material
yang dikeluarkan solar dan gas NO dari pembakaran premium menyerang lever
manusia.
Bagaimana nanti ketika konsumsi BBM kita
melonjak jadi 60 juta kiloliter dan solar 34 juta kiloliter pada 2020? Selain
belanja energi BBM yang membengkak, kita akan terbebani biaya kesehatan yang
tidak sedikit. Itulah harga yang harus dibayar jika kita membiarkan konsumsi
BBM mengalir tiada batas.
Kondisi ini seharusnya menyadarkan kita akan
pentingnya diversifikasi energi. Gas dan batubara adalah sumber kekayaan alam
kita yang masih berlimpah dan bisa dimanfaatkan. Harapan itu muncul kala
pemerintah memunculkan opsi mengonversi BBM bersubsidi ke bahan bakar gas
(BBG).
Upaya ini harus kita dukung. Sudah saatnya
kita mengubah pola pikir dalam konteks energi. Tugas pemerintah menjabarkan
kepada publik betapa energi non-BBM patut jadi pilihan. Harga gas memang relatif
lebih murah ketimbang minyak. Cadangannya pun terbilang tinggi, yaitu 154
triliun cubic feet (TCF). Jumlah itu cukup untuk konsumsi selama 40-60 tahun ke
depan.
Sementara batubara kita pun sangat berlimpah.
Diprediksi cukup untuk 140 tahun ke depan. Dari batubara ini bisa dilakukan
gasifikasi menjadi dimethyl ether (DME) yang harganya jauh lebih murah daripada
gas.
Terkait program konversi BBM ke BBG, untuk
tahap awal sebaiknya LPG (gas minyak bumi yang dicairkan) jadi pilihan. LPG
lebih mudah dibawa (dalam mobil) sehingga jauh lebih fleksibel ketimbang sumber
gas lain, seperti CNG (gas alam terkompresi) dan LNG (gas alam cair). LPG juga
bertekanan lebih rendah (15 bar). Karakter ini tak bisa kita jumpai pada CNG
yang bertekanan lebih tinggi (200 bar) sehingga butuh media yang lebih besar
dalam sebuah kendaraan.
Sekalipun harganya lebih murah ketimbang LPG,
proses angkut CNG terbilang tidak sederhana lantaran tidak tersedia di semua
wilayah di Indonesia. Sementara LNG, sekalipun berlimpah, kita belum memiliki
infrastruktur yang memadai, terutama di Pulau Jawa yang menjadi barometer
kesiapan energi kita. Lalu, DME harus diakui kita sama sekali belum siap.
Hendaknya kita bisa belajar dari
negara-negara maju dalam pemanfaatan gas sebagai bahan bakar. Korea Selatan
merupakan negara dengan tingkat penggunaan LPG sebagai bahan bakar kendaraan
bermotor tertinggi di dunia, yaitu 4 juta ton LPG untuk 2,3 juta kendaraan.
Juga Turki yang sudah menggunakan BBG sebanyak 2,5 juta ton LPG untuk 2,1 juta
kendaraan. Sementara Italia, Polandia, Swedia, dan negara Eropa lainnya juga
menggunakan LPG sebagai bahan bakar karena alasan lingkungan.
Kesuksesan program konversi BBM ke BBG di
negara-negara itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah setempat. Untuk
kendaraan/transportasi umum, peralihan ke BBG bersifat mandatori. Untuk
masyarakat umum, pemerintah memberikan insentif atau kompensasi pajak dengan
membebaskan fiskal, mengurangi pajak kendaraan bermotor, atau menerapkan PPN
yang lebih murah. Publik pun mulai beralih ke BBG lantaran harganya lebih
rendah 50 persen dibandingkan dengan premium atau solar.
Peta
Jalan
Pemerintah harus segera membuat peta jalan
program konversi BBM ke BBG. Dengan mengacu pada keberhasilan program tersebut
di sejumlah negara tadi, kebijakan harga bisa ditetapkan demi menjaga harga BBG
jauh lebih murah.
Guna mendorong ketertarikan publik,
pemerintah bisa memberi diskon pembelian alat konverter yang selama ini
dianggap jadi kendala. Pengawasan kualitas konverter harus dilakukan secara
ketat demi menghilangkan kekhawatiran konsumen, yakni dengan menunjuk BUMN
tertentu sebagai penanggung jawab.
Tahap awal, pemerintah harus mewajibkan semua
kendaraan dinas pemerintah, TNI, Polri, dan PNS beralih ke BBG. Swasta juga
harus didorong ikut menyukseskan konversi ini dengan mempermudah peluang usaha
membuka stasiun pengisian BBG.
Jika ini dilakukan, beban pemerintah atas
impor BBM yang terus membengkak bakal tertanggulangi. Toh, itu bukan pengalaman
baru. Sekalipun berbeda, suksesnya program konversi minyak tanah ke LPG di
Indonesia adalah bukti. Jika ada kemauan kuat, semua bisa dilakukan.
Pemerintah jangan terkesan ragu. Jadilah
Laskar Pelangi yang tanpa pamrih siap membirukan langit Indonesia dengan udara
nan bebas polusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar