Dalam Pusaran Perubahan
Rhenald Kasali, Ketua
Program MM Universitas Indonesia
SUMBER : SINDO, 29 Maret 2012
Rencana
kenaikan harga BBM bulan April ini telah menuai reaksi penolakan dari berbagai
tempat melalui demonstrasi-demonstrasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
sendiri pernah menyinggung soal ini.
Dia
mempersilakan masyarakat untuk protes melalui demonstrasi tetapi jangan anarki.
Sebelumnya dia juga merasa terancam dan menjadi “sasaran tembak” pihak-pihak
yang memanfaatkan suasana untuk menjatuhkan kekuasaan. Hal ini, setidaknya
menunjukkan bahwa rencana dan realisasi kenaikan harga BBM nanti, tidak lepas
dari nuansa politik.
Dari perspektif kepemimpinan politik, yang menarik, ketika Presiden SBY mengumumkan sendiri rencana kenaikan BBM ini. Ia memanggil para petinggi partai-partai Setgab koalisi pemerintahan di kediamannya di Cikeas, dan kemudian muncullah pengumuman itu. Publik masih ingat bahwa, suatu ketika, Jusuf Kalla,yang menyandang sebagai wakil presiden saat itu, mengumumkan dan kemudian jadi “sasaran tembak”.
Kini bukan Wakil Presiden Boediono yang melakukan fungsi itu, kecuali memberi masukan mengenai formula kenaikan BBM. Di tataran penentu kebijakan, kekuatan-kekuatan politik di DPR juga memanfaatkan isu ini sedemikian rupa. Pihak oposisi dapat dimaklumi apabila mereka menolak kebijakan yang dipandang berkonsekuensi membebani rakyat itu.
Tetapi yang menarik, di kubu koalisi pemerintahan, yakni partai-partai yang tergabung dalam Setgab Koalisi, terdapat satu partai yakni PKS, berkirim surat ke Presiden menawarkan beberapa opsi.Namun, pesan yang sampai di publik bahwa PKS sesungguhnya menolak rencana pemerintah. Apakah manuver PKS ini akan berhenti sampai di situ, ataukah justru akan memicu partai-partai lain di luar Partai Demokrat juga untuk menolak kenaikan BBM?
Bisa saja hal itu terjadi, tetapi kemungkinan besar tidak. BBM akan tetap naik sesuai rencana pemerintah. Eskalasi demonstrasi, akibatnya, semakin meluas. Bahkan, pun setelah program semacam bantuan langsung tunai yang dirancang, ditunaikan. Dinamika di lapangan, yang bahkan melibatkan kalangan angkatan bersenjata sebagai pihak yang diperbantukan kepada aparat kepolisian atau keamanan, tampaknya akan sangat menentukan haluan politik partai-partai ke depan.
Kalkulasi politik itu berbeda dengan kalkulasi ekonomi, tetapi jelas perkara rencana kenaikan harga BBM ini. Pemerintah pasti sudah memperhitungkan secara cermat perspektif ekonomi, dan sekaligus politik. Opsi kenaikan harga BBM membutuhkan keberanian pemerintah, mengingat resistensi pasti akan muncul, bahkan di jalan-jalan,sebagai konsekuensi bahwa ia dirasakan langsung oleh masyarakat.
Melibatkan angkatan bersenjata untuk membantu kepolisian dalam menangani demonstrasi-demonstrasi, pada zaman sekarang, harus diperhitungkan secara cermat efektivitasnya di lapangan. Jangan sampai pula angkatan bersenjata kembali menjadi sasaran tembak dari rakyat. Yang penting, bagaimana aksi-aksi itu bisa berlangsung damai.
Sedamai-damainya demonstrasi- demonstrasi yang ada, kalau kejadiannya eskalatif, tentu dapat membuat pemerintah sebagai penentu kebijakan berpikir ulang. Demikian juga kekuatan-kekuatan politik di DPR. Secara politik, bagaimanapun potensi persaingan itu tetap ada di kalangan partai-partai; dan mendekati 2014 mereka pun berlomba untuk mengambil hati rakyat.Partai-partai propemerintah segera dihadapkan pada dilema. Jalan keluar dan ekspresi masing-masing akan mewarnai dinamika politik kita ke depan.
Pola bantuan langsung sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, juga semakin mengarah pada isu politik. Pengalaman yang hampir sama menjelang Pemilu 2009 yang lalu, dipandang akan menguntungkan partai yang berkuasa. Banyak yang mengaitkan bahwa kebijakan bantuan langsung tunai saat itu, secara tidak langsung, mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat.
Partai yang dalam kampanyenya sempat mengkritisi kebijakan itu, yakni PDIP, justru menempati posisi nomor tiga. Terhadap fenomena demikian, “kubu oposisi” semakin bersikap kritis untuk mencegah ekses bahwa yang memperoleh popularitas politik atas kebijakan membagibagi uang atau barang ke rakyat itu adalah partai pemerintah. Partai-partai lain juga tampaknya turut mempertimbangkan dampak popularitas itu.
Memang, implementasi program bantuan langsung bukanlah satu-satunya penentu apakah partai menjadi populer atau tidak,tetapi mereka tetap berupaya mencermati dampaknya. Pemerintah, dan elemenelemen pendukungnya, bagaimanapun telah berani ambil risiko menaikkan harga BBM. Dalam politik, itu biasa.
Ada masa ketika sebuah kebijakan tidak populer harus dikeluarkan, demi apa yang diyakininya sebagai “kepentingan yang lebih besar”. Pemerintah mana pun akan menghadapi arus perlawanan dari yang tidak setuju dengan pilihan kebijakannya. Dan, bagaimana ia punya seni untuk meyakinkan publik, dan berbalik memperoleh dukungan mereka.
Menaikkan harga BBM bukan saja merupakan ujian bagi pemerintah, melainkan juga bagi gaya kepemimpinan Presiden SBY. Praktis, dia akan menghadapi sendiri di bagian yang paling depan untuk menjelaskan pilihan-pilihannya dan meyakinkan bahwa dia memerlukan dukungan langsung dari rakyat.
Seni kepemimpinan SBY akan tampak dari bagaimana kelak dia mengelola potensi-potensi konflik, baik dalam manajemen koalisi maupun di antara kelompok- kelompok kritis dalam masyarakat. Dalam konteks itu, SBY tentu saja tidak dapat bertumpu pada formula politik pencitraan yang artifisial. Bagi publik yang kurang bisa memahami alasan kenaikan harga BBM, mereka memang tidak serta-merta melakukan protes.
Kecuali lapisan elite terpelajar, seperti mahasiswa atau kelompok kritis lain yang terbatas. Namun, pemerintah tentu tidak menganggap enteng. Penanganan terhadap para pemrotes harus tepat dan baik, agar tidak menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Pemerintah tidak usah khawatir akan jatuh manakala bertindak secara wajar alias tidak berlebihan. Wallahu’allam. ●
Dari perspektif kepemimpinan politik, yang menarik, ketika Presiden SBY mengumumkan sendiri rencana kenaikan BBM ini. Ia memanggil para petinggi partai-partai Setgab koalisi pemerintahan di kediamannya di Cikeas, dan kemudian muncullah pengumuman itu. Publik masih ingat bahwa, suatu ketika, Jusuf Kalla,yang menyandang sebagai wakil presiden saat itu, mengumumkan dan kemudian jadi “sasaran tembak”.
Kini bukan Wakil Presiden Boediono yang melakukan fungsi itu, kecuali memberi masukan mengenai formula kenaikan BBM. Di tataran penentu kebijakan, kekuatan-kekuatan politik di DPR juga memanfaatkan isu ini sedemikian rupa. Pihak oposisi dapat dimaklumi apabila mereka menolak kebijakan yang dipandang berkonsekuensi membebani rakyat itu.
Tetapi yang menarik, di kubu koalisi pemerintahan, yakni partai-partai yang tergabung dalam Setgab Koalisi, terdapat satu partai yakni PKS, berkirim surat ke Presiden menawarkan beberapa opsi.Namun, pesan yang sampai di publik bahwa PKS sesungguhnya menolak rencana pemerintah. Apakah manuver PKS ini akan berhenti sampai di situ, ataukah justru akan memicu partai-partai lain di luar Partai Demokrat juga untuk menolak kenaikan BBM?
Bisa saja hal itu terjadi, tetapi kemungkinan besar tidak. BBM akan tetap naik sesuai rencana pemerintah. Eskalasi demonstrasi, akibatnya, semakin meluas. Bahkan, pun setelah program semacam bantuan langsung tunai yang dirancang, ditunaikan. Dinamika di lapangan, yang bahkan melibatkan kalangan angkatan bersenjata sebagai pihak yang diperbantukan kepada aparat kepolisian atau keamanan, tampaknya akan sangat menentukan haluan politik partai-partai ke depan.
Kalkulasi politik itu berbeda dengan kalkulasi ekonomi, tetapi jelas perkara rencana kenaikan harga BBM ini. Pemerintah pasti sudah memperhitungkan secara cermat perspektif ekonomi, dan sekaligus politik. Opsi kenaikan harga BBM membutuhkan keberanian pemerintah, mengingat resistensi pasti akan muncul, bahkan di jalan-jalan,sebagai konsekuensi bahwa ia dirasakan langsung oleh masyarakat.
Melibatkan angkatan bersenjata untuk membantu kepolisian dalam menangani demonstrasi-demonstrasi, pada zaman sekarang, harus diperhitungkan secara cermat efektivitasnya di lapangan. Jangan sampai pula angkatan bersenjata kembali menjadi sasaran tembak dari rakyat. Yang penting, bagaimana aksi-aksi itu bisa berlangsung damai.
Sedamai-damainya demonstrasi- demonstrasi yang ada, kalau kejadiannya eskalatif, tentu dapat membuat pemerintah sebagai penentu kebijakan berpikir ulang. Demikian juga kekuatan-kekuatan politik di DPR. Secara politik, bagaimanapun potensi persaingan itu tetap ada di kalangan partai-partai; dan mendekati 2014 mereka pun berlomba untuk mengambil hati rakyat.Partai-partai propemerintah segera dihadapkan pada dilema. Jalan keluar dan ekspresi masing-masing akan mewarnai dinamika politik kita ke depan.
Pola bantuan langsung sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, juga semakin mengarah pada isu politik. Pengalaman yang hampir sama menjelang Pemilu 2009 yang lalu, dipandang akan menguntungkan partai yang berkuasa. Banyak yang mengaitkan bahwa kebijakan bantuan langsung tunai saat itu, secara tidak langsung, mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat.
Partai yang dalam kampanyenya sempat mengkritisi kebijakan itu, yakni PDIP, justru menempati posisi nomor tiga. Terhadap fenomena demikian, “kubu oposisi” semakin bersikap kritis untuk mencegah ekses bahwa yang memperoleh popularitas politik atas kebijakan membagibagi uang atau barang ke rakyat itu adalah partai pemerintah. Partai-partai lain juga tampaknya turut mempertimbangkan dampak popularitas itu.
Memang, implementasi program bantuan langsung bukanlah satu-satunya penentu apakah partai menjadi populer atau tidak,tetapi mereka tetap berupaya mencermati dampaknya. Pemerintah, dan elemenelemen pendukungnya, bagaimanapun telah berani ambil risiko menaikkan harga BBM. Dalam politik, itu biasa.
Ada masa ketika sebuah kebijakan tidak populer harus dikeluarkan, demi apa yang diyakininya sebagai “kepentingan yang lebih besar”. Pemerintah mana pun akan menghadapi arus perlawanan dari yang tidak setuju dengan pilihan kebijakannya. Dan, bagaimana ia punya seni untuk meyakinkan publik, dan berbalik memperoleh dukungan mereka.
Menaikkan harga BBM bukan saja merupakan ujian bagi pemerintah, melainkan juga bagi gaya kepemimpinan Presiden SBY. Praktis, dia akan menghadapi sendiri di bagian yang paling depan untuk menjelaskan pilihan-pilihannya dan meyakinkan bahwa dia memerlukan dukungan langsung dari rakyat.
Seni kepemimpinan SBY akan tampak dari bagaimana kelak dia mengelola potensi-potensi konflik, baik dalam manajemen koalisi maupun di antara kelompok- kelompok kritis dalam masyarakat. Dalam konteks itu, SBY tentu saja tidak dapat bertumpu pada formula politik pencitraan yang artifisial. Bagi publik yang kurang bisa memahami alasan kenaikan harga BBM, mereka memang tidak serta-merta melakukan protes.
Kecuali lapisan elite terpelajar, seperti mahasiswa atau kelompok kritis lain yang terbatas. Namun, pemerintah tentu tidak menganggap enteng. Penanganan terhadap para pemrotes harus tepat dan baik, agar tidak menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Pemerintah tidak usah khawatir akan jatuh manakala bertindak secara wajar alias tidak berlebihan. Wallahu’allam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar