Teologi BBM
Ali Rif’an, Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 28 Maret 2012
Gelombang
demonstrasi menentang kenaikan bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan akan
memuncak akhir bulan ini. Entah apa yang akan terjadi jika pemerintah tak juga
berubah pikiran. Sebab, meski rencana kenaikannya baru dijalankan awal April,
harga-harga saat ini sudah merangkak naik dan membumbung tinggi. Bahkan,
masyarakat bawah mulai mengalami tanda-tanda keterpurukan.
Di
sinilah, penulis mempunyai analogi. Jika maestro ilmu komunikasi George Gerbner
menganggap bahwa media massa merupakan agama resmi masyarakat industri
sementara ekonom asal Jerman Karl Marx menyebut agama adalah candu maka
BBM--bagi masyarakat Indonesia--tak ada bedanya dengan “teologi“.
Di
banyak negara di dunia, masalah minyak memang selalu menjadi perdebatan sengit
bahkan kerap berujung pada perang. Invasi Amarika Serikat (AS) ke Irak beberapa
tahun lalu, misalnya, tak luput dari masalah minyak meski AS berkilah tentang
hal itu. Bahkan, yang teranyar, ketegangan antara Iran, Israel, dan AS juga tak
lepas dari masalah minyak.
Minyak
selalu diperebutkan oleh negara-negara di dunia. Sebab, minyak adalah sumber
energi sementara energi merupakan sumber pertahanan. Tentu saja semua negara
berebut energi untuk keberlangsungan negaranya dan sebagai amunisi pertahanan.
Tidak ada negara di dunia ini yang tak butuh minyak. Karena itu, minyak
memiliki posisi sangat vital dan patut diperebutkan meski harus terjadi pertumpahan
darah.
Di
sinilah, dalam logika transenden, minyak memiliki posisi setara dengan agama,
atau bahkan bisa mengunggulinya. Jika dulu perang selalu ditautkan dengan
persoalan agama maka pada paruh abad 21 ini, perang tak lagi melulu masalah
teologi, melainkan minyak dan energi.
Di
Indonesia sendiri, masalah minyak (baca: BBM) juga mulai mengerucut pada
perang. Bukan perang fisik dengan memakai pedang ataupun senjata pistol, tapi
perang media massa. Hal ini seperti diwantiwanti SBY dalam acara temu kader
Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, beberapa hari lalu. SBY mengatakan, “Sekarang ini yang dijadikan sasaran tembak
saya. Ada gerakan aneh yang saudara juga ikuti, pokoknya pemerintahan ini harus
jatuh sebelum 2014.“
Frustasi Nasional
Karena
itu, saat ini masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk berpikir dan merenung,
khususnya mengenai masalah menaikkan BMM. Sebab, menaikkan BBM--bagi masyarakat
miskin--sama halnya mengusik “keberagamaan“
mereka. Betapa tidak, BBM telah masuk ke wilayah kehidupan masyarakat yang
paling sensitif. BBM telah menjadi masalah vital yang memiliki dampak sistemik
yang bisa berujung pada keterpurukan. Lihat saja, jeritan dan tangis masyarakat
kecil saat ini sudah mulai terdengar di warung-warung kopi dan pasar-pasar
tradisional. Tak heran jika mereka mulai merapatkan barisan.
Barangkali,
kegeraman itu bisa dianggap sebagai akumulasi kekecewaan sebagian besar
masyarakat Indonesia yang melihat begitu banyak persoalan bangsa yang tidak
terselesaikan pemerintah dengan baik. Kekesalan dan kegeraman masyarakat karena
banyak kasus korupsi yang tak kunjung usai, birokrasi yang amburadul,
kesenjangan ekonomi yang semakin nyata, dan elite politik yang semakin
hedonistik dan abai terhadap rakyat membuat mereka frustasi melihat masa depan
bangsa ini.
Dalam
kasus BBM, misalnya, masyarakat seperti diperlakukan tidak adil. Sudah jelas
sebagian besar masyarakat menolak kenaikannya, tapi pemerintah tampak acuh.
Dengan kata lain, rakyat dengan pemerintah--baik eksekutif maupun legistalif
seperti DPR, DPD, dan DPRD--saat ini seperti terdapat jarak.
Kebijakan-kebijakan
yang muncul di tingkat nasional dan daerah sudah tidak lagi merepresentasikan
suara rakyat. Rakyat disapa ketika pemilihan, kemudian dicampakkan begitu saja
ketika mereka menjadi penguasa.
Janji
manis saat kampanye seperti pepesan kosong belaka. Mungkin para elite politik
berpikir, dengan imbalan Rp 15-30 ribu saat pemilihan, mereka sudah merasa
membeli suara rakyat dan memiliki hak untuk mencampakkannya.
Femonena
ini tidak hanya membuat rakyat semakin terpuruk, namun juga semakin geram.
Karena, sistem demokrasi yang diartikan suara rakyat suara Tuhan saat ini
tampak berbalik. Kita seperti kembali pada rezim otoriter, yang segala
kebijakan muncul hanya dari atas (pemerintah)-mengabaikan yang di bawah
(masyarakat). Atau, mungkin saat ini kita berjubah demokrasi, tapi di dalamnya
otoritarian.
Memang,
dalam kasus kenaikan BBM ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bantuan
langsung tunai (BLT) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dengan
total anggaran Rp25 triliun untuk disubsidikan ke sekitar 70 juta masyarakat
miskin. Tapi, hemat penulis, BLT itu hanya bersifat membantu, bukan
memberdayakan. Sebab, kata pemberdayaan (empowerment)
itu memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada membantu (help).
Membantu
identik dengan filosofi “memberi ikan“
yang berarti membantu tanpa mendidik masyarakat agar mandiri. Sedangkan,
memberdayakan menggunakan filosofi “memberikan kail“ yaitu membantu masyarakat
sekaligus mendidik mereka agar dapat hidup mandiri ke depannya nanti. Ini harus
dipahami oleh pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar