Ironi BBM dan BLT
Ismatillah A Nu’ad, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 29 Maret 2012
Bantuan
langsung tunai (BLT) yang bermetamorfosa menjadi bantuan langsung sementara ma
syarakat (BLSM) dari pe merintah untuk rakyat miskin sebagai subsidi atas
rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dinilai banyak pihak tidak
tepat. Bahkan, cenderung tidak memberikan pelajaran yang penting pada rakyat
untuk bersikap mandiri. BLT dinilai memberi contoh buruk pada rakyat karena
terkesan mengajari untuk mengemis. Selain itu, BLT/BLSM diduga tidak
mengajarkan sikap kerja keras. Bahwa, untuk mendapatkan penghasilan maka rakyat
harus bekerja.
Besaran
angka kucuran dana BLT, menurut pemberitaan media, sebesar Rp 100-150 ribu per
bulan. Dan, menurut rencananya akan dibagikan selama sembilan bulan. Sebuah
jumlah yang sangat jauh dari logika kesejahteraan di tengah kebutuhan yang
semakin melilit. Lagi pula, ini bukan soal dananya, melainkan BLT akan menggiring
rakyat pada sebuah mental yang lemah, tidak berjibaku seperti spirit
orang-orang Jepang.
Pemerintah
seharusnya memberikan “kail“ kepada
masyarakat miskin, bukan “ikannya“
demi mendorong mereka mampu bertahan hidup. Memberikan modal kerja membuat
mereka tetap kreatif dalam mempertahankan hidup. Kenaikan BBM ini dikhawatirkan
akan semakin membuat jumlah warga miskin bertambah karena sudah tak mampu
membeli kebutuhan pokok.
Logika
kenaikan harga BBM versus pemberian BLT (BLSM) sama sekali bertentangan, serta
tak ada korelasi, kompatibilitas, atau kesesuaiannya.
Karena itulah, banyak nada peyoratif ditujukan pada pemerintah atau petinggi partai berkuasa, yang mengatakan bahwa jika ada pihak-pihak yang mengkritik kebijakan BLT maka dia tidak prorakyat.
Karena itulah, banyak nada peyoratif ditujukan pada pemerintah atau petinggi partai berkuasa, yang mengatakan bahwa jika ada pihak-pihak yang mengkritik kebijakan BLT maka dia tidak prorakyat.
Pernyataan
seperti itu justru menjadi bumerang bahwa sesungguhnya merekalah yang tidak
pro-rakyat. Karena, BLT merupakan kebijakan jalan pintas atau bisa juga disebut
sebagai bentuk penyuapan (kolusi) pada rakyat. Di sisi lain, pemerintah sendiri
memiliki kepenting an, yaitu dalam rangka meredam gejolak akar rumput sebagai
efek domino dari rencana menaikkan harga BBM yang sudah pasti akan berdampak
pada kenaikan harga bahan pokok lainnya.
Lagi
pula, tak ada kaitan bahwa jika pemerintah memberikan BLT maka kemiskinan bisa
teratasi. Sangat jauh panggang dari api jika logika BLT bisa sedikitnya
mengurangi kemiskinan. Sebaliknya, pemerintah harusnya belajar dari pengalaman
lalu karena program BLT tidak efektif dan membuat warga miskin malas untuk
bekerja. Dana BLT untuk konsumsi selama beberapa hari saja, padahal dampak
kenaikan harga BBM akan dirasakan masyarakat dalam jangka waktu yang lama.
David
T Ellwood (2010), dari Harvard School of
Government, AS, mengatakan,
program seperti pemberian kupon atau uang tunai kepada masyarakat miskin tidak
akan dapat menstimulasi pekerjaan dan keterampilan baru. Pemerintah hendaknya
fokus pada stimulasi pencip taan lapangan kerja baru. Juga memberikan
pelatihan-pelatihan pada masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan industri di Indonesia.
Menurutnya,
ada empat resep penciptaan lapangan kerja dan mengurangi angka kemiskinan.
Pertama, mencipta kan ekonomi yang sehat dan kuat. Kedua, menemukan cara kerja
sama jangka panjang yang kompetitif dengan menemukan keunggulan komparatif di
dunia. Ketiga, mewujudkan pemerintahan yang kuat dan efektif. Keempat, membuat
program khusus bagi masyarakat miskin.
Target
mengakhiri kemiskinan, seperti diungkapkan oleh Jeffry Sachs dalam bukunya The End of Poverty (2008), me ru pakan
tanggung jawab bersama negara-negara di dunia yang melintasi batas
nasionalisme. Kemiskinan yang melanda suatu negara merupakan sebuah penyakit
yang sangat sulit dientaskan tanpa adanya pertolongan dari negara lain.
Sejak
2000, semua negara anggota PBB memiliki kesepakatan yang dituangkan dalam Milleneum Development Goals (MDGs).
Salah satu tujuan utamanya adalah pengurangan angka kemiskinan menjadi separuh
pada 2015. Kemudian, sebuah pertanyaan besar yang menyoal bagaimana target itu
bisa terpenuhi pun mengemuka. Pertanyaan ini memang sudah sewajarnya
diungkapkan mengingat kondisi dan kapasitas APBN Indonesia yang kurang mumpuni.
Indonesia
memiliki debt to GDP ratio sebesar
45,63 persen. Maka, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa utang luar negeri
mempunyai dampak yang kurang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan ber utang, penyediaan sarana dan prasarana publik pun menjadi
terkendala. Betapa tidak, setiap tahun fiskal 48,70 persen PPh dan PPn (Rp
210,71 T+ Rp 128,31 T=Rp 339,02 T) yang dibebankan ke masyarakat, habis untuk
bayar utang pemerintah.
Hal
ini menjadi hal yang ironis mengingat salah satu fungsi utama pajak adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang-barang
kebutuhan publik (public goods).
Jadi, alih-alih menyejahterakan negara, dengan menambah utang justru semakin
menyengsarakan negara.
BLT
pada kasus 2009 juga dikucurkan pemerintah dari utang meski dalam kasus rencana
BLT 2012 pemerin tah menolak bahwa itu akan bersumber dari utang. Namun, kita
kurang yakin memiliki dampak positif bagi pengentasan kemiskinan.
Pemberantasan kemiskinan yang dilakukan
dengan upaya teratur dan terukur merupakan tugas negara dan pemerintah
sebagaimana diperintahkan konstitusi. Kemiskinan merupakan persoalan yang
sangat kompleks. Karena itu, cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan
analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan
strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan, dan tidak bersifat temporer
seperti BLT.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar