Polisi dan Kewaspadaan Kolektif
Milto Seran, Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero, Flores, NTT
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 28 Maret 2012
POLISI
memainkan peran sentral dalam kehidupan bernegara. Polisi mengusung tugas
sangat mulia, yakni memelihara keamanan dan ketertiban publik. Eksistensinya
sebagai badan pemerintahan mampu menjadikan konstitusi negara tetap tegak dan
kukuh. Demikianlah polisi mutlak eksis untuk mempertahankan dan menjamin
keharmonisan hidup bermasyarakat dan bernegara. Ringkasnya, polisi mengemban
tugas ganda; mengabdi kepada negara dan melayani masyarakat.
Polisi
dikatakan mengabdi kepada negara karena ia menyandang tugas vital dalam
hubungan dengan penegakan hukum. Polisi berkewajiban melayani masyarakat.
Sebab, pada hakikatnya, ia terbentuk untuk menjamin keamanan publik. Dengan ini
polisi didefinisikan sebagai badan pemerintahan yang bertugas memelihara
keamanan dan ketertiban umum (seperti menangkap orang yang melanggar
undang-undang). Namun kenyataannya, institusi polisi tak jauh pula dari
bentukbentuk kejahatan.
Institusi Bertabur Kejahatan
Akan
tetapi, jika terjadi suatu aksi kriminalitas yang melibatkan oknum polisi,
terkadang pertanyaan remeh yang terlontar ialah `Polisi macam apakah orang
ini?' Timbulnya pertanyaan itu bukannya tanpa dasar. Pertanyaan tersebut
mengacu pada fakta bahwa sering terjadi kejahatan (kekerasan, pemerasan, dan
belakangan ini terjadi penyalahgunaan narkotika) yang dilakoni oknum polisi.
Dalam
banyak hal, sebagai personal, polisi juga mempunyai kelemahan manusiawi. Akan tetapi, apa pun aksinya (apalagi
kriminalitas), tindakan seorang anggota polisi tidak bisa dilepaspisahkan dari
profesinya sebagai alat negara, terutama keanggotaannya dalam suatu badan
pemerintahan. Artinya, tindakan polisi yang melanggar hukum tidak dapat diklaim
remeh sebagai suatu kelalaian.
Tindakan
kriminal oleh polisi (entah perorangan, kelompok, atau bahkan lembaga) tidak
bisa dimaklumi begitu saja. Sebab, ketika sebuah pelanggaran hukum dimaklumi
tanpa sikap tegas, hal itu berpotensi menjadi `kultur' negatif, yakni budaya
`pembiaran' atau kultur bisu.
Karena
alasan itu, tidak rasional bila polisi `memelihara' kebiasaan memaklumi suatu
persoalan kriminal dengan pendekatan `maafmaafan'. Dengan kata lain, sikap
melanggengkan kejahatan (tanpa menindak pelaku secara tegas) merupakan suatu
pengkhianatan terhadap lembaga publik yang mengemban tugas-tugas luhur. Namun,
entah diakui atau tidak, be berapa tahun belakangan ini telah berlangsung cukup
ban nyak `adegan' kejahatan yang d dilakukan oknum polisi; mulai dari bentrokan
polisiTNI hingga kekerasan oleh polisi terhadap warga.
Beberapa
contoh di In donesia Timur bisa disebutkan. Pada Januari 2007 terjadi bentrokan
polisiTNI di Puncak Jaya, Papua. Peristiwa itu menelan satu korban jiwa. Pada
akhir Juli 2007 terjadi bentrokan antara massa dan polisi di Alor, NTT,
menyusul peristiwa penembakan seorang tukang ojek oleh oknum polisi saat
patroli. Pada pertengahan Agustus 2007 terjadi penganiayaan terhadap warga
Oebobo, Kupang, NTT, oleh seorang anggota Polresta Kupang.
Masih
pada bulan yang sama, terjadi kasus pembunuhan (berencana) atas seorang pekerja
seks komersial asal Manado oleh seorang anggota polisi di Larantuka, NTT. Pihak
kepolisian setempat dinilai kurang profesional dalam penanganan kasus yang
terakhir itu. Pasalnya, polisi tidak memasang police line di TKP dan bahkan
mengizinkan pemilik kos untuk membersihkan bercak-bercak darah yang mulai
mengering. Pada akhir Agustus 2007, sejumlah polisi menganiaya seorang warga
Sumba Barat, NTT. Penganiayaan itu berlanjut di Polres Sumba Barat dan turut
`dilakoni' dua polwan. Sayangnya, korban dipukul lagi ketika ia masih dirawat
di rumah sakit (korban dalam keadaan diinfus).
Di
tempat lain, beberapa waktu lalu kita dengar dan baca berita tentang konflik
warga dan polisi di Me suji dan Sape (2011) yang menelan korban jiwa.
Kecerobohan dan tindakan naif (polisi) dalam menjalankan tugas telah memantik
`sakit hati' komunal dengan implikasi negatif, yakni perlakuan tidak manusiawi
terhadap polisi. Misalnya, warga membakar polisi (Sumatra dan Kalimantan). Ada
yang meninggal, ada yang mesti dirawat intensif.
Bangsa
ini sepertinya dibuat masygul. Kalau bukan polisi yang `membunuh', malah rakyat
yang merasa dirugikan berpotensi `mematikan'. Langkah apa yang mesti kita
tempuh?
Kewaspadaan Kolektif
Pimpinan
institusi polisi hendaknya menunjukkan sikap secara jelas dan tidak mendua atau
ragu-ragu. Pada satu pihak, langkah ini penting untuk memberi garansi bagi
tegaknya reputasi dan wibawa kepolisian sebagai sebuah lembaga pemerintahan.
Pada pihak lain, tindakan tegas atas setiap pelanggar hukum menandaskan
penegakan hukum dan HAM sebagai preseden untuk misi reformasi kultural dalam
tubuh polisi. Prinsipnya, di hadapan hukum, semua warga negara mendapat perlakuan
yang sama.
Karena
itu, mudah-mudahan praduga yang menyebutkan bahwa penangkapan anggota polisi
yang indisipliner hanyalah bentuk pencitraan, tidak benar, dan perlu
diwaspadai. Sebab, barangkali kasus-kasus yang terungkap belakangan ini
hanyalah misteri `gunung es' institusi (polisi) yang bertabur kejahatan, di
kala `erosi' kepercayaan publik kepada polisi tak terbendung lagi.
Dalam
kondisi seperti ini, kewaspadaan kolektif (bukan kesadaran palsu semisal
politik pencitraan) yang disertai pendekatan manusiawi dalam menjalankan tugas
merupakan `lonceng' yang mengingatkan publik, bahwa masih ada figure-figur
polisi yang andal dan dapat dipercaya. Akan tetapi, kewaspadaan tersebut tidak
harus berasal dari pihak kepolisian. Kewaspadaan dapat pula bersumber pada
pihak masyarakat luas sebagai pemegang kon trol sosial. Kewaspadaan itu penting
untuk memerangi pribadi tertentu yang me manfaatkan kekuasaan untuk bertindak
sesuka hati, tanpa rasa bertanggung jawab atas profesi yang diemban.
Kekuasaan sekali-kali jangan dimanipulasi untuk menguasai yang lain dan
menindas yang tak berdaya. Awasan ini perlu disematkan dalam ingatan kolektif
bangsa agar kita sanggup menampik pandangan Lord Acton, power tends to corrupt.
Konklusinya,
bila kepolisian sebagai sebuah lembaga publik ingin tetap mempertahankan
kredibilitasnya di mata publik, ia perlu secara intens mengevaluasi diri dan
menentukan komitmen tersendiri demi meningkatkan profesionalisme dalam
menjalankan tugas. Pencitraan sudah sangat kuno dan bukan lagi solusi yang
tepat untuk menghadapi erosi kepercayaan publik.
Dalam
hal ini, polisi yang profesional ialah polisi yang bertanggung jawab atas tugas
pengabdiannya dengan cara yang human. Jalan kekerasan dan pemerasan, terlebih
lagi keterlibatan dalam kejahatan penyalahgunaan narkotika, benar-benar edan
dan kontrareformasi kultural dalam tubuh polisi sebagai lembaga publik yang
bertanggung jawab mengayomi rakyat. Jika ketegasan di pihak pimpinan institusi
diabaikan dan gagal `dikawinkan' dengan keberanian sipil (kontrol sosial), visi
dan misi reformasi kultural dalam tubuh polisi merupakan kebohongan belaka.
Polisi yang profesional ialah polisi yang bertanggung jawab atas tugas
pengabdiannya dengan cara yang human.“ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar