Belajar
dari Widjojo,
Arsitek
Pemulihan Ekonomi Indonesia
Thee
Kian Wie, Staf
Ahli Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
SUMBER : SINAR HARAPAN, 27 Maret 2012
Menghadapi krisis ekonomi yang gawat dan
hiperinflasi yang telah mencapai hampir 600 persen pada akhir 1965 akibat
pencetakan uang yang tidak terbatas demi menutup defisit anggaran pemerintah
yang menganga, Jenderal Soeharto pada awal 1966 meminta bantuan dari lima guru
besar ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), yaitu Widjojo
Nitisastro, Ali Wardhana, Moh Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Mereka
diminta membantunya memulihkan ekonomi Indonesia.
Kepercayaan Soeharto pada kelima ekonom FEUI
ini telah muncul sewaktu beliau, bersama-sama dengan perwira-perwira tinggi
Angkatan Darat lainnya, menjelang akhir pemerintahan Presiden Soekarno mendapat
serangkaian kuliah tentang dasar-dasar ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial lain
dari kelimanya dan ahli sosiologi, Selo Soemardjan, di Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.
Kepercayaan Soeharto pada kelima ekonom FEUI
ini diperkuat sewaktu mereka dan beberapa ahli sosial dan politik, atas
undangan Jenderal Suwarto, Komandan Seskoad, memberikan serangkaian kuliah di
Seminar Angkatan Darat Kedua pada bulan Agustus 1966, termasuk kuliah dari Prof
Widjojo tentang kebijakan ekonomi dan keuangan yang tidak bijaksana.
Di situ dia mengecam kebijakan ekonomi semasa
Soekarno yang mengakibatkan hiperinflasi ganas dan sangat menyengsarakan rakyat
serta mengakibatkan kemerosotan ekonomi Indonesia.
Tim Teknokrat
Setelah Jenderal Soeharto berkuasa pada Maret
1966, pada September 1966 beliau mengangkat Tim Ahli dalam Bidang Ekonomi dan
Keuangan, yang terdiri atas kelima guru besar ekonomi dari FEUI, yaitu Widjojo
Nitisastro, Ali Wardhana, Moh Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Tim Ahli Ekonomi
tersebut dikoordinasikan oleh Mayor Jenderal Sudjono Humardani, seorang asisten
pribadi (aspri) Jenderal Soeharto.
Pengangkatan Tim Ahli Ekonomi ini kemudian
dikenal sebagai para teknokrat ekonomi. Sebagai seorang ekonom yang cemerlang
dan dengan wibawanya yang tinggi, Profesor Widjojo memang pemimpin yang paling
tepat untuk tim teknokrat ekonomi.
Lagi pula, dia sangat dipercayai Soeharto
karena tidak mempunyai agenda politik terselubung, artinya tujuan beliau hanya
untuk membantu pemerintah memulihkan ekonomi yang terpuruk.
Berkat peran teknokrat ekonomi, khususnya
Pofesor Widjojo, Indonesia pada akhir 1960-an mereintegrasikan diri dengan
ekonomi dunia.
Meskipun Indonesia sejak zaman kolonial
Belanda awal abad ke-19 merupakan ekonomi terbuka, kebijakan ekonomi selama
tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Soekarno bisa dicirikan sebagai
“kebijakan yang melepaskan diri dari kaitan dengan ekonomi dunia” (delinking
policies).
Akan tetapi, Soeharto sejak awal menyadari
bahwa kebijakan ekonomi anti-Barat atau antikapitalis bukan saja merupakan ciri
dari tahun-tahun terakhir pemerintahan Soekarno, tetapi juga merupakan masalah
pokok mengapa ekonomi Indonesia terpuruk.
Oleh karena itu, sejak awal pemerintahannya,
diambil langkah untuk mereintegrasikan ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia.
Malahan langkah ini merupakan salah satu landasan pokok dari kebijakan ekonomi
selama tiga dasawarsa pemerintahan Soeharto.
Oleh karenanya, sejak awal pemerintahan
Soeharto, berbagai rintangan terhadap perdagangan internasional dan investasi
asing langsung lambat laun dikurangi, khususnya setelah era boom minyak
bumi berakhir pada 1982. Dalam menempuh kebijakan tersebut, pemerintahan
Soeharto menghadapi beberapa risiko politik karena nasionalisme ekonomi bangsa
Indonesia yang tinggi.
Sebabnya adalah bahwa beberapa unsur pokok
dari kebijakan ekonomi yang ditempuh para teknokrat ekonomi, khususnya
liberalisasi perdagangan internasional dan investasi asing, ditentang cukup
banyak kalangan masyarakat Indonesia, khususnya pemimpin-pemimpin politik dan
cendekiawan-cendekiawan. Kecurigaan terhadap sektor swasta, khususnya swasta
asing, memang telah timbul sejak zaman kolonial Belanda.
Peran Profesor Widjojo sebagai pemimpin
kelima teknokrat ekonomi sangat menentukan selama kurun waktu 1966-1996,
sewaktu beliau berperan besar dalam stabilisasi makroekonomi, khususnya dalam
menurunkan hiperinflasi, dan rehabilitasi prasarana fisik yang rusak karena
kurangnya pemeliharaan. Upaya menanggulangi hiperinflasi sangat berhasil,
sehingga laju inflasi berhasil diturunkan dari hampir 600 persen pada 1965
menjadi 9 persen pada 1970.
Kemiskinan Berkurang
Sesudah berakhirnya boom minyak bumi
pada 1982, Profesor Widjojo dan para teknokrat ekonomi lainnya juga memegang
peran menentukan dalam mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia pada ekspor
minyak bumi dan gas alam, dan melalui program deregulasi berhasil mendorong
pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia, khususnya ekspor hasil-hasil industri
manufaktur.
Dengan dukungan penuh dari Presiden Soeharto,
para teknokrat ekonomi di bawah pimpinan Profesor Widjojo, pada akhir 1960-an
menyusun rencana multi-tahun yang dibagi dalam tiga tahap, stabilisasi makroekonomi,
rehabilitasi prasarana fisik, dan setelah kedua tahap pertama dilalui dengan
baik, mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Kebijakan pembangunan ekonomi berhasil dengan
baik, karena selama tiga dasawarsa pemerintahan Soeharto, ekonomi Indonesia berhasil
bertumbuh dengan rata-rata 7 persen setahun, suatu kinerja yang hingga kini
belum dapat dicapai oleh berbagai pemerintah pascareformasi.
Di samping itu, selama tiga dasawarsa ini
angka kemiskinan dapat dikurangi dari 40 persen dari penduduk Indonesia pada
1976 menjadi 11 persen pada 1996.
Profesor Widjojo, yang sangat piawai dalam
ilmu ekonomi dan ilmu demografi, berhasil meyakinkan Presiden Soeharto tentang
pentingnya melaksanakan program keluarga berencana. Berkat program keluarga
berencana ini, angka fertilitas di Indonesia menurun dengan pesat.
Dengan dukungan penuh Presiden Soeharto,
Widjojo mendorong kenaikan produksi beras yang pesat dan dalam implementasi
kebijakan stabilisasi harga beras. Kedua unsur kebijakan tersebut sangat
penting dalam memangkas angka kemiskinan.
Widjojo dan Emil Salim di Bappenas juga
sangat berperan dalam menekankan peran sektor pertanian dalam Repelita Pertama,
suatu ciri yang pada waktu itu langka di negara-negara berkembang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar