Language is Our House of Being
Komaruddin Hidayat, Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SUMBER : SINDO, 30 Maret 2012
“Kita tinggal dan tumbuh di dalam dan dengan
bahasa,” kata Heidegger. Dengan bahasa,dunia manusia semakin meluas dan
terstruktur. Dengan bahasa, dunia manusia menjadi terbentang melewati batas
fisik, etnik, agama, kebudayaan, dan generasi.
Dengan
bahasa, benda-benda serta orang-orang di sekelilingnya dirajut dengan pemberian
nama atau label sehingga dengannya manusia menciptakan jaringan komunikasi dan
membangun makna-makna. Seperti dikatakan Whitehead, dalam tindakan berbahasa
seseorang berbicara kepada dua objek,yaitu ke dalam berbicara kepada diri
sendiri dan ke luar kepada orang yang lain.
Dengan demikian, bahasa merupakan medium ekspresi dan eksternalisasi diri agar dirinya dipahami dan diterima orang lain. Sebaliknya, lewat bahasa pula seseorang melakukan identifikasi dan internalisasi nilai-nilai serta informasi yang dijumpai di sekelilingnya. Dengan kata lain, berbeda dari dunia hewan,bahasa telah memungkinkan manusia keluar dari dunia insting ke dunia refleksi dan makna.
Dengan bahasa, alam sekelilingnya diberi atribut dan klasifikasi sehingga pada gilirannya atribusi dan klasifikasi mengantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi. “The lore of our father is a fabric of sentences,” demikian salah satu adagium populer di kalangan filsuf bahasa. Pengetahuan dan adat-istiadat orang tua kita adalah bangunan makna-makna yang terajut dalam jaringan kalimat yang diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucunya.
Di dalam bahasa dan melalui bahasa, peradaban diwariskansecaraturun- temurun. Catatan tentang pengalaman hidup, himpunan ilmu pengetahuan, serta nasihat bijak dari nenek moyang kita tersimpan dalam wadah bahasa sehingga generasi yang datang tidak harus membangun peradabannya mulai dari nol. Transmisi atau alih peradaban tersebut, pada mulanya,hanya mengandalkan medium atau mata rantai bahasa lisan.
Namun saat ini,bahasa lisan dan bahasa ritual diperkuat lagi dengan bahasa tulis dan teknologi video kamera. Meskipun bahasa kelihatannya bersifat nonmateri karena berupa gagasan, ekspresi perasaan dan kata-kata, ia memiliki kekuatan yang sangat besar dan berpengaruh secara riildalam kehidupan sehari-hari dan bahkan bisa menciptakan sebuah revolusi sosial.
Terlebih lagi ketika teknologi kaset, televisi, mesin cetak, dan sekarang berkembang jaringan internet melalui komputer, penyebaran informasi dan gagasan berlangsung semakin cepat. Lewatbuku, seorang penulis sejarah bisa merekonstruksi peristiwa masa lalu untuk dihadirkan ke forum “kini dan di sini” (now and here). Jarak ruang dan waktu bisa dipersempit dan bisa juga diperlebar oleh wawasan ilmu pengetahuan yang dikomunikasikan melalui bahasa.
Jika sejarah berhasil mendekatkan masa lalu ke masa kini, prediksi tentang masa depan pun bisa diproyeksikan sejak hari ini. Di sini, lagi-lagi semakin terlihat betapa eratnya kerja sama antara berbagai disiplin ilmu, sementara itu bahasa tampil sebagai medium dari semua wacana keilmuan dan aktivitas kehidupan. Kalau saja tak ada institusi bahasa, terlebih bahasa tulis, dunia manusia akan menjadi sempit, pendek, karena khazanah hidup masa lalu akan lenyap bersama perjalanan waktu.
Setiap peristiwa sejarah hanyalah terjadi sekali dan kemudian menghilang. Meskipun ada kalanya terjadi peristiwa serupa pada waktu yang berbeda, keduanya tetap tidak identik. Untunglah ada rekaman masa lalu sehingga kita bisa belajar untuk memperbaiki hidup hari ini dan esok. Himpunan dan akumulasi pengalaman manusia yang berlangsung dan tumbuh dalam sejarah kemudian dinamakan tradisi, termasuk di dalamnya tradisi keagamaan.
Bagi umat Islam, salah satu tiang penyangga tradisi yang paling kukuh adalah pembukuan wahyu Allah dalam Alquran yang mata rantai transmisinya secara historis ilmiah diakui paling solid dan paling autentik ketimbang wahyu yang diterima oleh nabi-nabi sebelumnya. Bahasa, sebagaimana juga agama, memiliki dimensi individual dan sosial meskipun sesungguhnya yang satu mesti mengasumsikan yang lain.
Konsep individual hanya bisa dipahami karena adanya relasi sosial dan sebaliknya konsep sosial tidak mungkin muncul tanpa adanya konsep individu. Bahasa dalam dimensi dan konteks individu mudah dihayati ketika misalnya kita merenung sendiri ataupun tengah bermunajat sendirian kepada Tuhan. Tapi, meskipun sendiri, kita sebenarnya berbicara terhadap yang lain (the others).
Mulutmu harimaumu, kata orang bijak. Apa yang diucapkan seseorang tidak semata ditangkap sebagai rentetan bunyi, melainkan juga ekspresi diri. Ucapan adalah sebuah jendela bagi orang lain untuk melihat ke dalam, pikiran dan perasaan apa yang tersembunyi di balik ucapan. Atau, ucapan adalah sebuah pintu untuk mengungkapkan keluar jati diri seseorang. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bisa dipegang dan dipercaya lagi apa yang diucapkan, terlebih janjinya, maka hancurlah martabat kemanusiaannya. Bagaimana dengan janji-janji politisi? ●
Dengan demikian, bahasa merupakan medium ekspresi dan eksternalisasi diri agar dirinya dipahami dan diterima orang lain. Sebaliknya, lewat bahasa pula seseorang melakukan identifikasi dan internalisasi nilai-nilai serta informasi yang dijumpai di sekelilingnya. Dengan kata lain, berbeda dari dunia hewan,bahasa telah memungkinkan manusia keluar dari dunia insting ke dunia refleksi dan makna.
Dengan bahasa, alam sekelilingnya diberi atribut dan klasifikasi sehingga pada gilirannya atribusi dan klasifikasi mengantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi. “The lore of our father is a fabric of sentences,” demikian salah satu adagium populer di kalangan filsuf bahasa. Pengetahuan dan adat-istiadat orang tua kita adalah bangunan makna-makna yang terajut dalam jaringan kalimat yang diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucunya.
Di dalam bahasa dan melalui bahasa, peradaban diwariskansecaraturun- temurun. Catatan tentang pengalaman hidup, himpunan ilmu pengetahuan, serta nasihat bijak dari nenek moyang kita tersimpan dalam wadah bahasa sehingga generasi yang datang tidak harus membangun peradabannya mulai dari nol. Transmisi atau alih peradaban tersebut, pada mulanya,hanya mengandalkan medium atau mata rantai bahasa lisan.
Namun saat ini,bahasa lisan dan bahasa ritual diperkuat lagi dengan bahasa tulis dan teknologi video kamera. Meskipun bahasa kelihatannya bersifat nonmateri karena berupa gagasan, ekspresi perasaan dan kata-kata, ia memiliki kekuatan yang sangat besar dan berpengaruh secara riildalam kehidupan sehari-hari dan bahkan bisa menciptakan sebuah revolusi sosial.
Terlebih lagi ketika teknologi kaset, televisi, mesin cetak, dan sekarang berkembang jaringan internet melalui komputer, penyebaran informasi dan gagasan berlangsung semakin cepat. Lewatbuku, seorang penulis sejarah bisa merekonstruksi peristiwa masa lalu untuk dihadirkan ke forum “kini dan di sini” (now and here). Jarak ruang dan waktu bisa dipersempit dan bisa juga diperlebar oleh wawasan ilmu pengetahuan yang dikomunikasikan melalui bahasa.
Jika sejarah berhasil mendekatkan masa lalu ke masa kini, prediksi tentang masa depan pun bisa diproyeksikan sejak hari ini. Di sini, lagi-lagi semakin terlihat betapa eratnya kerja sama antara berbagai disiplin ilmu, sementara itu bahasa tampil sebagai medium dari semua wacana keilmuan dan aktivitas kehidupan. Kalau saja tak ada institusi bahasa, terlebih bahasa tulis, dunia manusia akan menjadi sempit, pendek, karena khazanah hidup masa lalu akan lenyap bersama perjalanan waktu.
Setiap peristiwa sejarah hanyalah terjadi sekali dan kemudian menghilang. Meskipun ada kalanya terjadi peristiwa serupa pada waktu yang berbeda, keduanya tetap tidak identik. Untunglah ada rekaman masa lalu sehingga kita bisa belajar untuk memperbaiki hidup hari ini dan esok. Himpunan dan akumulasi pengalaman manusia yang berlangsung dan tumbuh dalam sejarah kemudian dinamakan tradisi, termasuk di dalamnya tradisi keagamaan.
Bagi umat Islam, salah satu tiang penyangga tradisi yang paling kukuh adalah pembukuan wahyu Allah dalam Alquran yang mata rantai transmisinya secara historis ilmiah diakui paling solid dan paling autentik ketimbang wahyu yang diterima oleh nabi-nabi sebelumnya. Bahasa, sebagaimana juga agama, memiliki dimensi individual dan sosial meskipun sesungguhnya yang satu mesti mengasumsikan yang lain.
Konsep individual hanya bisa dipahami karena adanya relasi sosial dan sebaliknya konsep sosial tidak mungkin muncul tanpa adanya konsep individu. Bahasa dalam dimensi dan konteks individu mudah dihayati ketika misalnya kita merenung sendiri ataupun tengah bermunajat sendirian kepada Tuhan. Tapi, meskipun sendiri, kita sebenarnya berbicara terhadap yang lain (the others).
Mulutmu harimaumu, kata orang bijak. Apa yang diucapkan seseorang tidak semata ditangkap sebagai rentetan bunyi, melainkan juga ekspresi diri. Ucapan adalah sebuah jendela bagi orang lain untuk melihat ke dalam, pikiran dan perasaan apa yang tersembunyi di balik ucapan. Atau, ucapan adalah sebuah pintu untuk mengungkapkan keluar jati diri seseorang. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bisa dipegang dan dipercaya lagi apa yang diucapkan, terlebih janjinya, maka hancurlah martabat kemanusiaannya. Bagaimana dengan janji-janji politisi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar