Dilema Harga BBM
Edy Purwo Saputro, Dosen FE Universitas Muhammadiyah Solo,
Program Doktor Konsentrasi Pemasaran
SUMBER : REPUBLIKA, 30 Maret 2012
Rencana
kenaikan harga BBM sebesar Rp 1.500 yang akan mulai berlaku per 1 April 2012
telah di barengi dengan maraknya aksi demo dan penimbunan BBM. Implikasi dari
harga baru BBM, yaitu kenaikan subsidi menjadi Rp190 triliun. Rencana kenaikan
harga BBM kali ini tidak lepas dari per hitungan asumsi harga minyak mentah
Indonesia atau Indonesia Crude Price,
yaitu rata-rata 105 dolar AS per barel sedangkan produksi minyak kita yang bisa
dijual atau lifting mencapai 930 ribu
barel per hari. Dari kalkulasi tersebut, jika pemerintah menaikkan harga BBM Rp
1.500 maka nilai subsidi yang ditambahkan masih mencapai Rp 55 triliun.
Realisasi
dari rencana kenaikan harga BBM itu tampaknya menjawab kera guan sikap
pemerintah sebelumnya yang kemudian dijabarkan dalam bentuk tiga opsi pilihan.
Di satu sisi, beban anggaran pemerintah tampaknya memang semakin berat terkait
alokasi subsidi BBM, sementara temuan di lapangan mengin di kasikan terjadinya
penyimpangan alokasi subsidi.
Di
sisi lain, pemerintah juga harus te tap memikirkan kompensasi kepada masyarakat
terkait dampak kenaikan harga BBM. Hal ini karena dari kalkulasi hitungan,
dampak kenaikan harga BBM memicu kemiskinan baru sekitar 450 ribu orang atau naik
1,5 persen dari total penduduk miskin. Intinya, jika tidak naik, APBN kian
tergerus pembengkak an subsidi, termasuk salah satunya akibat dari lonjakan
harga minyak dunia. Padahal, subdisi itu banyak yang tidak sampai sasaran,
yaitu untuk masyarakat miskin.
Dalam
balutan dampak kenaikan harga minyak dunia itu maka untuk mengamankan APBN
memang menjadi salah satu prioritas meski korban terhadap masyarakat
menengah-bawah tetap tidak bisa dihindari. Sementara itu, pembiayaan anggaran
yang berasal dari pinjaman luar negeri secara neto masih cukup besar di atas
kisaran Rp 30 triliun.
Dari
paparan tersebut jelas bahwa pemerintah masih berkutat dengan masalah
mengamankan APBN, terutama mengacu komitmen untuk meminimalisasi hutang luar
negeri bagi pendanaan. Meskipun demikian, ancaman harga minyak dunia selalu
menghantui APBN kita. Padahal, setiap ada kenaikan harga minyak dunia maka
nasib rakyat kecil selalu dipertaruhkan, terutama hal ini terkait dengan dampak
simultan kenaikan harga BBM.
Pilihan Dilematis
Bagaimanapun
juga dampak dari kenaikan harga BBM adalah memacu harga sembako, naiknya tarif
angkutan, dan juga laju inflasi yang makin menggerus daya beli rakyat. Hal ini
menunjukkan bahwa lingkaran di balik kenaikan harga BBM tidak bisa diabaikan
dan pemerintah haruslah memprioritaskan nasib rakyat.
Sayangnya,
pemerintah selalu tidak bisa menempatkan rakyat pada koridor yang harus
diselamatkan, sementara rakyat selalu saja dibiarkan sekarat digerus harga
sembako dan inflasi. Terkait ini maka beralasan jika kemudian pada sepekan
terakhir marak terjadi kriminalitas dan ini sebenarnya bermuara pada urusan
perut. Belum lagi ancaman dari maraknya demo menentang kenaikan harga BBM
sebulan ke depan yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai daerah.
Esensi
kisah klasik kenaikan harga BBM adalah fluktuasi harga minyak dunia memicu
dampak signifikan terhadap kondisi makro, tidak hanya di Indonesia, tapi juga
di semua negara. Bagaimanapun juga, minyak adalah faktor penting pendukung
perekonomian. Bahkan, terkait ini, teoretis penyusunan APBN selalu menetapkan
sejumlah asumsi dasar yang sangat penting untuk memberi arah perkembangan dalam
tahun anggaran. Setiap asumsi dasar tersebut haruslah dapat meminimalisasi
setiap fluktuasi yang terjadi agar target penetapannya tidak meleset jauh dari
yang diharapkan, termasuk harga minyak.
Begitu
pentingnya penetapan harga minyak dalam APBN maka fluktuasi har ga minyak
berdampak signifikan terhadap APBN. Bahkan, lonjakan harga minyak bisa
berdampak sangat serius terhadap besaran subsidi BBM yang telah ditetapkan
dalam APBN.
Oleh
karena itu, sangat beralasan jika dalam penyusunan APBN harus memperhitungkan
nilai prediksi semua fluktuasi dari asumsi dasar yang akan ditetapkan. Padahal,
terkait kasus harga mi nyak bahwa fluktuasinya sangat rentan terhadap kondisi
politik dunia. Ini tentu menjadi dasar yang tidak fixed untuk argumen penetapan asumsi dasar APBN meski di sisi lain
ada keharusan untuk menyusun asumsi dasar dalam APBN.
Memang
tak mudah untuk mencari pendanaan internal yang tidak berat bagi anggaran,
termasuk juga langkah antisipasi terhadap kenaikan harga minyak dunia yang bisa
fatal bagi nasib jutaan rakyat. Lalu, sampai kapan hal ini terjadi dan kapan
pasar modal kita bisa memberikan kontribusi positif terhadap pendanaan
internal? Memang tidak mudah menjawabnya dan proses membangun capital market
minded se dang getol dilakukan pemerintah, termasuk juga kepada generasi muda
dan pengusaha muda agar mereka bisa lebih melek terhadap pasar modal.
Dari
kasus itu bisa disimpulkan kenaikan harga minyak kini sudah tak bisa lagi
dianggap sebagai durian runtuh, tapi justru menjadi puting beliung bagi jaminan
keamanan APBN. Bahkan, kalangan industri dan khususnya yang bergerak pada
bidang transportasi harus bersiap-siap untuk menghitung ulang profit dan biaya
untuk operasionalnya sebab bukan tidak mungkin cost yang terjadi bisa menjadi lebih besar.
Selain
itu, pemerintah harus lebih bijak terhadap APBN, terutama mengantisipasi
besaran subsidi BBM yang tentu bisa melonjak drastis. Artinya, rakyat sekali
lagi hanya bisa pasrah menerima, sementara ancaman kenaikan harga sembako sudah
di depan mata, belum lagi naiknya TDL. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar