“Fashion Democracy”
Agus Hernawan, Direktur
ARINDO;
Pernah
Belajar Advocacy dan Social Justice di SIT-Vermont, AS
SUMBER : KOMPAS, 29 Maret 2012
Demokrasi adalah pembeda sekaligus penegas. Disebut
pembeda karena demokrasi didasari the constitution of the people, bukan the people of the constitution seperti
dalam kemonarkian.
Sebagai penegas, demokrasi menyatakan, ”kekuasaan paling tinggi dipegang rakyat.”
Namun, di dalam kultur demokrasi yang masih ambigu seperti di Indonesia,
penegasan supremasi rakyat ini menjadi problematis.
Pernyataan Menko Polhukam Djoko Suyanto, saat
diminta responsnya menyikapi penolakan masyarakat atas rencana kenaikan BBM,
menggambarkan problematika itu. Mungkin dipaksa oleh klaim ”Indonesia adalah negara demokratis”,
Menko Polhukam mempersilakan masyarakat menggelar aksi demonstrasi jika tidak
puas dengan kebijakan kenaikan harga BBM.
”Dalam
suatu rumah tangga, jika orangtua kesulitan mengatur uang, anak-anak harus ikut
prihatin,” ujar Djoko Suyanto.
Pernyataan Cacat
Ada dua cacat dalam pernyataan Menko Polhukam
tersebut. Pertama, penyertaan partisipasi rakyat hanya di ruas jalanan kota,
tempat yang seperti sengaja disediakan untuk rakyat berbaku hantam. Rakyat
tidak diajar berpartisipasi secara riil: bagaimana berkomunikasi dan
berkolaborasi dengan pemerintah, bagaimana memantau dan memengaruhi kebijakan
pemerintah agar lebih mengedepankan kepentingan publik. Padahal, partisipasi
rakyat, menurut Jim Shultz dalam The Democracy
Ownners’ Manual, tidak sebatas siapa yang akan kita pilih, tetapi
keterlibatan rakyat akan menguji bagaimana mereka yang dipilih itu menjalankan
kekuasaan.
Kedua, ilustrasi hubungan pemerintah-rakyat
seperti orangtua dan anak adalah subtle way, satu taktik penundukan halus untuk
melahirkan kepatuhan rakyat. Relasi paternalistis ini lebih halus dari masa
Orba, kepatuhan rakyat dikonstruksi melalui relasi dominasi. Rakyat adalah
subordinat, terhubung secara asimetris dengan otoritas monolitik-sklerotik
(pemimpin kuat didukung mesin partai yang hegemonik dan kaum bersenjata).
Dalam negara demokratis, relasi pemerintah
dan rakyat jelas tidak seperti orangtua dan anak. Citizens are the owners of society. The government is made by the
people, demikian rakyat Zimbabwe membunyikan demokrasi. Karena itu,
operasionalisasi demokrasi beralur bukan di kepatuhan rakyat, melainkan di
kepatuhan setiap keputusan pemerintah pada kepentingan rakyat!
Bius Demokrasi
Selama ini, kita dibius oleh klaim bahwa ”Indonesia adalah negara demokratis”.
Padahal, demokrasi yang berlangsung saat ini sekadar fashion democracy. Dalam fashion
democracy, tiga elemen utama demokrasi, yaitu the constitution of political power, the structure and operation of
power, dan the control of political
power, sengaja dibuat menyimpang jauh dari tujuan idealnya.
The
constitution of political power, misalnya, dihasilkan
melalui pesta elektoral supermahal. Sebagai ilustrasi, untuk menjadi wali kota
di satu kota kecil di Sumatera, dana yang harus disiapkan Rp 10 miliar-Rp 15
miliar. Harga bupati lebih mahal lagi, Rp 20 miliar-Rp 40 miliar di Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Komoditifikasi kekuasaan politik ini
berimplikasi kecurangan dan manipulasi elektoral serta sengketa legitimasi yang
membuat pemerintahan berjalan tidak efektif dan kehidupan sosial lebam oleh
konflik. Ini belum termasuk kualitas hasil elektoral supermahal itu. Sampai
Maret 2011, sudah 157 kepala daerah (17 gubernur dan 158 bupati dan wali kota)
terjerat kasus korupsi.
Elemen berikutnya, the structure and operation of power sebatas perubahan struktur
politik sentralistis ke desentralistis. Perubahan ini tidak disertai proses
transfer wewenang, fungsi, dan tanggung jawab dari pusat ke daerah sebagaimana
dikatakan Huntington dalam Political Order
in Changing Societies (1968), tidak juga diimbuhi kerja keras menata kultur
birokrasi dan penguatan kultur demokrasi di daerah agar loyalitas pemerintah
lebih ke bawah, kekuasaan serta kontrol bersifat induktif dan bottom up. Yang terjadi malah penguatan
sifon oligopoli.
Sementara the
control of political power hanya kulit luar. Daya kontrol lembaga legislasi
kita sudah digerus budaya transaksional, seperti segala kejadian yang sudah
kita lihat di Badan Anggaran DPR yang dikuasai kepentingan kelompok. Situasi
akan makin parah jika penetrasi konflik kepentingan elite dan subyektivitas
politik sektoral mulai menggerogoti fungsi kontrol media massa.
Pada akhirnya, mudah untuk disimpulkan, fashion democracy adalah demokrasi minus
keinginan mengabdi dan melayani. Demokrasi yang meminggirkan rakyat, mengadu
domba rakyat, dan menempatkan rakyat dalam kepundan gunung api. Fashion democracy bukan ikhtiar untuk
merawat hidup bersama, tetapi suatu cara untuk berkuasa dan menjadikan rakyat
sebatas anak-anak yang cukup disodori dongeng dan gula-gula. ●
semoga baik dan sehat..
BalasHapusjabat-erat!