Sindrom Fukushima
Martin Freer, Guru
Besar Fisika Nuklir pada University of Birmingham,
Direktur
Birmingham Center for Nuclear Education and Research
SUMBER : KORAN TEMPO, 29 Maret 2012
Peristiwa dramatis yang menimpa pembangkit
listrik tenaga nuklir (PLTN) Daiichi di Fukushima setelah terjadinya tsunami
tahun lalu dikenal sebagai “bencana
Fukushima”. Kita tidak perlu melihat lebih jauh ihwal deskripsi “bencana Fukushima” ini untuk memahami
salah pengertian masyarakat sekitar energi nuklir.
Adalah tsunami, yang dipicu oleh gempa bumi
paling dahsyat yang pernah melanda Jepang, yang menewaskan lebih dari 16 ribu
orang, yang menghancurkan atau merusak sekitar 125 ribu bangunan, dan
menyebabkan Jepang menghadapi apa yang dilukiskan perdana menterinya sebagai
krisis paling besar negeri itu sejak Perang Dunia II. Namun Fukushima-lah yang
selalu diberi label “bencana” itu.
Sebenarnya, walaupun apa yang terjadi memang
dahsyat, peristiwa yang berlangsung dalam hitungan hari dan jam setelah
gelombang raksasa menjebol dinding pelindung Fukushima itu bisa ditafsirkan
sebagai bukti yang muncul dari keterterimaan energi nuklir. Memang dampak
lingkungan pada mereka yang tinggal dekat Fukushima mungkin memakan waktu
tahunan untuk dihilangkan. Tapi respons di banyak kalangan--paling tidak di
Jerman, Swiss, dan negara-negara lainnya yang segera mengutuk dan mundur dalam
pemanfaatan energi nuklir--sekali lagi menunjukkan kurangnya pengetahuan
mengenai dua pokok persoalan mendasar.
Pertama, keselamatan (safety). Kedua,
radiasi. Kita perlu mendorong dialog yang lebih inklusif dan informatif
mengenai kedua pokok persoalan ini jika tenaga nuklir hendak dinilai menurut
nilai dan keberadaannya, bukan dengan menolaknya berdasarkan ketidaktahuan dan
kekerasan hati. Akankah banyak orang yang meminta agar tenaga nuklir dilarang
itu juga akan meminta agar angkutan dilarang? Bukankah paralel antara tenaga
nuklir dan angkutan udara itu terletak pada persoalan safety?
Kita sering diingatkan bahwa angkutan udara,
menurut statistik, memiliki catatan keselamatan yang lebih baik daripada
bentuk-bentuk angkutan lainnya. Berbagai alasan yang diberikan untuk ini
mungkin bisa diingatkan dengan membandingkan pesawat terbang dengan sepeda.
Kita semua mengakui bahwa pesawat terbang
memang kendaraan yang canggih, sedangkan sepeda bukan. Kita juga mengakui bahwa
konsekuensi jatuhnya pesawat terbang merupakan bencana yang lebih parah
daripada, katakan, jatuhnya seorang pengendara sepeda yang menabrak pembatas
jalan ketika pulang dari berbelanja. Begitu juga, merancang dan memproduksi
pesawat terbang berkali lipat lebih rumit dan menyeluruh daripada merancang dan
merakit sepeda.
Perbandingan yang sama bisa diberikan kepada
sekitar 450 reaktor nuklir di dunia. Fakta menunjukkan rekor keselamatan
industri nuklir ini tidak ada duanya bila dibandingkan dengan industri-industri
lainnya. Seperti pesawat terbang, reaktor nuklir dirancang dan dibangun dengan
standar yang bukan main ketatnya.
Dengan segala ketegangan dan kekhawatiran
sekitar upaya mencegah meltdown, melelehnya Fukushima, kita tidak boleh
lupa bahwa pembangkit tenaga listrik nuklir ini--dan dengan demikian industri
energi nuklir--harus menjalani tes yang luar biasa, dalam arti yang
seketat-ketatnya. Jika bukan karena beberapa cacat desain yang sekarang tidak
akan diulangi lagi, Fukushima mungkin akan keluar dari bencana dalam keadaan
utuh--dan sejarah bakal begitu berbeda.
Sesungguhnya energi nuklir sekarang lebih
aman daripada sebelumnya. Tapi, bagi banyak orang, gambaran seperti yang
menimpa Fukushima itu saja--tanpa melihat apa yang terjadi sebenarnya--sudah
cukup untuk menarik kesimpulan sebaliknya. Jika sebuah pesawat 747 jatuh
menimpa suatu sarana nuklir, kita tidak akan mendengar seruan agar semua
pesawat terbang dilarang. Tapi bisingnya seruan agar setiap reaktor nuklir di
muka bumi ini segera dilarang mungkin akan memekakkan telinga.
Ingat juga bahwa Fukushima dibangun pada
1970-an, dan bahwa teknologi yang digunakan sebagai dasar pembangunannya
berasal dari teknologi satu dekade sebelumnya. PLTN-PLTN yang dibangun sesudah
Fukushima berbeda sama sekali dalam pengoperasiannya, seperti juga kerangka
regulasinya, yang menetapkan patokan baru yang lebih ketat bagi perawatan dan
mutu yang diperlukan pada setiap tahap proses pembangunan.
Penolakan terhadap energi nuklir berakar pada
kekhawatiran mengenai safety pada umumnya dan radiasi pada khususnya.
Kecelakaan yang menimpa Fukushima, yang telah memperkuat terlalu banyak opini
dan mengubah tidak banyak opini di banyak negara, menunjukkan pentingnya kita
mencoba menjelaskan persoalannya--di negara-negara tersebut, termasuk Inggris,
di mana adanya kebijakan energi yang berkesinambungan masih belum ditetapkan.
Sementara pada satu sisi kita tahu akibat
tingginya tingkat exposure terhadap radiasi, apa yang terjadi di sisi
lainnya tidak begitu jelas. Dunia ini penuh dengan radioaktivitas--dinding,
beton, bahkan pisang pun mengandung tanda-tanda adanya radioaktivitas. Dan
tubuh kita telah beradaptasi dengannya. Di negara-negara seperti Brasil dan
India, rakyat hidup dalam lingkungan yang mengandung 20-200 kali lebih banyak
radiasi daripada yang umumnya dijumpai di Inggris. Tampaknya, tanpa efek
genetika yang negatif, beberapa pakar mengatakan bahwa kita mungkin memerlukan
secercah radioaktivitas untuk merangsang sistem kekebalan kita.
Sudah tentu, tetap ada kekhawatiran di
sekitar persoalan pembuangan sampah dan proliferasi nuklir. Sekali lagi,
diperlukan debat kesepakatan. Tapi itu membutuhkan semacam peta jalan (road
map) yang menunjukkan di mana kita berada dan apa yang harus kita lakukan.
Kita perlu menciptakan budaya dialog yang diperlukan dalam industri nuklir dan
di kalangan akademisi. Dan kita perlu mendorong masyarakat agar berpikir dan
merenungkan persoalan ini dengan lebih mendalam. Terutama sekali, kita perlu
meningkatkan pemahaman publik akan sektor energi ini secara keseluruhan.
Saat ini, terlalu banyak kalimat “Saya tahu: dan inilah apa yang saya yakini
dengan teguh”, yang sering diucapkan orang-orang berpengaruh dalam suatu
persoalan di mana tidak ada benar atau salah yang bisa diperdebatkan, termasuk
Fukushima salah satunya.
Masih belum terlambat--tidak
sepenuhnya--untuk mulai membahas persoalan energi nuklir ini dalam bahasa yang
memberikan informasi bukan yang menimbulkan kecemasan dan dengan istilah-istilah
yang menumbuhkan penilaian yang berimbang dengan baik, bukan memperkokoh bias
yang sudah lama terbentuk. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar