Memaknai
Demonstrasi Kenaikan Harga BBM
Thomas
Koten,
Direktur
Sosial Development Center
SUMBER : SINAR HARAPAN, 26 Maret 2012
Aktivitas demonstrasi terus menyeruak di
republik ini. Bahkan, aktivitas demonstrasi turun ke jalan untuk meneriakkan
berbagai tuntutannya telah menjadi sebuah fenomena sosial pascareformasi.
Seolah tak ada hari tanpa aksi demonstrasi.
Tak jarang, aksi itu berujung dengan tindakan anarkis yang merusak berbagai
fasilitas publik, jatuhnya korban jiwa, dan menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Belakangan ini, aksi demonstrasi itu
dilakukan secara besar-besaran dari kalangan mahasiswa, buruh, para aktivis,
dan masyarakat umum, dengan satu tuntutan menolak kebijakan pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Memang, demonstrasi merupakan suatu cara yang
digunakan masyarakat untuk memperjuangkan aspirasi atau menyampaikan
kehendaknya. Itu ditempuh sebagai bagian dari hak dan cara berdemokrasi untuk
mengatakan pendapat, desakan, dan tuntutan. Di sini pulalah demonstrasi
merupakan area pengungkapan transparansi kualitas budaya berdemokrasi dari
masyarakat.
Artinya, pertama, lewat demonstrasi,
diharapkan semua pihak, diperoleh suatu pembudayaan nilai-nilai demokrasi di
dalam masyarakat, seperti tercapainya musyawarah untuk mufakat yang
proporsional yang tanpa intimidasi atau kompromi berlebihan.
Kedua, demonstrasi juga dianggap sebagai
wujud penegasan diri (self assertion) publik sebagai bagian dari
masyarakat bangsa dan negara yang demokratis. Dari situ pulalah demonstrasi
dapat dilihat sebagai cermin meningkatnya kesadaran dalam tata kehidupan
politik sebagai akibat dari suatu kebijakan politik yang dinilai merugikan
kelompok masyarakat tertentu.
Hanya saja, jadi agak persoalan tatkala
demontrasi itu selalu dilakukan secara besar-besaran, sebagai satu-satunya
senjata bagi kaum lemah, dan cenderung anarkis, sehingga memperlihatkan
kebuntuan akal sehat dan hilangnya kecerdasan dialog.
Ini karena yang tercermin dari aksi itu
adalah munculnya unsur pemaksaan kehendak, yang pada galibnya pula bertentangan
dengan budaya politik demokratik modern yang bercitrakan rasional dan santun.
Tipologi Demonstrasi
Demonstrasi itu hakikatnya memiliki tipologi
yang dapat dianggap sebagai artikulasi fungsionalitas pencitraan dari tipologi
suatu masyarakat. Jika tipologi masyarakat santun, sabar, dan rasional, dapat
diyakini warna demonstrasi tidak condong anarkis.
Sebaliknya, jika tipologi suatu masyarakat
yang memiliki kelas sosial yang berkepribadian tidak normal dan berwatak keras,
aksi demonstrasi menjadi menakutkan dan mudah sekali timbul anarki, apalagi
jika ada stimulannya.
Dalam arti, seperti dalam demonstrasi
kenaikan harga BBM ini, bahwa komplikasi antara masyarakat miskin dan berbagai
kepentingan lainnya merupakan stimulannya. Dalam skala ini, demonstrasi muncul
sebagai suatu model perjuangan masyarakat untuk memenangi pertandingan.
Para demonstran telah meyakini demonstrasi
merupakan satu-satunya cara yang paling efektif guna menekan pemerintah agar
mau mengakomodasi aspirasinya. Tanpa demonstrasi, dikhawatirkan keputusan yang
diambil seperti menaikkan harga BBM ini tidak objektif, dan merugikan
masyarakat kelas bawah, terutama masyarakat miskin.
Jadi, demonstrasi di sini sudah dianggap
sebagai cara yang paling jitu bagi mereka untuk mendapatkan hasil maksimal.
Dengan berdemonstrasi, pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah
diharapkan dapat urun rembuk, berdialog, dan mencari dialektika penyelesaian
persoalan yang bisa menguntungkan semua pihak.
Hanya saja, ada sisi negatif aksi demonstrasi
yang harus diperhatikan secara serius agar tidak melahirkan ekses-ekses yang
merugikan kepentingan umum.
Pertama, ekspresi-ekspresi yang diungkapkan
lewat aksi demonstrasi oleh massa itu demikian bebas dan dapat tidak
terkontrol, sehingga cenderung memunculkan emosi dari massa demonstrasi itu
sendiri yang bisa melahirkan anarkisme.
Kedua, komunikasi yang terjadi antara massa
demonstran dengan pihak yang berkepentingan lebih bersifat emosional, sebab
masing-masing pihak ingin menjadi pemenangnya.
Ketiga, karena terpengaruh psikologis-situasional
yang menekan, massa demonstran kerap tidak lagi peduli dengan rambu-rambu
aturan yang sudah disepakati sebelumnya antara massa demonstran dengan pemimpin
aksi demonstrasi atau kepolisian.
Kemudian, yang terjadi adalah pemaksaan
kehendak. Pemaksaan kehendak melahirkan peluang anarkisme pula. Ini biasanya
muncul dari kelompok massa radikal yang sadar bahwa kalau demonstrasinya
terlalu santun, alim, dan damai, aspirasi mereka tidak akan digubris oleh pihak
yang berkepentingan dalam hal ini pemerintah.
Karena itu, aksi demonstrasi kerap dianggap
sebagai momok yang menakutkan bagi penguasa. Ini karena efek aksi demonstrasi
itu sendiri begitu luas, sehingga kredibilitas penguasa pun dapat dengan mudah
goyah oleh aksi-aksi demontrasi tersebut.
Menyikapi Aksi Demonstrasi
Persoalannya adalah bagaimana menyikapi aksi
demonstrasi massa yang kini sudah masuk dalam suatu warna budaya baru yang
tercermin oleh keterbukaan dan demokratisasi yang terus mengalami
perkembangannya?
Persoalan substansif yang harus ditangkap di
balik berbagai aksi demonstrasi itu adalah bahwa semua itu tidak lebih dari
sebuah perwujudan konkret dan vitalisasi unsur dalam rangka dialektika
masyarakat berhadapan dengan negara, belum mendapatkan format demokratisasi
sesuai dengan identitas bangsa ini.
Untuk mendapatkan formatnya, kita harus
sanggup melihat apa yang telah dicapai bersama, antara negara dan masyarakat,
sebagaimana yang dijunjung tinggi, yaitu keadilan dan kesejahteraan.
Ini karena demonstrasi itu merupakan aksi
yang menyentak kita untuk bisa mengambil maknanya, dan melihat apa yang masih
salah dalam kebersamaan kita sebagai satu negara dan bangsa, dus dalam tata
ruang sosial dan ekonomi masyarakat, bangsa dan negara ini.
Jadi, demonstrasi dengan segala tuntutannya
seperti demonstrasi memrotes kebijakan menaikkan harga BBM itu tidak bisa
dianggap sepi makna. Apalagi, saat ini massa telah tampil di arena publik dalam
jumlah sangat besar, sebagai aksi demonstratif–untuk menunjukkan
keperkasaannya.
Bahwasanya masyarakat yang selama ini kerap
dianggap lemah, tidak berdaya, ternyata bisa menjadi sangat perkasa kalau sudah
bersatu. Rakyat semakin sadar dirinya tidak bisa lagi hanya sebagai kaum yang
terpinggirkan oleh manipulasi dan intrik-intrik politik-kebijakan.
Sikap menganggap sepi terhadap aksi
demonstrasi yang kian membeludak hingga puluhan atau ratusan ribu jumlahnya
akan membuat aksi itu sendiri bertambah anarkis dan tentu mengerikan, sebab
akan muncul pemaksaan kehendak.
Minimal, demonstrasi buruh itu disikapi
sebagai bagian dari pembenaran partisipasi politik massa dalam memperjuangkan
nasibnya di tengah impitan kesulitan ekonomi dan terjangan ketidakadilan yang
mereka rasakan selama ini.
Dengan demikian, negara pun tidak terjerembab
ke dalam kubangan hukum rimba; negara yang kuat terus melumat rakyat yang
lemah, lewat berbagai politik-kebijakan yang memiriskan rakyat, seperti
kebijakan menaikkan harga BBM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar