Jangan
Memusuhi Rakyat
Bambang
Soesatyo, Anggota Komisi III
DPR Fraksi Partai Golkar
SUMBER : SUARA MERDEKA, 27 Maret 2012
(Artikel yang sama dimuat di SINDO, 27
Maret 2012)
MEMERINTAHKAN personel TNI mengawal unjuk
rasa yang menolak kenaikan harga BBM justru berisiko mengeskalasi masalah.
Inisiatif itu bisa berakibat fatal jika demonstran sampai pada kesimpulan
pemerintah menunjukkan sikap permusuhan terhadap rakyat. Hari Selasa ini,
terkait rencana demontrasi besar-besaran di sejumlah kota, polisi akan
menerjunkan personelnya dibantu anggota TNI. Khusus di DKI Jakarta, Polda Metro
Jaya menerjunkan 22 ribu personel, 8 ribu di antaranya dari TNI.
Ekses itu sangat berbahaya bagi pengunjuk
rasa, sekaligus bagi TNI dan pe-merintahan ini. Kalau sekelompok massa
bertindak melampaui batas kewajaran dan direspons de-ngan represif,
persoalannya berisiko tereskalasi mengingat massa begitu sensitif. Letupan
kecil di satu titik bisa mendorong perlawanan massa lebih luas. Dalam konteks
ini, citra TNI benar-benar dipertaruhkan. Citra militer yang terus membaik saat
ini tak perlu lagi dipertaruhkan untuk menghadapi pengunjuk rasa.
Demonstran, termasuk elemen mahasiswa, di
semua daerah, sudah terbiasa berhadap-hadapan dengan polisi dan kedua pihak
masih mampu berkomunikasi di lapangan. Kalau mereka akhirnya harus
berhadap-hadapan dengan personel TNI, tafsir atau tanggapan demonstran tentu
bisa berubah. Bukan tidak mungkin massa merasa bahwa dengan menurunkan pasukan
TNI pemerintah telah menunjukkan sikap permusuhan.
Rakyat bukanlah musuh negara saat ini. Mu-suh
negara saat ini ada-lah koruptor dan pencuri pajak. Unjuk rasa itu sekadar
menyuarakan aspirasi. Terlalu berlebihan jika pasukan TNI diperintahkan
merespons aspirasi rakyat dalam unjuk rasa menolak ke-naikan harga BBM.
Peme-rintahlah yang seharusnya menyimak dan merespons keluh-kesah rakyat.
Tangan
Kotor
Reformasi sudah membagi secara jelas peran
TNI dan Polri.TNI fo-kus di bidang pertahanan negara, sedangkan Polri
bertanggung jawab mewujudkan keamanan dan ketertiban umum. Karena itu, jangan
lagi menyeret-nyeret pasukan TNI untuk mengerjakan apa yang bukan menjadi
bidang tugasnya.
Menko Polhukam Djoko Suyanto menegaskan
pelibatan pasukan TNI dalam pengamanan unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM
tidak melanggar aturan. Penjelasan seperti ini dangkal, bahkan cenderung
memperkeruh suasana. Sangat kental semangat untuk mencari cara-cara instan,
termasuk mengggunakan otot. Sama sekali tidak ada kepedulian terhadap nurani
publik.
Padahal, persoalannya bukan sekadar melanggar
atau tidak melanggar perundang-undangan melainkan kualitas kearifan pemerintah
merespons psikologi massa dalam alam demokrasi. Menakut-nakuti publik jelas
tidak arif. Menurunkan pasukan TNI bukanlah solusi. Kalau publik turun ke jalan
berunjuk rasa, mereka ingin aspirasinya tak sekadar didengar tetapi juga
ditanggapi. Bukan justru ditakut-takuti.
Alasan menurunkan pasukan TNI membantu Polri
jika unjuk rasa berubah anarkis. Pertanyaannya, apa benar pengunjuk akan
bertindak anarkis? Mengacu pengalaman beberapa unjuk rasa terakhir yang
diwarnai tindakan anarkis, pertanyaannya berikutnya adalah anarkisme itu oleh
siapa? Oleh murni pengunjuk rasa atau pihak lain yang menunggangi.
Bisa dipahami jika masyarakat marah terhadap
rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Kebijakan itu dikumandangkan ketika
fakta-fakta korupsi dan penggelapan pajak terus bermunculan. Puluhan miliar
rupiah hasil korupsi nilai proyek pembangunan dan hasil pencurian pajak
dinikmati dan dibagi-bagikan untuk membiayai pola hidup hedonis para pelakunya.
Pemerintah seharusnya membenahi dulu
pengelolaan anggaran pembangunan dan keuangan sebelum membebani rakyat dengan
menaikkan harga BBM atau tarif dasar listrik (TDL). Sudah terlalu besar nilai
kekayaan negara yang dicuri koruptor dan mafia pajak. Itulah kelemahan
pemerintah.
Kalau pengelolaan keuangan negara efisien dan
efektif, subsidi BBM mestinya tidak perlu dipersoalkan. Inilah pesan yang
mestinya didengar dan direspons pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar