Tantangan Demokrasi Calon Independen
Teuku Kemal Pasya, Dosen
Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
SUMBER : KOMPAS, 29 Maret 2012
Munculnya beberapa figur dari jalur
perseorangan dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 memberi tantangan serius bagi
partai politik untuk selektif mengusung calon.
Tampaknya ini pula pemicu partai politik
mengusung tokoh-tokoh populis sebagai kandidat mereka, termasuk mengimpor tokoh
dari daerah lain.
Majunya Faisal Basri dari jalur independen
disambut positif pelbagai kalangan. Figur-figur yang ”nonpartisan” dan kritis
ternyata menggairahkan para pemilih yang bosan dengan figur dari parpol yang
rata-rata ”minus” kepemimpinan, visi, dan integritas.
Berbeda dengan Aceh, saat ini Aceh menghadapi
situasi kurang kondusif bagi calon independen. Sebagian besar kepala daerah
yang maju melalui calon independen adalah ”sempalan” dari aktivis Partai Aceh
(PA) yang tidak dipinang oleh partai lokal terbesar hasil pemilu (legislatif)
2009. Maka, kader PA yang maju melalui jalur independen dianggap kader
oportunis yang mengejar kekuasaan semata.
Titik Lemah
Terlepas dari kasus Aceh, sebenarnya persepsi
publik terhadap kinerja partai politik telah sedemikian buruk, dari Senayan
hingga DPRD tingkat I dan II.
Dalam penelitian tentang demokrasi lokal di
Aceh Besar, saya menanyakan kepada seorang anggota Dewan cara mereka memandang
orientasi dan fungsi lembaga legislatif. Secara normatif ia menjawab bahwa
fungsi ideal lembaga legislatif adalah menjalankan fungsi legislasi, yaitu
pengawasan dan anggaran.
Namun, secara praksis ia mengaku fungsi
legislatif umumnya pengeruk proyek, pemburu fasilitas, dan pencari kesalahan
eksekutif. Tidak ada etika politik. Yang ada etos berkonflik dengan kelompok
politik berbeda. Dalam bahasa Aceh, ”peusom salah peulemah daleh” (sembunyikan
kesalahan sendiri dengan mencari-cari kesalahan pihak lain).
Citra buruk DPRD tentu saja mewakili buruknya
perilaku politik partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu legislatif.
Sedemikian buruknya citra itu di mata publik sehingga disimpulkan oleh Yudi
Latif bahwa parpol merupakan titik lemah pelembagaan demokrasi Indonesia saat
ini (Kompas, 23 Februari).
Hingga satu dekade reformasi, citra negatif
parpol itu tidak kunjung sembuh. Konstitusi memang merancang sistem parlemen,
partai politik, dan pemilu yang semakin baik, tetapi kualitas demokrasi tidak
semakin baik. Saat musim pilkada tiba, parpol-parpol besar di daerah melakukan
praktik rente dengan ”menjual diri” kepada calon yang mau membayar mahal.
Belajar dari pengalaman itu, pada 2007
seorang calon gubernur dari NTB melakukan uji materi UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengatur persyaratan pencalonan kepala daerah yang
hanya lewat parpol. Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menggugurkan Pasal 56,
59, dan 60 UU No 32/2004 memuluskan calon independen maju dalam pilkada dengan
acuan Pilkada Aceh.
Keputusan MK itu kemudian dilegalisasi ke
dalam UU No 12/2008. Akhirnya, calon independen memiliki legalitas dan bisa
memenangi beberapa pilkada tingkat II, seperti Batu Bara (Sumatera Utara), Rote
Ndao (NTT), Kubu Raya (Kalimantan Barat), Garut (Jawa Barat), dan Sidoarjo
(Jawa Timur). Hanya satu yang memenangi pemilihan gubernur, yaitu di Aceh.
Proses Penyembuhan
Jaminan konstitusional tentang hak calon
independen dalam pilkada penting dalam demokrasi Indonesia. Meskipun
keberhasilan calon independen masih di bawah lima persen, calon independen akan
memaksa parpol memperbaiki diri. Paling tidak kini setiap warga yang maju dalam
pilkada tidak perlu membayar uang mahar dan membebat diri kepada parpol
pengusung. Inilah peluang memutus rantai oligarki dan politik patronase.
Pernyataan bahwa calon independen akhirnya
membuka model politik yang bersifat individual juga tidak benar. Bagaimanapun,
proses memajukan diri sebagai calon independen telah mengalami pelembagaan
sosial-politik dan memiliki konstruksi sosial. Tanpa proses pelembagaan, tidak
ada calon independen yang bisa memenangi pilkada di seluruh Indonesia.
Ia sudah harus menginstitusionalisasi visi
dan keterlibatan publik dalam kegiatan politik jauh hari dan memiliki modal
cukup ketika momentum pilkada tiba. Ia tak bisa tiba-tiba hadir saat pilkada
seperti calon kepala daerah ”bayaran”.
Proses kontestasi ini memiliki legitimasi yang sama sahnya dengan parpol, juga
sebagai kompetitor utama atas keberadaan institusi politik yang semakin
oligarkis dan mengabdi kepada politik uang.
Ke depan bahkan perlu dipikirkan peluang dari
jalur independen untuk maju dalam pemilu legislatif dan juga presiden. Sebagai
hak konstitusional sipil, ia tak boleh disekat dalam partai politik yang jauh
dari emansipasi, partisipasi, dan demokrasi.
Parpol memang keniscayaan demokrasi yang tak
mungkin disirnakan. Namun, calon independen adalah salah satu obat sakit kronis
demokrasi saat ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar