“Bebek Lumpuh” dan Pemberantasan Korupsi
Victor Silaen, DOSEN FISIP UNIVERSITAS
PELITA HARAPAN (UPH)
SUMBER : SINAR HARAPAN, 28 Maret 2012
Presiden hasil pilihan langsung rakyat
Indonesia untuk periode 2004-2009 dan 2009-2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
sudah lebih dari tujuh tahun memimpin negeri ini.
Dulu, di masa kampanyenya sebagai capres
periode pertama, SBY berjanji untuk bekerja siang-malam demi mengatasi
multikrisis yang masih melanda Indonesia. Dia juga akan memimpin langsung di garda
depan dalam upayanya memerangi korupsi yang sudah bagaikan penyakit akut yang
menggerogoti negara ini.
Harus diakui, SBY pandai melontarkan wacana
indah nan memesona publik. Awal April 2005, di sela pertemuan para pemimpin
dunia usaha Australia dan Asia di Sydney, dia menyatakan perang melawan korupsi
dan berjanji meningkatkan reformasi ekonomi Indonesia.
Hal tersebut dianggap penting guna mendorong
masuknya investasi asing ke Indonesia (Sinar Harapan, 5/4/2005). Tak
lama kemudian, di Jakarta, ia berjanji lagi akan menangkap para koruptor kelas
kakap yang buron ke luar negeri (Sinar Harapan, 16/4/2005).
Kemudian di awal periode kedua
kepemimpinannya, SBY berjanji untuk memimpin jihad melawan korupsi dan tak akan
segan-segan “menghunus pedang” untuk
tujuan itu. Hal itu ia tegaskan dalam pidato kenegaraannya di Istana Merdeka,
Jakarta, dalam peringatan Hari Antikorupsi Dunia pada 9 Desember 2009.
Hasilnya? SBY kian sering dicibir banyak
pihak dan kalangan karena kinerjanya yang buruk dalam memberantas korupsi.
Bahkan seorang anggota DPR, Bambang Soesatyo menyebut SBY cuma ”perang-perangan” terhadap korupsi.
Menurut dia, efektivitas pemberantasan korupsi selama dua tahun pemerintahan
SBY stagnan.
Terbukti banyak kasus besar, seperti skandal
Century, yang tidak tertangani secara jelas, disusul dengan kasus pembangunan
wisma atlet di Palembang dan proyek Hambalang yang keduanya melibatkan beberapa
kader partainya, Demokrat (PD).
PD Membebani
Jelaslah, PD merupakan salah satu faktor
penyebab citra SBY kian melorot. Sejumlah kader partai yang didirikan SBY ini
diduga kuat terlibat korupsi. Sebutlah Moh Nazaruddin (terdakwa) dan Angelina
Sondakh (tersangka). Namun penyikapan terhadap keduanya berbeda.
Jika Nazaruddin langsung dipecat, baik dari
DPR maupun PD, Angelina ”hanya”
dinonaktifkan dari partai namun masih berstatus anggota DPR. Angelina terkesan
begitu “disayang” oleh PD, dia cuma dipindahkan dari Komisi X ke Komisi III
(meski kemudian dipindahkan lagi ke Komisi VIII).
Melorotnya citra SBY terkait PD juga karena
iklan “Katakan Tidak pada Korupsi”
yang dibintangi Angelina Sondakh, sang tersangka koruptor dan Anas Urbaningrum,
Ketua Umum PD ini tengah disorot publik lantaran diduga kuat juga terlibat
korupsi dalam sejumlah kasus.
Belum lagi sosok Andi Malarangeng, kader PD
yang kini menjadi Menpora, dalam dugaan terjadinya kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) tersebut.
SBY bukannya tidak berbuat sama sekali, cuma
sebagai pemimpin dia tidak tegas dan berani, termasuk terhadap para pembantunya
di eksekutif. Wakil Presiden Boediono, misalnya, mengatakan bahwa Inpres No 9
Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (RA-PPK)
tidak ada gaungnya sama sekali.
Artinya, kementerian terkait dan penegak
hukum dalam lingkup eksekutif seperti Polri atau Kejaksaan Agung tidak mematuhi
instruksi presiden.
Di kabinet, mengapa SBY masih mempertahankan
Menakertrans Muhaimin Iskandar pascaperombakan kabinet tahun lalu? Bukankah
sebelum perombakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu juga disorot pers
karena diduga terlibat korupsi? Adakah “sesuatu” yang membuat SBY “takut” kepada Muhaimin?
Akhir Februari lalu, terbetik berita bahwa
Presiden SBY menjadi sorotan civitas akademi di berbagai lembaga di Amerika
Serikat dan dunia internasional karena korupsi yang merajalela dan merusak
kredibilitas pemerintah maupun partai politiknya (PD).
Bahkan majalah internasional The Economist,
dalam tajuknya memperkirakan Presiden SBY tidak termasuk dalam kelompok orang
Indonesia yang sukses mengelola negara dan partainya. Majalah itu terang
menyebut SBY kini sudah tampak seperti lame duck alias bebek lumpuh.
Majalah itu juga menyoroti kinerja buruk PD
yang dibangun oleh SBY. Pada Pemilu 2009, partai ini mendulang suara sebesar 21
persen, suatu lompatan luar biasa dari perolehan suara dalam pemilu sebelumnya
yang hanya 7 persen. Dalam jajak pendapat terakhir, partai itu hanya memiliki
popularitas sebesar 13,7 persen.
Negara Terkorup
Sebagai pembanding, survei terbaru World Justice Project yang dirilis 13 Juni
2011 menyebutkan bahwa praktik korupsi di Indonesia menempati posisi ke-47 dari
66 negara yang disurvei di seluruh dunia. Sementara itu, di kawasan Asia Timur
dan Pasifik, peringkat ketiadaan korupsi di Indonesia masuk di urutan kedua
dari paling buncit sebelum Kamboja.
Menurut hasil survei Persepsi Korupsi 2011
terhadap pelaku bisnis yang dilakukan oleh Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia
merupakan negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik.
Wajar kalau publik kian kehilangan respek
terhadap SBY karena dia tidak becus mengelola negara ini ke arah yang baik.
Maka muncul istilah ”autopilot” sejak awal tahun ini, mengibaratkan
negara seolah berjalan sendiri tanpa pemimpin. SBY dianggap kehilangan
otoritas, pemimpin yang berusaha menyelesaikan pelbagai masalah hanya dari
mimbar atau membentuk satgas-satgas.
Jelaslah tak mungkin berharap kepada the lame
duck itu. Kita sendiri harus aktif bergiat dalam gerakan nasional memerangi
korupsi. Persepsi harus kita samakan bahwa korupsi adalah sebentuk kejahatan
luar biasa dan koruptor ibarat tikus got yang tak ada gunanya.
Sebagai kejahatan, maka hasil dari kejahatan
itu pun harus ditolak—sekalipun ada orang-orang di lingkaran koruptor yang menikmati
”manfaat” hasil korupsi itu. Di sisi
lain, koruptornya harus dibasmi, tak hirau siapa dia dan ”kebaikan” apa saja yang sudah diperbuatnya. Jadi, janganlah mengiba
kepada koruptor.
Kita juga harus terus-menerus mendorong
negara untuk melengkapi perangkat hukum terkait korupsi, baik UU tentang
pembuktian terbalik, tentang pemiskinan koruptor.
Termasuk peraturan teknis tentang
atribut-atribut yang harus dipakai untuk mempermalukan koruptor, dan
jenis-jenis kerja sosial yang harus mereka lakukan di ruang-ruang publik,
bahkan membuat ”kebun koruptor”
seperti yang pernah digagas Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD beberapa waktu
lalu.
Upaya lainnya tentu banyak. Salah satunya
dengan melaksanakan pendidikan antikorupsi, khususnya di perguruan tinggi.
Meski bidang ini lazimnya memerlukan waktu lama untuk menghasilkan
perubahan-perubahan positif, namun kita boleh optimistis bahwa para mahasiswa
dapat menjadi motor penggerak gerakan antikorupsi.
Hanya saja, demi efek yang serentak dan
meluas, mata kuliah ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan mata kuliah wajib
di setiap perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar