Inkonsistensi Kebijakan Energi
Khudori, Pegiat Asosiasi
Ekonomi Politik Indonesia,
Anggota Kelompok
Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER : KORAN TEMPO, 28 Maret 2012
Sebuah kebijakan dibuat sering kali didorong
oleh dua hal: faktor internal dan eksternal. Menggabungkan dua pendorong
menjadi ramuan yang tepat merupakan seni membuat kebijakan. Dalam bidang
energi, tekanan eksternal tampaknya lebih kuat dalam mengubah kebijakan energi
kita ketimbang dorongan internal. Ini terlihat dari kepanikan yang selalu
berulang saat harga minyak mentah melonjak tinggi. Sebagai respons, serta-merta
dibuat kebijakan ad hoc: mengutak-atik harga bahan bakar minyak.
Pada 2005, saat harga minyak mentah naik
tinggi, pemerintah dua kali menaikkan harga BBM dengan total kenaikan 87
persen. Kebijakan serupa diulang pada 2008 ketika harga BBM sempat mencapai
titik tertinggi: US$ 147 per barel. Selain itu, mulai 2006 pemerintah
menggulirkan kebijakan massalisasi briket batu bara. Pembuatan kompor briket
batu bara sempat dilakukan. Bahkan sejumlah usaha kecil-menengah dilibatkan. Di
tengah jalan, kebijakan briket batu bara diubah. Di tengah redupnya program
massalisasi briket batu bara, pemerintah tiba-tiba menggulirkan program elpiji
atau gas dalam tabung (liquefied petroleum gas/LPG) sebagai pengganti
minyak tanah.
Kini, ketika harga minyak mentah melampaui
US$ 110 per barel, pemerintah (kembali) panik dan serta-merta membuat kebijakan
baru. Semula pemerintah hendak menempuh dua cara: mengendalikan BBM bersubsidi
dengan membatasi konsumsi, serta mengkonversi Premium dan solar ke bahan bakar
gas. Menurut pemerintah, ini dilakukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara tidak berdarah-darah karena banyak tersedot buat subsidi BBM. Dua
program ini dibatalkan setelah menuai kritik publik. Sebagai gantinya, per 1
April, pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi: dari Rp 4.500 menjadi Rp
6.000 per liter (33,3 persen).
Kata kunci dari kebijakan (substitusi) energi
yang gampang berubah adalah panik dan inkonsistensi. Dihadapkan pada anggaran
pembangunan sosial yang cekak karena tergerogoti pembayaran (pokok dan cicilan)
utang, ruang bermanuver pemerintah menjadi sempit. Cara termudah mengeliminasi
agar anggaran tidak berdarah-darah akibat kenaikan harga BBM adalah menurunkan
subsidi BBM untuk rakyat. Maka dicarilah alternatif yang mungkin, seperti
briket batu bara, elpiji, atau menaikkan harga. Meskipun baru rencana, berbagai
alternatif itu dilempar ke ranah publik seolah-olah sudah menjadi kebijakan
(matang). Ketika dikritik, pemerintah mungsret dan serta-merta beralih
ke alternatif yang lain. Maka terjadilah inkonsistensi di sana-sini.
Tapi inkonsistensi ini bukan hal baru. Pada
1980-an, kita pernah menggelar secara intensif dan ekstensif program bahan
bakar alternatif. Proyek gasohol, bensin dengan campuran 10 persen etanol,
telah tuntas dikaji dan diuji bersama dengan produsen kendaraan bermotor.
Lembaga penelitian dan pilot plant pembuatan etanol, khususnya dari pati
singkong di Lampung, telah selesai dan beroperasi. Tapi program ini juga tidak
berkembang. Rendahnya harga BBM saat itu membuat pressure program
gasohol berkurang. Ironisnya, dokumennya ternyata hilang entah ke mana
(Ramelan, 2005). Pada 2005, saat harga minyak mentah kembali melonjak, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006
tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan
Bakar Lain.
Pada 1987, pilot project pemakaian compressed
natural gas (CNG)--populer dengan sebutan bahan bakar gas (BBG)--untuk
kendaraan bermotor juga diluncurkan. Gubernur DKI Jakarta telah menetapkan
konversi mesin 300 unit taksi, 40 minibus, dan 40 bus. Pertamina menunjuk 16
buah stasiun pengisian bahan bakar umum di Jabotabek untuk mendistribusikan
CNG. Perusahaan produsen bus diharuskan mengembangkan bus, khususnya bus kota,
dengan menggunakan mesin yang memakai CNG. Sayang, pada 1995 Menteri
Pertambangan saat itu mengizinkan pemanfaatan LPG. Proyek menjadi tidak jelas.
Desakan produsen mobil yang memakai mesin solar menyebabkan Gubernur DKI
kemudian mengizinkan juga taksi memakai mesin solar--yang mesinnya tidak bisa
dikonversi untuk memakai CNG.
Setelah sekian tahun, perkembangan CNG tidak
hanya stagnan, tapi juga negatif. Tidak sebanding dengan investasi dan waktu
yang ditanam. Data terakhir menyebutkan (Soerawidjaja, 2005), hanya 16 dari 28
buah stasiun pengisian gas yang beroperasi dengan kapasitas 403.020 LSP per
hari, yang tersebar di Jakarta, Cirebon, Cikampek, Surabaya, Medan, dan
Palembang. Hasan (2003) mencatat distribusi CNG untuk sektor transportasi pada
2000 menurun sampai 32 persen dan pada 2002 turun lagi 8 persen dari tahun
sebelumnya. Penyebabnya, pertama, berkurangnya jumlah pemakai kendaraan CNG,
dari 6.633 unit (2000) menjadi 2.500 unit (2002); kedua, jaringan pipa gas yang
terbatas; ketiga, stasiun pengisian yang minim dan biaya pembangunan stasiun
pengisian yang tinggi; keempat, conversion kit yang mahal; dan kelima,
terbatasnya bengkel pemasang conversion kit.
Kini, setelah sekian tahun tidak pernah
dievaluasi, pemerintah mulai lagi dengan program CNG. Demikian pula program biofuel,
yang sempat ingar-bingar pada rentang 2005-2006, kini nyaris tak terdengar.
Seandainya konsisten sejak dulu, dan diberlakukan luas di seluruh Indonesia,
mungkin krisis BBM dan polusi udara di kota-kota besar bisa diatasi dengan
lebih baik. Kebijakan energi nasional juga tidak selalu didera kepanikan
lantaran instabilitas harga minyak mentah yang memang di luar kendali
pemerintah. Haruslah disadari peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
dicapai secara instan, tapi merupakan hasil kumulatif dari berbagai kegiatan
sebelumnya. Jadi, kalau terjadi disruptive technological development
seperti yang kita alami saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
akan terhambat. Kita harus memulai dari nol lagi. Itulah yang terjadi pada
pengembangan energi Indonesia. Tampaknya kita lebih dungu daripada keledai.
Brasil, misalnya, bisa lepas dari kerentanan
dan instabilitas harga BBM karena kebijakan energi yang konsisten. Pemakaian biofuel
di Brasil dimulai pada 1973, saat terjadi krisis BBM. Saat itu 80 persen kebutuhan
BBM diimpor. Tak ingin tergantung, pemerintah Brasil menetapkan Program
Nasional Alkohol dan mewajibkan pemakaian bahan bakar alternatif dengan
memberikan potongan pajak kepada produsen dan pengguna mobil etanol. Didukung
oleh kelembagaan yang solid, optimalisasi pasar domestik, dukungan finansial,
dan lembaga riset, kini Brasil menjadi produsen biofuel dari tebu nomor
wahid dan terefisien di dunia. Biofuel juga menjadi strategi Brasil
keluar dari jerat pasar gula dunia yang distortif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar