Kedaulatan
Pangan
Victor
PH Nikijuluw, Staf
Ahli Menteri Bidang Kebijakan Publik
Kementerian Kelautan dan Perikanan
SUMBER : SINAR HARAPAN, 26 Maret 2012
Saat ini DPR bersama pemerintah sedang
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan. Salah satu aspek penting
dari bakal UU ini adalah kedaulatan pangan.
Kedaulatan negara dalam bidang pangan ini
adalah kondisi yang ingin dicapai. Karena itu roh dari UU yang baru nanti
adalah adanya pengalihan paradigma dari “ketahanan pangan” ke “kedaulatan
pangan”.
Kedaulatan pangan bagi kita adalah sesuatu
yang baru mau kita perjuangkan dan wujudkan. Padahal hal ini sudah lama menjadi
isu global. Pada awal 1990-an, Gerakan Petani Dunia yang bernama Via Campesina
mulai memperkenalkan konsep ini, dengan tujuan mendorong keikutsertaan LSM dan
organisasi madani sebagai alternatif kebijakan neoliberalisme dalam
menghasilkan pangan, terutama liberalisasi perdagangan pangan dunia.
Kemudian Peter Rosset (2003) mengajukan
konsep kedaulatan pangan secara lebih rinci. Baginya, kedaulatan lebih penting
daripada ketahanan pangan. Baik kedaulatan maupun ketahanan sama-sama menjamin
ketersediaan pangan.
Beda hakiki keduanya yaitu ketahanan tidak
begitu mempersoalkan darimana dan bagaimana pangan dihasilkan. Sementara
kedaulatan pangan sangat memperhatikan hal tersebut dan memberi peran utama
kepada produsen lokal untuk menghasilkannya.
Kondisi, status, dan posisi kedaulatan pangan
sudah menjadi target banyak negara, terutama setelah berbagai organisasi dunia
dan regional serta para pemimpin dunia dalam berbagai forum mendeklarasikan
pentingnya kedaulatan pangan. Indonesia memang sedikit terlambat dalam
menindaklanjuti komitmen dan kesepakatan di tingkat dunia ini. Namun lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali.
Mengapa status kedaulatan pangan ingin
dicapai banyak negara? Alasan utamanya yaitu memang pangan semakin langka.
Pandangan aliran Malthusian semakin terasa kebenarannya bahwa terlalu banyak
jumlah mulut manusia yang harus diberi makan, sementara sumber daya bumi
memiliki kapasitas terbatas dalam menghasilkan pangan.
Alasan lain yaitu ketidakpastian produksi
pangan karena perubahan iklim global yang sulit diprediksi. Maka terjadilah
ketimpangan spasial-tempral dalam produksi dan distribusi pangan.
Produksi dan pemasokan tidak selaras dengan
permintaan dan konsumsi. Karena itu, di satu sisi ada komunitas yang bergumul
dengan kelaparan dan malanutrisi. Tetapi di sisi lain, ada banyak orang yang
menikmati kelimpahan pangan dan justru berjuang mengatasi obesitas.
Mark Winne, Direktur Hartford Food System,
pada 2010 mengindikasikan situasi kelangkaan pangan pada level negara semakin diperburuk
dengan kebijakan pemerintah yang salah, yang tidak menempatkan kedaulatan
pangan sebagai prioritas tujuan pembangunan negaranya.
Lebih dari 25 tahun Winne mempelajari kasus
pangan di banyak negara dan tiba pada kesimpulan bahwa kedaulatan pangan harus
dimiliki setiap negara, kaya maupun miskin, negara maju atau berkembang,
diberkati dengan sumber daya alam maupun tidak, bahkan pada spektrum yang lebih
kecil, yaitu pada tiap kelompok masyarakat.
Contoh Nyata
Sambil menunggu hadirnya UU yang baru tentang
pangan, kita seharusnya sudah bisa mulai melakukan aksi-aksi nyata dalam rangka
mewujudkan kedaulatan pangan. Tentu saja aksi nyata itu bisa pada tingkat
nasional dan daerah, tetapi juga bisa dilakukan kelompok masyarakat.
Kebijakan Pemda Depok dalam bentuk Hari Tanpa
Nasi adalah contoh baik untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Mengapa demikian?
Karena Hari Tanpa Nasi akan menurunkan permintaan dan konsumsi beras.
Bayangkan bila kebijakan ini diadopsi secara
nasional, bila bukan satu hari tetapi dua hari dalam seminggu. Pasti dampaknya
akan lebih dahsyat, mengurangi ketergantungan pada impor beras sebagai pangan
utama.
Impor memang bukan merupakan prinsip
kedaulatan pangan. Di antara tujuh prinsip kedaulatan pangan yang diajukan Via
Campesina, reorganisasi perdagangan pangan dunia merupakan prinsip utama.
Maksudnya, impor tidak boleh dominan, tidak boleh menggantikan produksi lokal,
serta tidak merusak harga yang diterima produsen lokal.
Tetapi, suatu negara tidak berdaulat bila
sebagian besar pangan harus diimpor. Demikian juga ekspor (bahan) pangan untuk
meraih devisa sebesar-besarnya dengan mengorbankan ketersediaan pangan untuk
konsumen lokal adalah tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan pangan. Dalam
kaitan ini, fungsi pangan yang terutama adalah sebagai sumber nutrisi,
sementara dijual ke luar negeri hanya merupakan tujuan sekunder.
Langkah ke arah kedaulatan pangan juga sudah
dilakukan Gubernur NTT. Dalam Food Summit belum lama ini di Jakarta, gubernur
menekankan tentang komitmen pemda dan rakyatnya untuk tetap mengandalkan jagung
sebagai makanan pokok.
Jagung adalah makanan tradisi yang paling
cocok bagi NTT, sama dengan sagu bagi orang Papua dan Maluku, atau singkong
bagi sebagian penduduk pantai selatan Jawa.
Kedaulatan pangan di daerah-daerah ini akan
lebih mudah diwujudkan bila bahan-bahan pangan yang sudah menjadi tradisi ini
tetap dipertahankan sebagai bagian dari “basic human right” masyarakat asli dan
lokal. Dengan mempertahankan sistem pangan tradisi seperti ini maka otomatis
lingkungan alam akan terpelihara, serta keberlanjutan sumber daya akan
tercapai.
Namun aspek yang terpenting yang perlu
dicapai melalui kedaulatan pangan adalah kondisi dan rasa aman pada masyarakat.
Sebab itu, status kedaulatan pangan tidak
boleh diraih melalui tindakan kekerasan, tidak digunakan sebagai senjata untuk
menekan orang lain, merampas hak-hak kaum minoritas dan masyarakat asli,
menggusur orang dari lahan mereka sendiri, memaksa petani meninggalkan desa
mereka, lalu urbanisasi ke kota tanpa pekerjaan dan penghasilan tetap, serta
membunuh lapangan usaha masyarakat kecil yang ada dalam bentuk koperasi dan
UKM.
Dengan demikian, apabila prinsip-prinsip ini
dilakukan dengan sungguh-sungguh maka hadirnya UU pangan yang baru nanti akan
lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, UKM, dan koperasi, produk lokal,
pembangunan desa dan daerah, serta keberlanjutan sumber daya alam.
Bila UU nanti lebih mengandalkan terbentuknya
korporasi pangan serta sistem ekonomi pangan yang sangat bebas dan terbuka
terhadap pasar maka hal tersebut menyimpang dari prinsip kedaulatan pangan.
Sebagai hak asasi, harusya melalui UU Pangan
yang baru nanti, pangan untuk rakyat akan tersedia secara lokal dan terjangkau
oleh daya beli masyarakat.
Penduduk urban pun akan ditawari beragam
pangan lokal, di pasar rakyat yang dipasok dan dijual rakyat sendiri, bukan
hanya di pasar retail modern yang dikelola jaringan korporasi besar yang lebih
banyak menjajakan pangan impor. Semoga kedaulatan pangan seperti ini dapat
diwujudkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar