Sultan
X, Dahlan Iskan, dan Pelajaran Kepemimpinan
Agam
Fatchurrochman, Konsultan
Manajemen di Sebuah Firma
SUMBER : KORAN TEMPO, 27 Maret 2012
Moderator, "Demikianlah paparan Pak Menteri." Dahlan Iskan, "Nama saya Dahlan, bukan Menteri."
Sesuatu yang kontras dengan pengalaman saya ketika baru bekerja di sebuah
perusahaan pertambangan. Saya orang baru dan merasa harus menghafal nama semua
pejabat. Ternyata tidak perlu, mereka lebih senang dipanggil Pak Bupati, Pak
Kadis (Kepala Dinas), atau Pak Kabag (Kepala Bagian).
Apa kaitan preferensi dipanggil nama atau
jabatan dengan kepemimpinan? Peneliti manajemen Hofstede (1980) pada 1970-an
membuat riset perbedaan dimensi budaya antarnegara. Salah satu temuannya:
tingginya dimensi jarak kekuasaan (power distance) di Indonesia. Mereka
yang punya kekuasaan terpisah jauh secara sosial dengan yang kurang berkuasa.
Saya duga, lantaran riset dilakukan saat Orde
Baru, pemimpin merasa jabatannya didapat karena wahyu, dan bukannya kerja
keras, sehingga kesakralannya perlu dijaga dari yang tak berkuasa. Puluhan
tahun sejak riset itu, para bupati, direktur, dan menteri tetap merasa mereka
mendapatkan wahyu kekuasaan, dan karena itu tetap berlaku sebagai raja-raja
kecil dalam lingkungannya, di antaranya dengan memilih dipanggil dengan nama
jabatannya.
Pejabat yang menjaga jarak kekuasaannya
dengan rakyat, dari perspektif manajemen tidak akan produktif bagi cita-cita
kemerdekaan Indonesia. Setiap organisasi, termasuk negara, punya tujuan, dan
untuk mencapainya, tiap organisasi harus punya visi, misi, strategi, dan
program. Untuk melaksanakan program, tiap organisasi perlu sumber daya:
manusia, sistem dan teknologi, strategi yang tepat, serta logistik. Untuk
mensinergikan sumber daya tersebut, manusia adalah unsur paling penting, assets
make possibility, people make it happen (Moeljono, 2003).
Di sinilah budaya organisasi sangat berperan
untuk menyamakan tujuan perorangan dengan organisasi. Peneliti budaya
organisasi Schein (1986) mendefinisikan budaya organisasi sebagai aturan tidak
tertulis suatu organisasi, yang mengatur interaksi antaranggota organisasi,
yang berasal dari struktur, rutinitas, aturan, dan norma yang mengarahkan atau
mencegah suatu perilaku.
Budaya organisasi dapat diperkuat oleh mitos
atau acara khas organisasi yang diatur untuk memperkuat budaya tersebut. Pada
zaman Orde Baru, kepatuhan terhadap atasan, supremasi militer terhadap sipil,
dan sebagainya dibudayakan, antara lain, dengan upacara tiap peringatan hari
penting, apel tiap pagi bagi pegawai negeri sipil dan sekolah, serta pidato Pak
Harto melalui TVRI. Budaya yang dihasilkan adalah membebek, patuh kepada
atasan, korupsi boleh asal berjamaah, dan asal bapak senang.
Schein juga menyebutkan tak semua organisasi
punya budaya. Hanya sekelompok orang yang telah berinteraksi lama dalam suatu
proses pembelajaran sosial yang dapat memproduksi budaya organisasi. Karena
itu, tak mengherankan kalau budaya organisasi birokrasi kita tak banyak berubah
sejak Orde Baru.
Budaya organisasi ada pada tiga tingkat (Schein, 1990): a) artefak yang tampak,
(b) nilai-nilai, dan (c) asumsi dasar budaya. Artefak yang tampak, misalnya,
penataan kantor dan ruang pelayanan, aturan berpakaian, sebutan kepada atasan,
serta berbagai acara dan upacara. Nilai-nilai termasuk norma yang berkembang
dan diyakini oleh anggota organisasi, misalnya atasan menentukan hitam-putih
karier bawahan. Asumsi dasar budaya adalah dasar dari nilai dan artefak yang
terlihat, misalnya kekuasaan itu sakral dan berasal dari wahyu.
Seminggu setelah menjabat Menteri Badan Usaha
Milik Negara, Dahlan Iskan meminta agar stasiun dibangun lebih bagus dibanding
ruang direksi PT Kereta Api Indonesia (KAI). Saya melihat Dahlan ingin
membongkar budaya organisasi yang tak produktif bagi KAI: pertama, asumsi dasar
budaya yang menempatkan direksi sebagai raja menjadi sebaliknya, pelanggan
adalah raja. Kedua, nilai yang dikedepankan adalah karyawan harus berorientasi
pada kepuasan pelanggan. Penilaian kinerja atas kepuasan pelanggan, bukan
atasan. Ketiga, artefak yang terlihat, yaitu stasiun, harus dibuat lebih bagus
daripada ruang direksi sebagai perwujudan komitmen pelanggan adalah raja.
Inilah contoh konkret bagaimana sebuah
perusahaan harus melayani pelanggan. Pada sisi kenegaraan, tiga tingkat budaya
organisasi itu perlu dibongkar untuk menjadikan negara yang berorientasi
melayani warga.
Kesuksesan ekonomi Jepang di antaranya karena
praktek filosofi yang mendorong budaya organisasi yang produktif, Genchi Genbutsu, yang artinya datang ke
lokasi. Filosofi ini mendorong semua anggota organisasi, terutama pemimpin,
agar mengambil keputusan berdasarkan penghayatan mereka atas masalah di
lapangan dan data yang diverifikasi secara personal.
Peneliti industri Liker (2003) memberikan contoh bagaimana ruang direksi perusahaan
mobil selalu berada di dalam pabrik. Tipikal jam kerja mereka adalah 80 persen
berkeliling pabrik mendiskusikan masalah secara langsung dan mencarikan solusi
berdasarkan pengamatan personal.
Rasanya kita tak asing dengan filosofi ini,
seperti yang dipraktekkan Jokowi dengan menghabiskan waktu untuk berdialog
dengan masyarakat. Juga yang dilakukan Dahlan Iskan ketika di PLN dengan
menjelajahi dan berdialog dengan seluruh cabang PLN yang terpencil beserta
masyarakat tanpa pengawalan.
Berdialog ini bukanlah inspeksi mendadak atau
kunjungan kerja dengan ratusan pengikut dan wartawan tapi sudah diatur untuk
menjaga ketat jarak kekuasaannya. Berdialog dilakukan dengan berbaur dan
mencari solusi bersama masyarakat, bukan sosialisasi keputusan yang diambil
sepihak.
Tujuh dekade lalu kita tidak merasakan jarak
kekuasaan yang lebar antara rakyat dan pemimpinnya, Bung Karno, seorang
insinyur asal Blitar, juga Bung Sultan, Raja Yogyakarta. Menghadapi kenaikan
harga BBM bulan depan, rasanya semakin rindu kita pada teladan Bung Sultan,
yang menyetir sendiri mobilnya dari Jakarta ke Keraton Yogya tanpa pengawalan
dan tak menyusahkan rakyat sepanjang perjalanan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar