Subsidi dan Optimalisasi Kebijakan
A Prasetyantoko, Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Unika
Atma Jaya, Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 29 Maret 2012
Banyak orang bilang, Republik mulai hamil
tua. Apa maksudnya? Eskalasi persoalan bangsa semakin rumit, sementara
kapasitas untuk menyelesaikannya semakin lemah. Tampaknya rezim yang berkuasa
memang di titik nadir.
Dalam situasi yang memprihatinkan ini,
pemerintah justru kehilangan fokus. Saat keresahan mulai menjalar terkait
rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pemerintah justru membentuk
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi melalui Peraturan Presiden
Nomor 25 Tahun 2012.
Persoalan subsidi BBM bukanlah semata-mata
kalkulasi anggaran. Subsidi adalah hak rakyat sekaligus tanggung jawab negara.
Namun, selain tidak produktif, subsidi juga merupakan bentuk intervensi yang
paling primitif, tidak perlu kerja keras. Masalahnya, bagaimana pemerintah
mengubah skenario intervensi menjadi pola stimulus yang lebih produktif. Karena
itu, pengurangan subsidi BBM memerlukan soliditas kebijakan yang optimal.
Solid tidaknya kebijakan tidak hanya
ditentukan sisi teknikalitasnya, tetapi juga kalkulasi politiknya. Majalah The
Economist (November 2011) menyoroti fenomena di Uni Eropa, di mana para
teknokrat ekonomi menduduki posisi puncak, seperti di Italia dan Yunani.
Merancang kebijakan memang tugas teknokrat,
tetapi menjalankan kebijakan adalah tugas politisi. Masalah menjadi lebih rumit
jika kebijakan dirancang oleh para politisi dan dijalankan dengan kemampuan
politik yang rendah. Tampaknya fakta inilah yang sekarang tengah kita hadapi.
Ketidakpastian
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
telah berhasil menyepakati asumsi makro ekonomi 2012. Meski begitu,
konsensusnya tampak tidak solid. Asumsi pertumbuhan ekonomi dipatok pada
kisaran yang cukup lebar, yaitu 6,3-6,7 persen. Padahal, sebelumnya pemerintah
begitu percaya diri dengan hanya mengoreksi pertumbuhan dari 6,7 menjadi 6,5
persen.
Lebarnya rentang skenario pertumbuhan salah
satunya disebabkan oleh alotnya pembahasan mengenai subsidi BBM. Keputusan soal
kenaikan memang sudah bulat, tetapi belum jelas berapa kenaikannya. Apakah Rp
1.500 atau Rp 2.000?
Bisa juga yang dibatasi adalah besaran
subsidinya, misalnya besaran subsidi dipatok Rp 2.000 per liter dan sisanya
dibayar oleh konsumen. Dengan demikian, harga pasar akan berfluktuasi mengikuti
naik-turunnya harga minyak dunia.
Berlarut-larutnya keputusan soal BBM
berimplikasi pada tidak jelasnya skenario inflasi. Bank Indonesia (BI)
memperhitungkan, kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter akan
mendorong inflasi menjadi 6,8 persen. Apabila kenaikannya diputuskan Rp 2.000
per liter, akan membuat inflasi menjadi 7-7,1 persen. Sebelumnya, target
inflasi BI 2012 3,5 hingga 5,5 persen.
Selanjutnya, tinggi rendahnya inflasi akan
menentukan skenario penyerapan likuiditas. Tampaknya BI tidak akan menaikkan
suku bunga acuan (BI Rate) guna mengendalikan likuiditas. BI mungkin memilih
menaikkan giro wajib minimum (GWM) yang sekarang ini besarnya 8 persen untuk
simpanan rupiah ataupun valuta asing. GWM merupakan simpanan minimum oleh bank
dalam bentuk saldo rekening giro pada BI yang besarnya ditetapkan secara
proporsional terhadap dana pihak ketiga.
Tekanan peningkatan inflasi akan membuat suku
bunga kredit semakin sulit diturunkan. Sekarang ini, meski BI Rate 5,75 persen
dan suku bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 5,5 persen,
tetap saja suku bunga kredit di atas 10 persen. Jika inflasi meningkat, semakin
kuat alasan tidak menurunkan bunga kredit. Itulah komplikasi subsidi BBM pada
kebijakan moneter. Jadi, tantangan di sisi moneter cukup besar.
Bauran Kebijakan
Dua pakar ilmu ekonomi, Gregory Mankiw dan
Matthew Weinzierl (2011), menulis paper tentang kebijakan stabilisasi yang
optimal. Berangkat dari asumsi Keynesian, kebijakan moneter dan fiskal harus
dijalankan secara bersamaan menghadapi penurunan permintaan agregat. Tujuannya
supaya daya beli masyarakat meningkat dan level produksi bisa terjaga sehingga
pengangguran bisa diatasi.
Dalam Keynesian, sangat penting menghindari
apa yang disebut paradox of thrift. Artinya, saat perekonomian lesu, lebih
banyak menabung justru akan membuat penduduk semakin miskin. Alasannya,
perekonomian semakin terjerumus pada siklus resesi. Sebaliknya, ketika ekonomi
melemah, pengeluaran diperbanyak, khususnya pemerintah. Begitulah instrumen
fiskal menjadi stimulus ekonomi.
Perekonomian kita memang relatif aman dari
gejolak krisis mengingat porsi terbesar dari produk domestik bruto (PDB) kita
disokong oleh permintaan domestik. Dalam jangka pendek memang relatif aman,
tetapi bagaimana dalam jangka panjang?
Justru karena permintaan domestik penyumbang
terbesar PDB, pemerintah harus menjaga agar daya beli masyarakat tetap tinggi.
Oleh karena itu, bauran kebijakan moneter dan fiskal perlu dilakukan.
Dalam RAPBN-P 2012 disepakati anggaran
subsidi BBM ditambah Rp 64,67 triliun. Defisit anggaran mungkin akan diperlebar
menjadi 2,4 persen dan proporsi utang ditambah. Selain itu, pemerintah juga
berencana memberikan kompensasi kenaikan harga BBM dalam bentuk bantuan
langsung sementara masyarakat akan diterimakan pada 30 persen rumah tangga
termiskin atau 18,5 juta keluarga. Bantuan akan diberikan selama tiga kali
dalam sembilan bulan, masing-masing Rp 150.000.
Jika motivasi mengurangi subsidi adalah untuk
meningkatkan produktivitas anggaran, apakah pemberian BLSM bersifat produktif?
Secara agregat, stimulus ekonomi berupa cash
transfer sangat mungkin mendongkrak daya beli. Akan tetapi, apakah ini
benar-benar produktif? Banyak data lapangan menunjukkan fakta sebaliknya.
Di satu sisi, upaya pemerintah untuk
mengalokasikan subsidi secara lebih produktif patut dihargai. Sebenarnya,
pemerintah sudah merencanakan bahwa pada tahun 2012 ini subsidi BBM hanya
sebesar Rp 56 triliun dan terus turun pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2013
diproyeksikan subsidi BBM turun menjadi Rp 51,1 triliun dan Rp 44,3 triliun
pada 2014.
Pengurangan besaran subsidi tentu akan
meningkatkan beban masyarakat. Namun, jika dalam waktu bersamaan pemerintah
berhasil memperbesar kapasitas ekonomi domestik dan di sisi lain pemerintah
mendorong peningkatan daya beli, akan terbentuk postur anggaran yang produktif.
Ini yang akan membuat perekonomian berekspansi, terutama dengan peningkatan
kondisi logistik yang lebih baik.
Pencabutan subsidi perlu dilakukan secara
bertahap sambil mendorong ekspansi ekonomi. Untuk itu, belanja modal dalam
postur fiskal perlu terus ditingkatkan sehingga pembangunan infrastruktur bisa
terakselerasi. Seandainya saja pemerintah fokus pada dua hal: infrastruktur dan
logistik nasional, akan ada dampak positif yang terasa.
Persoalan sebenarnya bukan lagi pada
pembengkakan subsidi dan defisit anggaran yang melebar, melainkan pada
pengeluaran anggaran yang tidak efisien, baik karena perilaku dikorupsi maupun
program yang tidak jalan.
Saat ini anggaran tidak pernah memiliki daya
ungkit yang signifikan terhadap perekonomian. Oleh karena itu, sudah semestinya
tuntutan pertama-tama ditujukan pada upaya untuk mengefisiensikan anggaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar