Desain Dewan Pengawas KPK
Roby Arya Brata, Analis
Antikorupsi, Hukum, dan Kebijakan
SUMBER : KORAN TEMPO, 30 Maret 2012
“Dewan
Pengawas KPK, misalnya, dapat menyelidiki mengapa pimpinan KPK tidak segera
menahan tersangka Angelina Sondakh dan Miranda S. Goeltom, tidak menetapkan
Jhonny A. Marbun sebagai tersangka, tidak segera memeriksa Anas Urbaningrum,
dan tidak mengungkap dengan tuntas dan adil kasus-kasus rekening gendut perwira
polisi, Bank Century, cek pelawat, dan Wisma Atlet.”
Ide pembentukan Dewan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat menuai kontroversi tajam.
Ide itu dinilai berbahaya bagi independensi KPK. “Ini mata-mata DPR, sebagai
salah satu upaya mengontrol KPK,” ujar anggota Badan Pekerja ICW, Emerson
Yuntho (Koran Tempo, 13 Maret 2012).
Sesungguhnya pembentukan Dewan Pengawas KPK
sudah pernah saya usulkan (Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008). Karena itu,
tulisan ini mengkaji lebih mendalam bagaimana seharusnya Dewan itu dirancang (institutional
design), agar tidak digunakan justru untuk mengintervensi dan melemahkan
KPK. Potensi pelemahan itu harus diakui. Tetapi, tanpa Dewan Pengawas yang
dirancang dengan baik, pembusukan internal KPK yang telah, sedang, dan sangat
mungkin terjadi di masa depan akan terus dilakukan.
Desain Kelembagaan
Tanpa pengawasan yang efektif, KPK sangat
rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power). Karena itu, sebelum struktur kelembagaan dan kewenangan Dewan
Pengawas dirancang, perlu diidentifikasi terlebih dulu berbagai bentuk
penyalahgunaan kekuasaan itu.
Banyak potensi pelanggaran hukum, kepatutan,
dan kode etik (misconduct) yang dapat dilakukan pimpinan dan pegawai
KPK. KPK dapat melakukan discriminative investigation, misalnya dengan
tidak mengungkap kasus tertentu, tidak menetapkan seseorang menjadi tersangka,
atau tidak menahan tersangka padahal terdapat alasan kuat untuk itu. KPK juga
dapat melambatkan, menunda, menghalangi (obstruction of justice), atau
mendistorsi proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan kasus korupsi
tertentu.
Penyidik dan penuntut KPK dapat
menghancurkan, menghilangkan, dan merekayasa barang bukti. Mereka juga dapat
berkonspirasi untuk melemahkan atau merekayasa tuntutan dan dakwaan untuk
meringankan hukuman atau bahkan membebaskan terdakwa. Selain itu, mereka dapat
melanggar hukum acara pidana dan standard operating procedure (SOP) yang
sudah ditetapkan. Pimpinan dan pegawai KPK dapat melanggar independensi KPK.
Dengan misi tersembunyi, mereka juga dapat menghambat kinerja KPK dengan
memecah belah soliditas kepemimpinan KPK dan menciptakan suasana kerja yang
tidak kondusif.
Dengan sistem rekrutmen pimpinan, penyidik,
dan penuntut KPK seperti sekarang ini, yang memungkinkan mereka menyusup dan
membawa misi jahat dari para koruptor, penguasa, dan politisi busuk, segala
bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut sangat mungkin terjadi. Karena itulah,
Dewan Pengawas perlu segera dibentuk dan dirancang untuk mencegah dan mengatasi
segala bentuk penyimpangan ini.
KPK harus dapat mempertanggungjawabkan setiap
tindakan dan keputusan yang dibuatnya. Karena itu, kerangka akuntabilitas yang
kuat dan komprehensif harus didesain agar KPK dapat bekerja optimal sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kewenangan hukumnya. KPK harus tunduk kepada
mekanisme akuntabilitas publik, politik, manajerial, vertikal, dan horizontal.
Komite Etik ad hoc dan Pengawas Internal KPK tidak cukup dan tidak akan
mampu mencegah penyimpangan dan pembusukan KPK itu.
Dewan Pengawas harus diberi wewenang menjaga
dan mengawasi agar KPK benar-benar bertindak berdasarkan hukum dan peraturan
yang berlaku. Ia adalah penjaga the rule of the game, pengawas kode etik
dan independensi KPK. Dewan tidak menenggang underperformance dan segala
bentuk pelemahan internal KPK. Ia akan menindak penyidik dan penuntut KPK yang
melanggar SOP dan hukum acara pidana dalam menangani suatu kasus. Karena itu,
Dewan berwenang melakukan evaluasi dan audit kinerja, juga menyarankan corrective
action.
Dewan, misalnya, dapat menyelidiki mengapa
pemimpin KPK tidak segera menahan tersangka Angelina Sondakh dan Miranda S.
Goeltom, tidak menetapkan Jhonny A. Marbun sebagai tersangka, tidak segera
memeriksa Anas Urbaningrum, serta tidak mengungkap dengan tuntas dan adil
kasus-kasus rekening gendut perwira polisi, Bank Century, cek pelawat, dan
Wisma Atlet.
Untuk mencegah kelemahan pengawasan di tubuh
kepolisian dan kejaksaan yang menjadi penyebab utama mafia peradilan, selain
kewenangan rekomendasi, Dewan Pengawas juga harus berwenang memberikan sanksi
yang kuat (punitive power). Misalnya, Dewan dapat memberikan rekomendasi
kepada Presiden untuk memecat pemimpin KPK yang melakukan pelanggaran berat,
seperti menghalangi pengungkapan kasus, melanggar independensi KPK, melakukan
kejahatan dan korupsi.
Tetapi mekanisme checks and balances
harus diterapkan atas rekomendasi pemecatan pimpinan KPK ini. Apabila Presiden
setuju dengan rekomendasi Dewan Pengawas, ia meneruskan rekomendasi itu ke DPR.
Jika DPR juga setuju dengan rekomendasi tersebut, untuk menghemat anggaran,
waktu, dan menjaga kinerja KPK, DPR dapat menggunakan mekanisme pergantian
antarwaktu pimpinan KPK.
Dalam pergantian antarwaktu ini, DPR langsung
menetapkan calon pemimpin KPK yang menduduki peringkat teratas (ranking
keenam dan seterusnya) namun tidak lolos dalam seleksi di DPR. Kemudian
Presiden mengangkat pengganti pemimpin KPK itu. Karena itu, panitia seleksi
pemimpin KPK wajib membuat pemeringkatan calon pemimpin KPK, dan idealnya DPR
menerima pemeringkatan ini. Namun, bila DPR tidak menerima pemeringkatan oleh
panitia, ia dapat membuat pemeringkatan sendiri.
Sebaliknya, bila Presiden dan DPR tidak
setuju dengan rekomendasi pemecatan dari Dewan Pengawas, pemimpin KPK tersebut
dapat aktif bekerja kembali. Jika Presiden tidak setuju namun DPR setuju
pemecatan, DPR menggunakan sistem pemeringkatan di atas dan Presiden melantik
pengganti pemimpin KPK itu. Pemimpin KPK yang diusulkan dipecat dapat melakukan
pembelaan di depan DPR. Meski demikian, apabila integritas dan kinerja pimpinan
KPK sangat baik, Dewan dapat merekomendasikan kepada DPR maksimal dua orang
pemimpin KPK untuk dipilih kembali.
Untuk mencegah terjadinya kriminalisasi dan
pelemahan KPK oleh oknum pimpinan institusi penegak hukum lain, tindak pidana
dan korupsi yang dilakukan oleh pimpinan dan pegawai KPK hanya dapat disidik
dan dituntut oleh Dewan Pengawas. Selain untuk bahan evaluasi dan audit
kinerja, karena itu, Dewan memiliki akses penuh terhadap informasi dan dokumen
KPK. Untuk kepentingan pemeriksaan Dewan, setiap keputusan pimpinan KPK harus
dicatat dan dimungkinkan voting serta dissenting opinion.
Penyidik dan penuntut KPK hanya dapat dipecat
atau dikembalikan ke instansi asal oleh Dewan, atas usul pimpinan KPK atau
inisiatif Dewan. Mereka dipecat karena kinerja yang buruk, pelanggaran hukum,
SOP, dan kode etik. Pegawai administrasi KPK, dengan alasan yang sah, cukup
diberhentikan oleh pimpinan KPK.
Untuk mencegah Dewan Pengawas digunakan
justru untuk mengintervensi dan melemahkan KPK, seleksi anggota Dewan harus
dirancang dengan hati-hati sehingga hanya tokoh masyarakat yang dihormati,
independen, dan kompeten yang dapat menjadi anggota Dewan. Panitia seleksi dan
anggota Dewan tidak boleh berasal dari lembaga yang memiliki konflik
kepentingan dengan Dewan dan KPK, seperti Pemerintah, DPR, partai politik, dan
institusi penegak hukum lain. Calon anggota Dewan diusulkan oleh koalisi
masyarakat sipil yang kredibel, diseleksi oleh panitia, dan dilantik oleh
Presiden.
Pengambilan keputusan Dewan dilakukan dengan
konsensus, transparan, dan terbuka untuk umum (public inquiry). Tetapi,
atas usul satu dari lima anggota Dewan, keputusan harus diambil dengan voting.
Keputusan dicatat dan dimungkinkan dissenting opinion. Dewan tidak
berwenang mengintervensi proses penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan
oleh KPK. Pimpinan, penyidik, dan penuntut KPK dapat mengadukan dugaan
pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan anggota Dewan
kepada suatu dewan kehormatan ad hoc.
Hanya dengan desain kelembagaan seperti
inilah saya setuju pembentukan Dewan Pengawas KPK. Namun, bila kemudian DPR dan
pemerintah berkonspirasi jahat merekayasa Dewan Pengawas (juga melemahkan
fungsi penyadapan dan penuntutan KPK), koalisi masyarakat sipil harus
mendeklarasikan untuk menolak rancangan revisi Undang-Undang KPK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar