Budaya Populer, Defisit Nalar Surplus Kebodohan
Asep Salahudin, Pemerhati Sosial Budaya;
Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya,
Tasikmalaya
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 31 Maret 2012
“Ternyata budaya populer juga menyergap wilayah
spiritualitas. Agama menjadi komoditas. Spiritualitas dicopot dari akar
ilahiahnya."
DIAKUI
atau tidak, saat ini semua media sedang dirambah budaya populer untuk
menyebarkan misi utama mereka, melakukan ‘kolonialisasi kesadaran’. Majid
Tahrenian menyebut itu dengan istilah ‘tirani
kognitif’ atau ‘ilusi-ilusi
modernitas’ dalam bahasa Peter L Berger.
Herbert
J Gans dalam Popular Culture and High
Culture: An Analysis and Evaluation of Taste menyebut beberapa identitas ‘anak kandung’ budaya populer:
berorientasi profit, mendangkalkan nalar, mengundang kesenangan sesaat, dan
akhirnya mendorong totaliterisme dengan mengondisikan jemaah (penonton,
audiens, khalayak, dan pembaca) yang pasif. Sudarsono (1993) menyebut serbuan
budaya ini dalam jangka panjang bisa lebih berbahaya ketimbang fanatisme agama
dan pesona laten komunisme.
Seluruhnya
bergerak di wilayah simbolis, kekerasan simbolis. ‘Penjajahannya tidak terasa’ bahkan boleh jadi diterima dengan
senang hati karena secara sempurna menawarkan kegembiraan yang tuntas. Itulah
yang dikatakan sebagai ‘hegemoni’
oleh Gramsci. Jati kasilih ku junti dalam kearifan lokal etnik Sunda.
Dari
semua media itu, yang paling kentara adalah televisi. Kotak ajaib (ada juga
yang menyebutnya ‘kotak stupid’) saat
ini telah menjadi imam kita. Konsep diri kita sesungguhnya didefinisikan layar
kaca. Layar televisi menjadi potret seluruh sejarah pengalaman kita dan
sekonyong-konyong televisi sedang menonton kita. Itu serupa dengan metafora
yang dibuat Jean Baudrillad.
Televisi
tentu tidak beragama, tidak memiliki KTP, tidak juga mengenal gender, bebas
nilai. Apa pun yang ditayangkan, yang penting memenuhi hasrat pasar yang
diketahui lewat sabda rating.
Budaya Populer
Di dalam televisi budaya populer menemukan habitatnya, memerankan
dirinya dihadapan audiens yang nyaris tidak lagi bisa bersikap kritis (apalagi
dalam konteks budaya kita yang tradisi bacanya belum tumbuh tiba-tiba dipaksa melakukan
lompatan dengan memasuki tradisi melihat). Maka, sempurnalah keterpurukan kita.
Bukankah dengan berhenti membaca berarti berhenti berpikir. Sebuah tragedi dalam
infrastruktur kognitif bangsa ketika Perpustakaan Nasional menduga hanya 1% (dari 250 juta) yang rajin
mengunjungi perpustakaan.
Akhirnya,
terjadilah defisit nalar, surplus kebodohan.Ujungnya,
semua menjadi serba tanggung. Di ruang remangremang seperti ini, kekerasan
simbolis dengan mudah menyebar dan beranak-pinak. Ketika tayangan televisi
sudah menganeksasi layar bawah sadar kita dan akhirnya menjadi limbo yang tak
bermakna, budaya, perilaku, sikap, dan keinginan menjadi berwajah homogen yang
bergantung pada ‘tokoh’ yang menjadi
rujukannya di layar kaca, baik ‘tokoh
lokal’ ataupun ‘luar’.
Di
televisi, semua tayangan bermuara pada pusaran pop culture. Kita catat saja beberapa contoh. (1) Perempuan (dan
laki-laki) hadir lebih didominasi tubuh, bukan akal budi baik dalam sinetron, entertainment, terlebih lagi iklan.
Stereotipnya body and beauty, bukan brain. Feminist Media Studies, seperti dikutip I Subandi Ibrahim (2007),
menyebutnya sebagai display yang sengaja diperlihatkan dengan nawaitu untuk
dilihat khalayak (laki-laki). Media cetak menyebutnya dengan ‘jurnalisme lheeer’.
Dengan
cara seperti itu, makna kefemininan dan maskulinitas secara ontologis
dipertaruhkan, minimal dipertanyakan kembali. Kita bahkan ditahbiskan sebagai
pengunduh (downloader) dan pengunggah
(uploader) situs porno peringkat 1 di
dunia, padahal pertengahan Januari lalu Indonesia masih menduduki urutan ketiga
setelah China dan Turki.
Itu
juga barangkali yang menjadi alasan utama SBY membentuk Satuan Tugas (Satgas)
Antipornografi . DPR kita sibuk mengurus rok mini. Di lain sisi, dengan sangat
telanjang pikiran kotor dan korup yang ada dalam kepala kita tidak pernah
disensor (bukankah korupsi jauh lebih keji ketimbang rok mini?).
(2)
Sosial-politik. Ketika aspek ini diangkat ke televisi, nyaris tidak kita
temukan pendidikan politik yang mencerahkan kecuali hanya menyisakan drama
kekerasan opini, bahkan minggu kemarin ILC dengan primitif tidak
mempertontonkan ‘kekuatan logika’,
tapi ‘logika kekuatan’ antara
penasihat hukum dan aktivis partai. Tayangan politik di media menjadi sebuah
drama untuk membangun citra.
Televisi
dalam konteks ini menjadi media yang menyembunyikan agenda tirani (hidden tyranny) sekaligus, kata Hannah
Arendt, ruang untuk mempraktikkan kejemawaan akal bulus hasrat berkuasa dengan
memproduksi tayangan dan komunikasi yang tidak real. Tempat sikap dan tindakan
politik yang belum tentu secara objektif memiliki korespondensi dengan hajat
dan kebenaran publik mendapatkan panggung yang meriah dan gempita.
Saat
ini kita sering (dipaksa) melihat televisi berulang kali yang menayangkan
argumentasi primitif ketua DPR(D) yang tidak lebih cerdas daripada rakyat yang
diwakili. Barangkali betul apa yang disebut Nietzsche bahwa dunia (televisi)
menjadi saluran strategis dari auman kerumunan politisi yang lebih mengerikan
daripada monster sekalipun. Kebenaran politik dan kebudayaan tidak diacukan
lagi kepada alur akal (Descartes),
roh (Hegel), ada transendental (Haidegger), kematangan iman (Kierkegaard), cinta kasih (Levinas), kebersamaan (Gabriel Marcel), kehendak menuju kuasa
etis (Nietzsche), phallogocentrism (Freud), tapi justru kepada ketamakan dan nafsu merasa paling benar
sendiri.
(3)
Agama. Ternyata budaya populer juga menyergap wilayah spiritualitas. Agama
menjadi komoditas. Spiritualitas dicopot dari akar ilahiahnya. Maka pada
gilirannya, yang mencuat ke permukaan ialah sengketa memperebutkan simbol,
memburu identitas dianggap lebih penting ketimbang melakukan penghayatan yang
tuntas.
Bagaimana
kita harus membubuhkan autentisitas makna dari perilaku selebritas yang hari
ini sekujur tubuhnya tertutup jilbab, tiga hari kemudian ‘merayakan kebebasan’ sebebas-bebasnya (jilbab dalam konteks budaya
populer tidak ada kaitannya dengan kesadaran religi, tapi semata diacukan
kepada haluan mode, dan kekhawatiran tidak laku kalau tetap memerankan imaji
bintang film bom seks, akurasi membaca keinginan audiens yang pada akhirnya
memosisikan busana sebagai ‘identitas’
sekaligus ‘kapitalisasi’). Termasuk,
kesulitan menelusuri genealogi religiositas ustaz pop yang sudah kehilangan
hakikat makna semantiknya ketika yang diwartakan mobil Alphard, merek sepatu,
parfum, selera berbelanja, ‘pacaran
islaminya’ dan hal lainnya yang bagi kiai di pelosok adalah sesuatu yang
megah bahkan bisa jadi ‘tak terpikirkan’.
Alhasil,
interupsi atas gelombang dahsyat budaya populer yang menumpang globalisasi
melalui berbagai media melakukan counter culture atas fenomena yang
mendangkalkan muruah kemanusiaan yang harus tetap dinyalakan jika kita semua
tidak ingin celaka.
Budaya
lokal dan kearifan perenial juga memiliki fungsi yang strategis untuk tugas
profetik seperti ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar