Ketertiban Demi Persatuan
Toeti Prahas Adhitama, Anggota
Dewan Redaksi Media Group
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2012
“Ketidakefisienan menjaga ketertiban layanan timbal
balik antara pemerintah dan rakyat turut mengakibatkan sulitnya membangun kebersamaan
demi persatuan."
JARGON
yang pernah populer di masa perjuangan fisik dulu, `bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh', kedengaran sederhana. Namun,
bila kita memaknainya dengan benar, betapa penting jargon itu bagi kehidupan
bersama suatu masyarakat. Misalnya, betapa besar kecemasan kita sekarang
melihat maraknya kegaduhan dengan ekses negatif yang merugikan rakyat banyak.
Pertanyaan yang mengusik, apa yang kita cari hingga rela mengorbankan
kebersamaan? Di masa perjuangan dulu kita rela berkorban demi kesejahteraan
bersama. Sekarang cita-cita itu dikhawatirkan sirna. Individualisme diasumsikan
merajalela.
Bagaimana
kita memaknai demonstrasi mahasiswa yang tak kunjung reda entah sampai kapan.
Apa pun jadinya dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, awam
mengantisipasinya dengan sikap waswas. Bila naik, dapat dipastikan jumlah kaum
miskin akan bertambah, mungkin jutaan atau bisa jadi belasan juta orang, yang
tentu akan membebani penghidupan masyarakat umum. Bila harga BBM tidak
dinaikkan, APBN akan berantakan dan pada gilirannya kita akan kehilangan
kepercayaan luar negeri sebagai mitra bisnis dan politik. Pengaturan
perekonomian akan terganggu. Itu garis besar yang kita tahu. Menurut pemerintah
bila harga BBM naik ibaratnya maju kena, mundur kena. Mana pilihan terbaik?
Menjaga Kepentingan Siapa?
Demo
besar-besaran yang terjadi sekarang mengingatkan kita akan peristiwa yang
pernah terjadi sebelum Pak Harto lengser. Tentang demo 1997 itu, mantan Perdana
Menteri Inggris Margaret Thatcher dalam buku Statecraft (2002) berkomentar, “Singkatnya
bantuan IMF lebih bersifat politis daripada operasi finansial. Khususnya IMF
mendesak kenaikan besar harga BBM dan bahan pangan pada saat taraf hidup
orang-orang kebanyakan di Indonesia sangat merosot akibat devaluasi.
Perubahan-perubahan yang diadakan sebagian tentunya memang mereka inginkan.
Namun, bila diberlakukan dalam keadaan seperti itu, sangat merusak, dan bukan
hanya mendestabilisasi pemerintahan, tetapi juga seluruh negara.“
Situasi
di masa Orde Baru yang dikenal otoriter itu tentu beda dengan yang terjadi di
masa reformasi. Tetapi, mengapa demo mahasiswa membeludak seperti sekarang? Tanggapan
sebagian di antara mereka: Mereka kehilangan rasa percaya kepada pemerintahan
dan sebagian pejabatnya.
Ada
kecurigaan, jangan-jangan subsidi yang dicabut itu nantinya akan mereka korupsi
lagi. Inilah reaksi yang umum terdapat di kalangan mahasiswa yang berpikiran
murni, yang kecewa atas berteletelenya penyelesaian masalah korupsi. Terlalu
banyak kepentingan yang mencampuri, termasuk partai-partai politik yang
sedianya menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah. Mereka malahan
terkesan menutup-nutupi. DPR, yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat,
dianggap memihak kepada yang dicurigai.
Bedah
Editorial Media Indonesia Rabu lalu membidik inti persoalan dengan tepat,
mengapa pembahasan RAPBN-P 2012 dilakukan tanpa public hearing, yang berarti mengabaikan aspirasi yang mungkin
dimiliki rakyat; padahal rakyat pemegang kedaulatan negara.
Sosialisasi dan Transparansi
Menurut
paham konservatif, kalangan elitelah yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk
memelihara ketertiban masyarakat dan mengintegrasikan berbagai bagian dalam
sistem masyarakat ke dalam kesatuan yang harmonis. Itu keinginan dan keyakinan
mereka. Namun, kalangan elite tidak hanya memiliki kekuasaan terbesar dan
sumber-sumber lain yang perlu untuk membangun kepemimpinan; mereka juga
diharapkan diberkahi dengan kebijaksanaan dan keluhuran moral.
Akan
tetapi, pemerintahan negara yang ditentukan elite semata, bagaimana pun
bagusnya, tentu tidak sesuai dengan asas demokrasi. Dalam alam demokrasi,
rakyat banyak juga mengandalkan peran DPR sebagai wakil dan pengayom
kepentingan mereka. Ternyata itu tidak mudah diwujudkan. Terutama karena
pendidikan dan tingkat sosial yang heterogen. Begitu rupa sehingga suara rakyat
hanya dianggap `angka' yang mudah
dibeli. Perpolitikan dijalankan oleh kalangan elite, termasuk anggota-anggota
DPR dari partai politik. Ada kalanya kepentingan pribadi/partai lebih mengemuka
dari kepentingan bersama.
Yang
mengusik pikiran, apakah mindset
bahwa elite yang paling berhak mengatur mengakibatkan terbangunnya sistem yang
tidak mengharuskan transparansi? Bertalian dengan penaikan harga BBM, misalnya,
dalam acara Bedah Editorial minggu ini ada keluhan dari penonton bahwa tidak
ada transparansi. Memang patut disayangkan bahwa sosialisasi untuk
mengantisipasinya bukan sejak jauh-jauh hari dilakukan. Mungkinkah mahasiswa
akan ribut berdemo seperti sekarang bila alasannya masuk akal? Namanya
`maha'-siswa. Mereka tentu tidak bodoh. Para pemangku jabatan hendaknya
retrospeksi.
Dalam
demo 1997 memang ada kecurigaan bahwa faktor politislah yang melengserkan Pak
Harto. Kegaduhan sekarang beda. Amat mungkin inilah akibat kurangnya
transparansi dan sosialisasi. Curhat tentang ancaman tidak ada manfaatnya.
Melihat ke depan, meskipun pemerintahan sekarang hanya tinggal 2 tahun lagi
berkuasa, mungkin krusial untuk membentuk satgas penerangan yang mumpuni, yang
peranannya tentu lebih penting daripada satgas pornografi. Bukan untuk menjaga
citra, melainkan untuk menjamin komunikasi terbuka dengan rakyat sebagai
penyandang kedaulatan negara.
Berkaitan
dengan itu, patut dikaji ulang peran birokrasi yang sedianya menjamin
organisasi pemerintahan berjalan tertib dan lancar. Menurut sosiolog Jerman Max
Weber, birokrasi terbentuk sebagai cara paling efisien untuk meng organisasi
banyak orang untuk tugas-tugas yang kompleks. Sayangnya, bila orang mendengar
`birokrasi', yang muncul adalah konsep tentang organisasi besar, tertutup,
dingin, dan tidak efisien. Ini terjadi di mana-mana. Tidak mengherankan SBY
berprakarsa membentuk banyak satgas karena reformasi birokrasi jauh dari
jangkauan. Ketidakefisienan menjaga ketertiban layanan timbal balik antara
pemerintah dan rakyat turut mengakibatkan sulitnya membangun kebersamaan demi
persatuan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar