BLSM dan Kenaikan Harga BBM
N. Mursidi, Peneliti
pada Al-Mu`Id Institute, Lasem, Jawa Tengah
SUMBER : SUARA KARYA, 28 Maret 2012
Pemberian dana
bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi pilihan
pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali
mengundang pertanyaan. Jangan-jangan kebijakan BLSM hanya kebijakan untuk
menggembirakan rakyat miskin yang bersifat sementara waktu karena kenaikan
harga BBM berdampak pada melambungnya harga kebutuhan pokok dan harga
barang-barang lainnya serta tarif angkutan dan sebagainya.
Pendek kata, "subsidi"
berupa BLSM itu dipandang hanya program untuk menjaga perasaan rakyat miskin
yang paling merasakan imbas kenaikan harga BBM. Sebagai kompensasi atas
kenaikan harga BBM per April nanti, pemerintah telah menyiapkan dana Rp 30
triliun - Rp 40 triliun yang akan diberikan pada rakyat miskin. Dana kompensasi
itu bisa dikatakan sebagai penebus dosa bagi setiap keluarga miskin, yang akan
mendapat dana Rp 150.000 selama sembilan bulan sejak harga BBM dinaikkan.
Bahkan, selain mengucurkan BLSM, pemerintah juga menyiapkan
program lain, seperti bantuan siswa miskin (BSM), beras bagi masyarakat miskin,
dan pemberian kupon transportasi bagi masyarakat miskin. Apakah kucuran BLSM
itu merupakan langkah bijak dan tepat?
Menurut pemerintah, harga minyak dunia terus melambung dan hingga
sekarang sudah menyentuh level 115 dolar AS per barel, sementara alokasi dana
subsidi BBM 2011 sempat mencapai Rp165,2 triliun. Ini membuat pemerintah tekor
sehingga pemerintah seperti dihadapkan pada "dilema" dalam mengatur APBN 2012. Anehnya, setiap kali
pemerintah berencana menaikkan harga BBM, pemicunya sama, harga minyak dunia
melonjak tinggi dan kas negara tekor. Atau, APBN itu terpaksa ditambal akibat
perhitungan yang meleset jauh dari kalkulasi. Pemerintah seperti tidak bisa
berkutik dan tak mencari alternatif lain.
Lagi-lagi, pemerintah "memilih
cara" yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya ketika harga minyak
dunia naik dan APBN dikatakan jebol, yaitu dengan menaikkan harga BBM
bersubsidi. Di balik kebijakan itu, pemerintah berdalih, jika BBM harus
disubsidi, bantuan itu tak tepat sasaran lantaran tidak dinikmati oleh rakyat
kecil, melainkan dinikmati orang kaya yang sebenarnya tidak layak untuk
menerima subsidi BBM. Intinya, pemerintah tidak akan menghadapi masalah "pelik" sehingga terpaksa menaikkan
harga BBM jika saja APBN tidak jebol.
Padahal pilihan dengan menaikkan harga BBM itu harus dibayar mahal.
Harga kebutuhan pokok akan ikut terkerek naik bahkan sebelum kenaikan harga
BBM, harga kebutuhan pokok pun lebih dulu naik.
Selain itu, harga mahal lain yang tidak bisa ditepis adalah
inflasi. Dalam hitungan kasar, kenaikan harga BBM yang akan dimulai April
mendatang diperkirakan akan memicu inflasi di atas 6 persen. Dengan prediksi
terjadinya inflasi sebesar itu, bisa dipastikan daya beli masyarakat turun dan
jumlah rakyat miskin kian bertambah.
Pada sisi lain, jika kebijakan menaikkan harga BBM itu atas alasan
kenaikan minyak dunia yang menyebabkan APBN jebol, artinya pemerintah kurang
jeli mengelola atau memanajemen APBN. Namun, yang menjadi sengsara justru
rakyat. Dengan kata lain, rakyat dijadikan tumbal atau lebih tepatnya korban.
Padahal, rakyat kecil telah mengamanahkan pengelolaan ABPN pada pemerintah.
Dari kebijakan itu, rakyat yang juga harus bersiap-siap menanggung
gejolak kenaikan harga kebutuhan pokok sebagai dampak kenaikan harga BBM di
tengah sorotan terhadap elite politik yang justru "berpesta pora" merampok anggaran negara. Seperti, dugaan
terjadinya korupsi di berbagai kementerian/lembaga, kasus Wisma Atlet,
perampokan anggaran oleh DPR, hingga penggelapan pajak yang menjadikan pegawai
sekelas Gayus Tambunan Cs bisa memiliki rekening gendut mencapai miliaran
rupiah.
Tidak berbeda jauh dengan tahun 2008, ketika pemerintah menaikkan
harga BBM, tahun ini pun memerintah menempuh cara yang sama. Kalau 2008,
pemerintah mengucurkan dana kompensasi kenaikan harga BBM berupa BLT, tahun ini
pemerintah mengucurkan BLSM. Kedua program sebenarnya tidak ada bedanya, hanya
sekadar mengganti nama. Namun masalahnya tetap sama, kucuran dana bantuan itu
penuh persoalan.
Setidaknya, ada beberapa catatan kritis terkait BLSM yang akan
dikucurkan pemerintah kelak sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.
Pertama, pemerintah tidak belajar banyak dari kesalahan program
BLT yang ternyata tidak meninggalkan bekas, kecuali hanya meredam kegelisahan
rakyat sementara. Tidak sedikit rakyat mengalami euforia dan membelanjakan BLT
untuk kebutuhan yang bersifat menyenangkan. Apalagi, dalam program BLT
ditengarai terjadi kebocoran alias tidak tepat sasaran. Ada keluarga miskin
yang seharusnya mendapat BLT, tetapi pada kenyataannya tidak mendapat.
Kedua, pemberian atau kucuran BLSM dapat dikatakan sebagai bantuan
yang tidak mendidik. Pasalnya, pemerintah memberikan uang tunai. Ini bisa
diibaratkan bahwa pemerintah memberi umpan, tetapi tidak memberikan kail. Jadi,
program BLSM tidak menjadikan rakyat miskin melek pada kondisi yang dihadapi,
tetapi menjadi senang sesaat untuk sekadar menyambung hidup. Jika itu kembali
terjadi, dana BLSM berarti hanya sekadar "obat cespleng", penawar sesaat. Setelah itu, rakyat menjadi
kembang kempis akibat harga kebutuhan sudah tinggi.
Jadi, kebijakan pemerintah dengan mengucurkan dana BLSM itu perlu
dikoreksi. Apalagi, Indonesia yang digembor-gemborkan sebagai negara kaya dan
makmur, ternyata rakyatnya justru hidup dalam jurang kemiskinan. Padahal,
terjadinya kemiskinan tak lain akibat "kesalahan
pengelola negara". Elite pengelola negara yang diberikan amanah
mengelola negara, ternyata tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Di sisi
lain, elite diduga malah berpesta pora merampok uang rakyat yang dikumpulkan
dari pajak dan sebagainya. Sungguh ironis! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar