Rezim Korupsi di Birokrasi
AdnanTopan Husodo, Wakil
Koordinator ICW
SUMBER : KOMPAS, 30 Maret 2012
Belum tuntas kasus korupsi pajak yang
menjerat Gayus Tambunan dan Bahasyim Assifie, muncul kasus baru yang melilit
Dhana Widyatmika, pegawai pajak yang diduga melakukan praktik pencucian uang
hasil korupsi pajak.
Penulis lantas teringat pada sebuah kasus yang sempat ditangani: pegawai administrasi pajak di salah satu kantor pajak di Jakarta terlibat permainan restitusi pajak. Ia menyiapkan berbagai macam transaksi bodong dari perusahaan yang sudah mati dan menyulapnya seakan-akan terjadi transaksi aktif untuk mengklaim kelebihan pajak yang dibayarkan kepada negara.
Aktor sekelas pegawai administrasi di kantor pajak telah membobol miliaran rupiah dari kantong negara! Bagaimana dengan aktor besar lain yang berkategori kakap? Mengapa korupsi di sektor pajak tak kunjung reda? Bukankah pemerintah telah mengimplementasikan reformasi birokrasi yang bertujuan mencegah korupsi di lembaga pemerintah?
Harus diakui, program pemberantasan korupsi yang bertumpu pada penegakan hukum masih berfokus pada sisi pengeluaran negara. Artinya, aparat penegak hukum baru sebatas menangani kasus korupsi semacam pengadaan barang dan jasa, pembangunan fisik, proyek infrastruktur, dan berbagai jenis kegiatan pengeluaran pemerintah lain yang rentan dengan korupsi. Akan tetapi, pada saat bersamaan korupsi di sisi penerimaan negara tak kalah besarnya.
Mengacu pada struktur pendapatan APBN kita, ada beberapa sektor yang jadi andalan pemerintah: penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional, penerimaan negara bukan pajak, penerimaan sektor sumber daya alam, laba BUMN, pendapatan dari badan yayasan umum, serta hibah. Dari semua sumber pendapatan itu, sektor penerimaan negara dari pajak dalam negeri merupakan andalan sebab berkontribusi signifikan. Pada APBN-P 2011, penerimaan pajak dalam negeri ditargetkan Rp 831,7 triliun.
Melihat angka di atas, barangkali akan banyak dari kita yang berpikir bahwa sektor pajak telah memberi sumbangsih besar kepada negara. Namun, jika kita membalik cara pikir, berapa nilai korupsi pajak setiap tahun jika penerimaan negara dari sektor pajak dalam negeri bisa mencapai angka ratusan triliun rupiah. Mengapa demikian? Karena diakui sendiri oleh pemerintah: banyak potensi pajak yang belum digarap, termasuk berbagai celah yang rentan terhadap praktik korupsi di sektor ini.
Sebagai contoh, jika perusahaan Asian Agri Group di bawah kendali Sukanto Tanoto saja diindikasikan memanipulasi pajak Rp 1,3 triliun, apakah tak ada kemungkinan perusahaan lain yang berpendapatan besar melakukan praktik sejenis? Kasus Gayus yang menyeret beberapa nama perusahaan milik Bakrie adalah indikasi serupa yang, sayangnya, tak diinvestigasi lebih lanjut oleh penegak hukum.
Pembajak Reformasi Birokrasi
Perang terhadap korupsi, termasuk di sektor pajak yang telah dicanangkan negara, masih berkutat pada pendekatan reformasi birokrasi yang keefektifannya justru dipertanyakan banyak pihak. Pendapatan yang membubung ”karena suntikan program remunerasi” tampaknya tak cukup mampu menahan praktik korupsi kronis yang menjangkiti aparatur negara kita.
Program reformasi birokrasi masih berputar-putar pada berbagai macam skenario perbaikan, terutama telaah terhadap aturan main, remunerasi, modernisasi infrastruktur yang menunjang perbaikan kinerja, susunan standar evaluasi kinerja, dan beberapa fokus lain yang cenderung teknokratis.
Bertopang pada pendekatan teknokratis dalam merancang reformasi birokrasi tak cukup. Namun, tidaklah tepat jika kita tutup mata terhadap aspek politik di birokrasi yang penyakit korupsinya parah secara struktural.
Artinya, rezim korupsi di birokrasi tidak hanya memiliki kekuatan besar untuk menggagalkan proyek reformasi birokrasi, tetapi juga sanggup memperdaya upaya reformasi birokrasi. Banyak program reformasi telah berjalan, tetapi nyaring tanpa isi alias pepesan kosong. Pembajakan terhadap agenda reformasi birokrasi tak bisa dielakkan karena struktur korupsi di lembaga pemerintah bukan prioritas.
Pemerintah hingga saat ini tak pernah punya agenda merombak struktur birokrasi lama, minimal pada jajaran elite birokrasi di level menengah atas, dengan struktur birokrasi baru yang lebih menjanjikan. Menyuntikkan agenda reformasi birokrasi pada lembaga birokrasi yang busuk sama saja dengan membuang garam di laut.
Seorang kolega penulis yang kebetulan sedang diberi mandat membenahi birokrasi di sebuah kementerian terhambat mengambil kebijakan, khususnya dalam merotasi beberapa pos strategis karena adanya pemblokan tertentu dari kelompok lama. Fakta ini sebenarnya menjelaskan bahwa reformasi birokrasi akan mengalami jalan buntu tatkala para aktor pengubahnya sama sekali tak disiapkan.
Merombak struktur selalu punya dampak politik yang kuat. Dibutuhkan langkah berani. Sayang, keberanian itulah yang tak ada pada pemimpin kita. Tak heran jika gelontoran ratusan triliun rupiah uang negara dari pajak rakyat untuk mengerek pendapatan pegawai negeri justru diganjar dengan berbagai praktik korupsi yang mereka lakukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar