Ulat Bulu, Tomcat, Lalu…
Toto Subandriyo, Alumni
IPB; Bergiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera)
SUMBER : KOMPAS, 30 Maret 2012
Warga Kota Surabaya dan sekitarnya beberapa
hari belakangan ini dibuat heboh dengan kehadiran serangga berukuran tidak
lebih dari 1 sentimeter berwarna oranye-hitam dalam jumlah tidak biasa.
Kehadiran serangga yang belakangan dikenal
dengan sebutan tomcat itu ternyata menyebabkan sebagian warga menderita iritasi
kulit (dermatitis). Gejala diawali dari rasa gatal pada kulit, tak lama kulit
menjadi memerah dan melepuh seperti terbakar.
Tomcat (Paederus
fuscipes) masuk dalam Ordo Orthoptera
dan Famili Staphylinidae. Dalam
bahasa Inggris sering disebut rove beetle
atau kumbang penjelajah atau pengelana karena selalu aktif berjalan-jalan.
Disebut tomcat karena bentuknya sepintas menyerupai pesawat tempur Tomcat F-14.
Ledakan (outbreak) populasi tomcat
pernah dilaporkan terjadi di Okinawa, Jepang, (1966); Iran (2001); Sri Lanka
(2002); Pulau Pinang, Malaysia, (2004, 2007); India Selatan (2007); dan Irak
(2008).
Para ahli menyebutkan, sekitar 20 jenis dari
600 jenis tomcat yang dikenal dikaitkan dengan penyakit dermatitis. Meski
tomcat tak menggigit atau menyengat, kulit yang kontak dengan tomcat akan
mengalami iritasi akibat racun pederin yang menyebabkan bengkak di hemolimf.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa racun pederin ini tidak diproduksi oleh
tomcat, tetapi merupakan endosimbion
antara tomcat betina dan beberapa spesies bakteri Pseudomonas.
Sebagaimana fenomena ulat bulu, berbagai
macam tanggapan masyarakat segera menyeruak ke wacana publik via jejaring
sosial. Sebagian menduga ini bentuk teror biologis (bioterorism) untuk mengacaukan ketahanan pangan Indonesia. Ada pula
yang berpendapat ini bagian dari skenario untuk memuluskan rencana inovasi
benih transgenik yang beberapa waktu lalu digagas pemerintah. Bahkan, ada yang
menduga ini upaya pengalihan isu politik yang sedang mendera pemerintah,
termasuk isu kenaikan harga BBM.
Monokultur
Ledakan tomcat menurut penulis merupakan fenomena
alam yang sangat mungkin terjadi karena berbagai faktor. Ledakan populasi tidak
hanya bisa terjadi pada tomcat, tetapi juga jenis organisme pengganggu tanaman
(OPT) lain, seperti wereng batang coklat, tikus, sundep, xanthomonas, belalang,
dan OPT utama tanaman pangan lain. Fenomena ledakan ulat bulu, tomcat, wereng
batang coklat, dan OPT lain tak terlepas dari anomali iklim dan cuaca ekstrem.
Tahun 2010, misalnya, hujan turun sepanjang tahun. Secara sosiokultural, jika
melihat jumlah air melimpah, yang ada dalam benak petani Indonesia adalah
bertanam padi, lain tidak. Akibatnya, petani selalu mengusahakan tanaman
monokultur, yaitu dominan padi.
Kondisi seperti ini menjadi sangat optimal
bagi berkembangnya OPT tanaman pangan karena siklus hidupnya tak pernah
terputus. Tanaman monokultur menurunkan keanekaragaman hayati lingkungan.
Dampaknya, hewan dan tanaman yang secara alami berperan sebagai pengendali
spesies tertentu musnah serta perkembangan hama dan penyakit tidak terkendali.
Eksplosi serangan OPT yang lebih dahsyat
daripada ulat bulu dan tomcat pernah terjadi di Pulau Jawa tahun 1986, yaitu
wereng batang coklat. Kala itu, jutaan hektar tanaman padi milik petani
mengalami hopper burn, gagal panen karena serangan wereng batang coklat. Pada
tahun itu, pemerintah membuat terobosan dengan mengeluarkan Inpres No 3/1986
tentang Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Komitmen politik pemerintah terhadap
pelaksanaan PHT saat itu sangat kuat. Tak kurang dari 57 jenis pestisida untuk
pertanaman padi dilarang karena punya spektrum luas. Pestisida jenis itu di
samping membunuh OPT sasaran, juga membunuh musuh alami. Komitmen politik
mengalami lesu darah seiring era globalisasi, reformasi, dan otonomi daerah.
Revitalisasi
Pada era globalisasi sekarang ini perdagangan
tidak menciptakan perkampungan global (global village), tetapi lebih mirip
penjarahan global (global pillage).
Benih transgenik dan pestisida merusak yang di negara asal perusahaan
transnasional dilarang, di negara berkembang seperti Indonesia masih dijual bebas
(Anthony Giddens, Runaway World, 1999: 11)
Agar fenomena ledakan ulat bulu dan tomcat
tak lagi terjadi, mau tak mau, suka tak suka, pemerintah dan seluruh masyarakat
harus melakukan revitalisasi PHT. Sistem PHT merupakan cara pengendalian yang
didasarkan pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan
agroekosistem yang bertanggung jawab.
Prinsip PHT, antara lain, pengendalian sesuai
kearifan lokal yang memungkinkan tetap berfungsinya berbagai agensia hayati
secara maksimal. Kultur budidaya dilakukan dengan pengelolaan ekosistem yang
mendukung, antara lain pemilihan varietas tahan, pergiliran varietas, sanitasi
lingkungan, pola tanam yang teratur, dan memanfaatkan tanaman perangkap.
Pengendalian sedapat mungkin dengan cara-cara
fisik dan biologis, jika terpaksa menggunakan pestisida harus dilakukan secara
bijaksana dari jenis insect growth regulator (IGR).
Bukan hanya itu, pola hidup antroposentrisme
yang telah merasuk jauh pada diri masyarakat perlu dicerahkan. Menurut
Aristoteles, paham antroposentrisme memandang bahwa tumbuh-tumbuhan di planet
bumi disediakan untuk binatang, sedangkan binatang disediakan untuk keperluan
manusia. Akibatnya, manusia berlomba-lomba menaklukkan dan mendominasi alam.
Mereka menempatkan alam sebagai sumber eksploitasi,
Atas nama kesulitan ekonomi, atas nama
kemiskinan, dan atas nama pembangunan, masyarakat menjadi sangat permisif
terhadap tindak perusakan lingkungan. Demi uang ratusan ribu dan agar dapur
keluarga tetap mengepul, perburuan predator hama dilakukan secara masif. Ular
sawah, burung pemangsa ulat dan pemangsa tomcat, burung hantu, katak, kroto
semut rangrang, serta predator lain diburu.
Fritjof Capra (2001) mengingatkan, dunia ini
bukanlah kumpulan obyek-obyek yang terpisah, tetapi satu kesatuan jaringan
kehidupan (web of life) yang saling
berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Jika satu
spesies yang ada, karena satu atau beberapa faktor kemudian tercerabut dari
jejaring ini, akan memicu terjadinya kondisi katastropis. Saat ini yang terjadi
ledakan populasi ulat bulu, tomcat, dan wereng batang coklat, besok tak
tertutup kemungkinan terjadi ledakan populasi OPT lain. Maka, waspadalah ! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar