"Koncatan" Wahyu (?)
L
Wilardjo, Guru Besar Fisika UK Satya Wacana
SUMBER : KOMPAS, 28 Maret 2012
Hans J Morgenthau adalah teoretikus Amerika
yang hebat di bidang filsafat politik dan relasi politik internasional.
Cendekiawan Jerman ini lari ke Amerika pada 1935 ketika Adolf Hitler berkuasa.
Di negeri angkatnya itu, ia menjadi guru besar yang sangat disegani di
Universitas Chicago.
Bagi Morgenthau, kekuasaan nasional adalah
sesuatu yang dapat dipahami dengan sekilas pandang saja. Dalam bukunya Politics
Among Nations (Politik di antara Bangsa-bangsa), Morgenthau mengacu ke
pertemuan yang terkenal antara Napoleon dan Metternich pada akhir Juni 1813.
Pertemuan itu disebut ”wawansabda Dresden”.
Saat itu, Napoleon bukan hanya jenderal yang
cemerlang. Ia sudah menjadi raja Perancis yang malang-melintang di Eropa selama
lebih dari satu dasawarsa. Napoleon Bonaparte sudah bertahun-tahun mengenal
Pangeran von Metternich, tetapi baru
sekarang, menyusul kekalahannya yang memalukan di Rusia, raja-diraja Perancis
yang baru berusia 43 tahun itu bertatap muka dengan Perdana Menteri Austria
yang tiga tahun lebih muda.
Diplomasi itu berlangsung sembilan jam.
Napoleon berusaha membujuk Metternich agar jangan bergabung dengan koalisi yang
berniat menghancurkan posisi Perancis dalam politik kekuasaan di Eropa. Sri
Baginda Raja Napoleon menekan Metternich dengan segala ancaman dan taktik
psikologis-emosional.
”Perundingan kami,” tulis Metternich
kemudian, ”terdiri atas rangkaian yang
sangat aneh dari beraneka pokok pembicaraan. Kadang-kadang dengan nuansa
keramahan yang mesra, terkadang dengan kemarahan yang sangat sengit.”
Di satu takat pembicaraan, Metternich
menghina Angkatan Darat Perancis yang kelelahan dan kehabisan semangat.
Seenaknya saja ia berkata, ”Serdadu-serdadu
Perancis itu tak lebih dari gerombolan anak-anak.” Kemarahan Napoleon
meledak. ”Anda bukan serdadu!” teriaknya.
Raja Perancis itu melemparkan topinya ke
pojok ruangan, setengahnya sebagai bahasa tubuh teatrikal, setengahnya lagi
karena benar-benar geram. Ia menunggu, berharap Metternich mengambilkan topi
itu. Pangeran Austria itu tetap bergeming. Topi itu tergeletak di ubin lantai
Istana Marcolini, bagai lambang kekuasaan yang sirna.
Napoleon akhirnya memungut sendiri topinya. ”Baginda,” kata Metternich, ”Anda seorang pecundang.”
Keesokan harinya Metternich menempatkan
Austria di aliansi negara-negara yang melawan Perancis. Kurang dari setahun
kemudian, Napoleon dibuang ke Pulau Elba.
Metafora Ken Arok
Konfrontasi Raja Napoleon Bonaparte versus
Pangeran Klemens Wenzel Nepomuk Lothar von Metternich itu
sebenarnya bisa dipakai Acep Iwan Saidi untuk menyambung kisah Ken Arok dalam
artikelnya (”Surat untuk Presiden”, Kompas 23 Februari 2012.) Di artikel
bergaya prosa liris itu Acep tidak melanjutkan kisah Ken Arok dengan
kejatuhannya di tangan Anusapati. Acep beralih dari metafora ke uraian wantah
(denotatif).
Dalam kekecewaannya, dalam mata batinnya Acep
melihat SBY tidak lagi sebagai jelmaan Trimurti dengan ”sorot mata Sudra, sikap Satria, dan esensi Brahmana.” Karena ”terjebak dalam kepungan para bandit” dan
”dikhianati”, SBY ”menjadi sangat lemah” dan menderita. Dengan
kata lain, Acep melihat SBY sebagai orang yang merana.
Lazimnya orang akan merasa dihina kalau
dikatakan merana (miserable) atau
sangat menyedihkan (pathetic). Kalau
ia ”adem ayem” saja, tidak marah dan
tidak memakai hak jawabnya, barangkali karena ia berjiwa besar (magnanimous). Baginya, lebih utama untuk
”menang tanpa ngasorake” (menang
tanpa mengalahkan). Kalau sikap seperti itu terlalu ideal dan hanya ada pada
para Nabi, mungkin kelegawaan seorang pemimpin menerima hujatan itu karena ia
demokrat sejati. Ia menghargai hak orang untuk berpendapat. Tokoh masyarakat
memang harus bersedia disorot masyarakat. Ibarat pohon, makin tinggi puncaknya,
makin keras terpaan anginnya.
Citra SBY yang dulu, ”Si Lembek yang teraniaya”, terhapus oleh kebulatan tekadnya untuk
memimpin pemberantasan korupsi. Kampanye gencar dan iklan politik besar-besaran
dalam Pilpres 2009 itulah, saya kira, yang menyebabkan mengapa di mata batin
Acep ia dulu tampak seperti Ken Arok.
Ia kemudian beberapa kali tampil di depan
publik untuk memberikan statement of fact
yang diterima publik sebagai keluhan atau pencitraan diri sebagai Si Teraniaya.
Faktanya memang gajinya kecil (kalau dibandingkan dengan BG Lee). Faktanya
memang ia terancam akan ditembak teroris. Namun, setidak-tidaknya sebagian
publik menganggap hal-hal seperti itu ”saru”
untuk diungkapkan di depan rakyat. Mudah-mudahan tidak ada yang merasa perlu
membuka kamus psikologi mencari lema ”masokisme”.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar