The Presidential Look Sebuah Fenomena
Andreas Ambesa, Anggota Task Force Komunikasi Politik Partai
NasDem
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 29 Maret 2012
SETELAH
amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden
(pilpres), yang semula dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
disepakati untuk dilakukan secara langsung oleh rakyat. Pilpres 2004 yang
merupakan pelaksanaan amendemen UUD 1945 tersebut merupakan pesta demokrasi
pertama di Indonesia dalam ajang pemilihan langsung presiden dan wakil
presiden.
Pilpres
2004 memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)Jusuf Kalla sebagai presiden dan
wakil presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat. SBY terpilih
kembali sebagai presiden untuk masa jabatan kedua pada Pilpres 2009 berpasangan
dengan Wapres Boediono dan akan berakhir pada 2014 mendatang.
Terpilihnya
SBY sebagai presiden RI untuk masa jabatan kedua menurut pengamat politik,
riset, dan rakyat yang memilihnya secara langsung karena dia memiliki presidential look jika dibandingkan
dengan calon presiden (capres) lainnya.
Faktor-faktor
presidential look yang dimiliki SBY
ialah: tinggi, cakap, pintar, tenang, dan sopan. Namun pada akhirnya, sebagian
besar pemilihnya sekarang kecewa karena kepemimpinan dia ternyata jauh dari
harapan. SBY lebih mementingkan pencitraan diri, keluarga, dan kelompoknya
daripada bertindak layaknya seorang presiden yang tegas dan memperjuangkan hak-hak
rakyat.
Mantan
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Jenderal Purnawirawan
Wiranto pada Pilpres 2009, walaupun tingkat kecerdasan, kewibawaan, dan
pemikirannya melebihi capres lainnya, gagal menjadi presiden ketujuh RI karena
dia bertubuh kecil, berkumis, dan tidak presidential
look.
Presidential look ialah seorang yang memiliki sosok
presiden yang ideal baik capres pria maupun capres perempuan. Para pengamat
politik berpendapat sebagian besar voter (pemilih) adalah perempuan, bukan
laki-laki. Pemilih perempuan lebih menyukai capres laki-laki yang tampan.
Sebaliknya, pemilih laki-laki melihat kecantikan seorang kandidat perempuan
lebih tepat untuk bidang lainnya. Menjadi presiden bukanlah pilihan mereka.
Pakar
psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk membenarkan asumsi
tersebut. Dia menyebutkan kisaran di atas 50% pemilih perempuan pada Pilpres
2004 dan Pilpres 2009 memilih SBY. Angka itu masih melihat capres dari sisi
presidential look. Untuk angka rasional, dia menilai sekitar 30%, tapi perlu
survei yang lebih pasti pada saat ini.
Data
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pilpres 2004 dan 2009 menunjukkan peningkatan
jumlah pemilih. Pada 2004 pemilih yang terdaftar sebanyak sekitar 145 juta
jiwa, meningkat menjadi sekitar 176 juta lebih pemilih. Sekitar 51% adalah
pemilih perempuan.
Lalu,
siapakah calon presiden RI pada Pilpres 2014? Menurut Direktur Eksekutif
Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani, hasil survei LSI soal calon
presiden ideal pada Pilpres 2014 masih memunculkan nama-nama politisi tua yang
sudah berkiprah sejak era reformasi bergulir.
Hasil
survei LSI yang dipublikasikan Februari lalu di Jakarta menemukan beberapa dari
10 nama calon presiden paling populer. Mereka antara lain Megawati
Soekarnoputri dipilih 22,2% responden, Prabowo Subianto (16,8%), Aburizal
Bakrie (10,9%), dan Wiranto (10,6%). Doktor ilmu politik tersebut mengakui,
selama lima tahun terakhir, masih sulit menemukan calon presiden yang ideal
sesuai dengan harapan masyarakat. Kultur politik di Indonesia, menurut dia,
pemimpin yang menghadapi suatu persoalan tetap menduduki jabatannya hingga
selesai.
Mujani
juga menyatakan kekecewaannya karena sampai saat ini belum muncul nama-nama
politisi muda sebagai calon presiden alternatif. Jika politisi muda tidak
berbuat sesuatu dan popularitas mereka tidak naik hingga akhir 2012, Mujani
memperkirakan politisi tua yang tetap lebih poputisi muda sebagai calon
presiden alternatif. Jika politisi muda tidak berbuat sesuatu dan popularitas
mereka ti dak naik hingga akhir 2012, Mujani memper kirakan poitisi tua yang
tetap lebih populer hingga 2014.
Bagi
kaum muda Indonesia, mereka mempunyai kriteria sendiri tentang capres mendatang
yang cocok dengan presidential look. Menurut mereka, presidential look memiliki
bobot minimal sebagai berikut: karisma, keberanian, kemampuan memengaruhi orang
lain, mampu membuat strategi, moral yang tinggi, mampu menjadi mediator, mampu
menjadi motivator, dan memiliki rasa humor.
Pada
Pemilu 2014 yang tidak lama lagi, sulit bagi kita untuk mencari pemimpin muda
yang presidential look di luar hasil
survei LSI Februari lalu. Akankah wajah-wajah baru dan wajah-wajah muda muncul
dalam dua tahun ini? Jawabannya, mungkin masing-masing parpol sebaiknya sejak
saat ini sudah melakukan kaderisasi pemimpin untuk jangka 10 tahun ke depan
sehingga kita tidak krisis kepemimpinan.
Krisis
kepemimpinan hampir terjadi di Amerika Serikat ketika Ronald Reagan, presiden
ke-40 AS (1981-1989), digantikan George HW Bush (Bush Senior) karena masa
jabatan keduanya berakhir.
Rakyat
AS menghendaki Reagan terpilih kembali untuk ketiga kalinya karena menganggap
Reagan sosok presidential look yang
mereka idamkan. Ia ganteng, berani, tegas, visioner, inovatif, humoris, penuh
program ke depan, punya sikap kepemimpinan mumpuni, sekaligus mampu bersikap
pragmatis dalam menanggapi keinginan mayoritas publik. Dengan kata lain, rakyat
AS menginginkan presiden yang mampu memimpin sekaligus mendengarkan.
Indonesia
hampir memiliki sosok presidential look
idaman ketika Try Sutrisno terpilih sebagai wapres keenam RI (1993-1998). Pasar
menghendaki dia sebagai the next
president yang menggantikan Presiden Soeharto. Try Sutrisno menurut pasar
memiliki wajah tampan, bersih seperti Elvis Presley, negarawan yang jujur,
bersahaja, loyal, berdedikasi tinggi, dan berpendirian teguh. Sebagian besar
penggemarnya adalah ibu-ibu dan perempuan dewasa.
Tidak
mengherankan jika kemunculan Pak Try di publik dan siaran televisi selalu
dinanti-nantikan mereka. Namun, Pak Harto ternyata lebih memilih BJ Habibie
sebagai wakil presiden berikutnya yang kemudian menggantikan dia sebagai
presiden ketika mengundurkan diri 21 Mei 1998.
Thomas
E Cronin dan Michael A Genovese dalam The
Paradoxes of the American Presidency (1998) mengatakan setidaknya diperlukan
presidential look yang punya bakat
lahir dalam improvisasi. Hal itu terutama untuk menghadapi berbagai hal yang
bersifat kontradiktif. Namun diingatkan, semakin seorang presiden coba
menyenangkan setiap orang dan hanya memberikan respons karena desakan sesaat,
ia justru akan tersingkir.
Siapa
presiden RI berikutnya yang akan menggantikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono? Apakah dia seorang presidential look? Kita tunggu. And believe it or not, people still aim for
presidential look. Presidential look
adalah sebuah fenomena. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar