Kapitalisme Global Versus Sistem Ekonomi Cina
Irwan Wisanggeni, Dosen
Fakultas Ekonomi dan Alumnus Universitas Trisakti
SUMBER : KORAN TEMPO, 28 Maret 2012
Kapitalisme lahir dari paham yang menganggap
kemakmuran masyarakat hanya timbul jika kegiatan produksi diserahkan kepada
individu. Tokoh di balik ini adalah Adam Smith, John Maynard Keynes, Alfred
Marshal, Milton Friedman, sampai Gunnar Myrdal. Ide konsep kapitalisme terus
berkembang dan mencari bentuk sampai saat ini.
Menurut ideologi ini, untuk mendapatkan kemakmuran, membebaskan masyarakat memiliki faktor produksi, serta mengelola dan memanfaatkannya, untuk kepentingan secara rasional dan pertimbangan ekonomis semata. Dengan demikian, masyarakat akan menikmati kemajuan kapitalisme melalui kegiatan produksi yang dihasilkan, konsumsi, dan kesempatan kerja yang ditimbulkannya. Otomatis pendapatan masyarakat akan meningkat, tabungan bertambah, dan akhirnya investasi pun bertambah. Kondisi ini menimbulkan multiplier effect yang dapat memakmurkan masyarakat. Salah satu penulis Barat mengungkapkan, dengan hancurnya Uni Soviet bersama ideologi Leninisme komunisme, ideologi yang tinggal hanyalah kapitalisme.
Namun apakah benar dalam kenyataannya? Kita akan mencoba menelisik persoalan kapitalisme global ini lebih jauh. Kita tentunya sepakat Eropa dan Amerika Serikat sedang mengalami krisis ekonomi sejak 2007, bahkan baru-baru ini di Times Square New York (Wall Street), sekelompok pengangguran berjumlah 14 juta orang berdemonstrasi terkait dengan kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Mereka mengusung poster bertulisan "Them belly full, we are hungry", yang kalau diterjemahkan artinya kira-kira "perut mereka penuh, perut kami keroncongan".
Kekesalan terhadap kapitalisme global pun menjalar hingga ke benua Asia, di Hong Kong, karena ekonomi negara tersebut berkiblat ke negara kapitalisme Barat. Di sana para aktivis pun melakukan demonstrasi. Aksi massa ini dilakukan untuk menunjukkan Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia menjadi sarang segelintir elite untuk memperkaya diri. Gelombang demo ketidakpuasan juga terjadi di Sydney, Australia, dan Tokyo. Mereka memprotes pebisnis dan politikus yang dikatakan eksis hanya untuk melayani segelintir elite. Pada Januari 2102, di Brasil, ketika digelar Forum Sosial Dunia, persisnya di Kota Porto Alegre di selatan negara tersebut, ribuan demonstran berkumpul memprotes kapitalisme. Kalangan ini mengatakan para kapitalis telah memperburuk sendi-sendi kehidupan dan hanya menguntungkan para kapitalis atau pemodal yang berbisnis tanpa memperhatikan tanggung jawab sosial dan komunitas.
Berbanding lurus dengan kekecewaan masyarakat dunia terhadap peran kapitalis global, peraih Nobel bidang ekonomi, Joseph E. Stiglitz dan Paul R. Krugman, dalam tesisnya yang berjudul The Return Economic Depression (2010), menjabarkan bahwa keruntuhan Lehman Brother (September 2008) menandai berakhirnya kapitalisme pasar bebas.
Memang kapitalisme pernah dijadikan jalan untuk memakmurkan, tapi kenyataannya kapitalisme belum berhasil mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan pengangguran. Sindiran bahwa kemakmuran dunia ini hanya dikuasai oleh segelintir atau 1 persen penduduk dan sebanyak 99 persen lagi menjadi korban, ini pun kerap kali disuarakan. Lalu bagaimana dengan sistem ekonomi Cina sebagai raksasa tandingan dari sistem ekonomi global.
Ekonomi Perencanaan
Cina sejak 1979 melakukan reformasi ekonomi di bawah komando Den Xiaoping. Perubahan mendasar yang diletakkan Den Xiaoping adalah dari ekonomi perencanaan (planned economy) menjadi ekonomi pasar. Sejak reformasi ekonomi, pertumbuhan ekonomi Cina 8-10 persen setahun dan ini secara terus-menerus hampir 35 tahun. Artinya, produk domestik bruto Cina telah berlipat ganda setiap dasawarsa.
Menurut perkiraan Profesor Chow, guru besar ilmu ekonomi Universitas Princeton, Amerika Serikat, kelak pada 2019, PDB Cina akan melampaui PDB Amerika. Sayangnya, jumlah penduduk Cina sangat besar, hampir 1,3 miliar atau hampir empat kali lipat penduduk Amerika, yang hanya sekitar 330 juta jiwa, sehingga tingkat hidup penduduk Cina untuk waktu lama masih akan berada jauh di bawah tingkat hidup penduduk Amerika, Uni Eropa, dan Jepang.
Tapi kemampuan dan kekuatan ekonomi suatu negara diukur dari besarnya PDB total, yang meliputi pula jumlah ekspor dan impor, jumlah investasi, serta jumlah bantuan luar negeri. Kebesaran ekonomi Cina tampak dari ekspor yang sedemikian besar melampaui impornya. Maka tidak mengherankan jika barang Cina membanjiri dunia, termasuk Indonesia. Cadangan devisa Cina terbesar di dunia, lebih-kurang US$ 3,3 triliun.
Sebagian besar cadangan devisa Cina ini diinvestasikan dalam surat utang (treasury notes), yang diterbitkan pemerintah Amerika untuk menutupi defisit anggarannya. Keberhasilan Cina dalam membangun perekonomian, menurut penulis, didukung oleh sistem birokrasi yang solid serta berpihak pada kepentingan publik, dan masyarakat Cina dibantu pemerintahnya untuk menelurkan gagasan-gagasan demi memajukan taraf hidup mereka. Ini tampak dari turunnya angka kemiskinan di Cina dari 60 persen (1978) menjadi 7 persen (2007).
Melihat kondisi ini, sejatinya Indonesia perlu belajar dari cara Cina memberdayakan rakyatnya secara ekonomi. Di Cina, masyarakat didorong untuk berkarya dan menciptakan sesuatu, sehingga Cina maju dalam industri rumahan. Pemerintah di sana memberi bantuan berupa alat kerja dan juga kredit lunak ke sektor industri rumahan serta kemudahan-kemudahan lainnya. Tapi yang terjadi di Indonesia berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Cina.
Gerai-gerai waralaba milik negara kapitalis membanjir di Indonesia. Tak pelak pedagang kaki lima melihatnya dengan rasa getir. Rumah makan tradisional tak begitu membangkitkan selera konsumen lokal karena hadirnya makanan cepat saji dari Amerika dan Jepang. Coba lihat saja produk lokal mobil Esemka hasil buah tangan anak bangsa, yang disambut dengan tidak bergairah oleh konsumen, karena genggaman raksasa perusahaan mobil Jepang dan Eropa yang menguasai pasar mobil lokal.
Di Indonesia, kapitalis lokal tak sulit mencari pinjaman uang untuk modal usaha. Data pada 2008 menjelaskan betapa bank-bank nasional lebih suka memberi kredit kepada 331 perusahaan raksasa daripada ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 44 juta. Rendahnya akses UMKM mencapai kredit di lembaga keuangan berakibat langsung pada minimnya daya saing industri dalam negeri. Itulah sebabnya, meski pertumbuhan ekonomi meningkat hingga 6,5 persen dan pendapatan per kapita mencapai Rp 30,8 juta pada 2011, pertumbuhan itu tak menyentuh rakyat kebanyakan, hanya segelintir orang yang menikmati pertumbuhan ekonomi.
Argumen ini bukan berangkat dari ruang kosong. Lihatlah 40 orang terkaya Indonesia yang mengakumulasi kekayaan US$ 85,1 miliar. Nilai kekayaan mereka 11 persen dari PDB 2011, yang totalnya US$ 752 miliar. Total kekayaan dan aset mereka terus meningkat, karena mereka menguasai bidang pertambangan, eceran, serta perkebunan. Itulah hakikat yang terjadi atas perekonomian Indonesia yang bersandar pada sistem ekonomi bebas (kapitalisme global).
Namun pendapat tentang kemungkinan sistem kapitalisme global akan punah mengemuka di Forum Ekonomi di Davos, Swiss, pada Januari 2012. Sebagai pengganti sistem ini ada kemungkinan sistem mekanisme pasar dengan sentuhan tangan pemerintah yang kuat seperti yang dijalankan Cina. Dengan kata lain, korporasi dijalankan seperti yang biasa terjadi di Barat, tapi peran pemerintah yang kuat sangat mendominasi.
Sebenarnya cita-cita luhur pendiri bangsa Indonesia hanyalah membangun sistem ekonomi yang pro-rakyat, yang berkeadilan humanistik. Ini tampak dari pasal-pasal yang terkait dengan ekonomi dalam Undang-Undang Dasar 1945, walau sampai saat ini kenyataannya masih jauh panggang dari api. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar