Supersemar
dan Politik Machiavellian
Endang Suryadinata, ALUMNUS
ERASMUS UNIVERSITEIT ROTTERDAM
SUMBER : SINAR HARAPAN, 10 Maret 2012
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)
adalah surat sangat sakti penuh kontroversi, sekaligus berimplikasi luas.
Bahkan, pada peringatan Supersemar tahun ini,
publik tetap terwarisi kontroversi dan memikul beban sejarah atas terbitnya
surat itu, baik surat versi asli yang hingga kini tak jelas rimbanya, maupun
terbitnya berbagai versi aspalnya.
Soal saktinya Supersemar, publik sudah tahu,
karena dengan surat itu Soeharto merasa mendapat mandat atau transfer kekuasaan
dari Bung Karno. Setelah menerima surat itu, Soeharto bertindak layaknya
Presiden.
Padahal, presiden sah Bung Karno saat
pelantikan Kabinet Ampera, pada 28 Juli 1966 mengatakan: ”Pers asing mengatakan
bahwa perintah ini adalah a transfer of
authority to General Suharto. Tidak. Its
not a transfer of authority to General Suharto. I repeat again, its not a
transfer of authority.”
Bung Karno boleh berkata seperti itu, tetapi
kekuasaannya diam-diam telah dirampas Soeharto. Bahkan, agar Supersemar dinilai
legitimate, Soeharto bisa bersekongkol dengan MPRS lewat Tap MPRS IX/MPRS/ 1966
sehingga membuat Bung Karno si pemberi mandat tidak bisa mencabut surat itu.
Lalu pada 12 Maret 1967, Soeharto dilantik
menjadi penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden pada
27 Maret 1968 oleh MPRS, kemudian dipilih kembali oleh MPR hingga 1998.
Kudeta
Tidak heran jika Supersemar dan segala
sesuatu yang dilakukan Soeharto terkait surat itu disebut kudeta merangkak. Ini
karena pemegang kekuasaan sah Presiden Soekarno perlahan tapi pasti bisa
disingkirkan, lalu dikarantina dalam keadaan sakit, hingga akhirnya Bung Karno
wafat dalam kesepian pada 20 Juni 1970.
Terkait Supersemar, sejumlah
sejarawan atau pakar hukum tata negara sepakat menyebut apa yang dilakukan
Jenderal Soeharto dan pihak di luarnya seperti MPRS sebagai kudeta atau
peralihan kekuasaan yang tidak konstitusional.
Teman saya asal Talun, Kabupaten Blitar,
mendiang Prof Dr Suwoto Mulyosudarmo, juga sudah membahas hal ini secara lebih
detail dalam disertasinya di Unair pada 1990, yang berjudul ”Peralihan
Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara”.
Cara Pak Harto mengemas kudeta memang amat
lihai. Seolah tercipta kesan tidak ada pertumpahan darah terhadap Bung Karno,
tetapi para pendukung Bung Karno terlebih mereka yang diberi cap PKI, adalah
pihak yang darahnya tertumpah.
Ada yang menyebut angkanya jutaan. Jangan
lupa sehari setelah menerima Supersemar, Soeharto membubarkan PKI. Sebagian
lain yang masih hidup hingga kini terpaksa jadi “eksil” di Eropa dan bagian
lain dunia. Semua itu merupakan buntut dari Supersemar.
Bahkan, semasa berkuasa (1966–1998), Soeharto
dengan amat cerdik bisa mendikte publik, termasuk para sejarawan, dengan
menciptakan kesan betapa misteriusnya keberadaan naskah Supersemar.
Ada yang bilang naskah asli di tangan M
Jusuf, tetapi mantan Pangab yang wafat pada 2004 itu mengatakan naskah asli ada
di tangan Soeharto sendiri. Berbagai versi pun diciptakan, sementara naskah
asalinya hingga kini tetap tidak diketahui.
Praksis Politik Machiavellian
Kelihaian Soeharto dalam mengemas kudetanya
lewat Supersemar dan segala tindakannya sesudah memegang dan meraih kekuasaan,
mengingatkan penulis pada pemikiran dasar Niccolo Machiavelli tentang politik.
Seperti diketahui, filsuf berdarah Yahudi
bernama Italia yang hidup pada 1469–1527 itu sangat diagungkan para diktator
dan politikus yang doyan menghalalkan berbagai cara, seperti tampak dari karya
abadinya, Il Principe.
Sebenarnya, lewat karya-karyanya, Machiavelli
layak disebut sebagai peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang
mendorong terjadinya proses sekulerisasi (desakralisasi) politik.
Namun publik, termasuk para diktator atau
politikus banal negeri ini, lebih menyukai tafsir Machiavelli sebagai penganjur
politik menghalalkan semua cara. Dalam upaya meraih dan mempertahankan
kekuasaan, segala cara bisa ditempuh, mulai dengan berbohong hingga membunuh.
Kalau kita menyimak 32 tahun kekuasaan Pak
Harto, praksis (teori dan praktik) politik yang machiavellian dengan
mengabaikan etika atau moral memang amat menonjol.
Semua hal terpusat pada Soeharto dan
bagaimana kekuasaannya bisa dilanggengkan di tangannya. Memang ada pemilu atau
parpol, tetapi semua dibuat skenarionya demi menunjukkan pada publik dunia
seolah dia demokrat. Padahal, nyatanya tak ada demokrasi.
Media pun dibungkam, kalau macam-macam,
diberedel. Penyingkiran lawan politik seperti pembuangan ke Buru, penembakan
misterius, dan penculikan para mahasiswa, sungguh mengabaikan etika. Martabat
manusia bisa dikorbankan demi kekuasaan. Tidak heran korupsi dan segala bentuk
KKN lain mulai tumbuh subur di era Pak Harto.
Harus kita akui, praksis politik di Tanah Air
hingga kini masih bercorak machiavellian, karena anak didik Orde Baru atau
mereka yang mengecap nilai-nilai Orde Baru masih “berjibun” di jajaran
birokrasi yang tak tersentuh reformasi, kendati wacana reformasi birokrasi
kerap didengungkan. Orientasi politik sebagian besar kalangan juga masih pada
jabatan alias kekuasaan.
Simak kasus Wisma Atlet yang menyeret para
politikus muda kita. Ini adalah contoh bahwa corak machiavellian itu tidak
sirna begitu saja setelah Soeharto tidak ada. Kesejahteraan atau kekayaan untuk
diri sendiri lebih diutamakan. Kesejahteraan hanya dirasakan segelintir orang
yang beruntung memegang kekuasaan.
Aparat hukum pun suka memanipulasi hukum.
Keadilan merupakan barang langka. Rakyat yang terkena busung lapar atau gizi buruk
tak dipikirkan. Kemiskinan malah dijadikan jualan politik, termasuk data jumlah
kaum miskin yang bisa dimanipulasi.
Ke depan kita tidak bisa mengharapkan banyak
perubahan signifikan, jika para politikus dan pemegang amanat rakyat masih
melakukan praksis politik machiavellian, yang kini tersebar di segenap lini
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar