Sabtu, 10 Maret 2012

Supersemar dan Politik Machiavellian


Supersemar dan Politik Machiavellian
Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT ROTTERDAM
SUMBER : SINAR HARAPAN, 10 Maret 2012



Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah surat sangat sakti penuh kontroversi, sekaligus berimplikasi luas.

Bahkan, pada peringatan Supersemar tahun ini, publik tetap terwarisi kontroversi dan memikul beban sejarah atas terbitnya surat itu, baik surat versi asli yang hingga kini tak jelas rimbanya, maupun terbitnya berbagai versi aspalnya.
Soal saktinya Supersemar, publik sudah tahu, karena dengan surat itu Soeharto merasa mendapat mandat atau transfer kekuasaan dari Bung Karno. Setelah menerima surat itu, Soeharto bertindak layaknya Presiden.

Padahal, presiden sah Bung Karno saat pelantikan Kabinet Ampera, pada 28 Juli 1966 mengatakan: ”Pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Suharto. Tidak. Its not a transfer of authority to General Suharto. I repeat again, its not a transfer of authority.”

Bung Karno boleh berkata seperti itu, tetapi kekuasaannya diam-diam telah dirampas Soeharto. Bahkan, agar Supersemar dinilai legitimate, Soeharto bisa bersekongkol dengan MPRS lewat Tap MPRS IX/MPRS/ 1966 sehingga membuat Bung Karno si pemberi mandat tidak bisa mencabut surat itu.

Lalu pada 12 Maret 1967, Soeharto dilantik menjadi penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden pada 27 Maret 1968 oleh MPRS, kemudian dipilih kembali oleh MPR hingga 1998.

Kudeta

Tidak heran jika Supersemar dan segala sesuatu yang dilakukan Soeharto terkait surat itu disebut kudeta merangkak. Ini karena pemegang kekuasaan sah Presiden Soekarno perlahan tapi pasti bisa disingkirkan, lalu dikarantina dalam keadaan sakit, hingga akhirnya Bung Karno wafat dalam kesepian pada 20 Juni 1970.

Terkait Supersemar, sejumlah sejarawan atau pakar hukum tata negara sepakat menyebut apa yang dilakukan Jenderal Soeharto dan pihak di luarnya seperti MPRS sebagai kudeta atau peralihan kekuasaan yang tidak konstitusional.

Teman saya asal Talun, Kabupaten Blitar, mendiang Prof Dr Suwoto Mulyosudarmo, juga sudah membahas hal ini secara lebih detail dalam disertasinya di Unair pada 1990, yang berjudul ”Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara”.

Cara Pak Harto mengemas kudeta memang amat lihai. Seolah tercipta kesan tidak ada pertumpahan darah terhadap Bung Karno, tetapi para pendukung Bung Karno terlebih mereka yang diberi cap PKI, adalah pihak yang darahnya tertumpah.

Ada yang menyebut angkanya jutaan. Jangan lupa sehari setelah menerima Supersemar, Soeharto membubarkan PKI. Sebagian lain yang masih hidup hingga kini terpaksa jadi “eksil” di Eropa dan bagian lain dunia. Semua itu merupakan buntut dari Supersemar.

Bahkan, semasa berkuasa (1966–1998), Soeharto dengan amat cerdik bisa mendikte publik, termasuk para sejarawan, dengan menciptakan kesan betapa misteriusnya keberadaan naskah Supersemar.

Ada yang bilang naskah asli di tangan M Jusuf, tetapi mantan Pangab yang wafat pada 2004 itu mengatakan naskah asli ada di tangan Soeharto sendiri. Berbagai versi pun diciptakan, sementara naskah asalinya hingga kini tetap tidak diketahui.

Praksis Politik Machiavellian

Kelihaian Soeharto dalam mengemas kudetanya lewat Supersemar dan segala tindakannya sesudah memegang dan meraih kekuasaan, mengingatkan penulis pada pemikiran dasar Niccolo Machiavelli tentang politik.

Seperti diketahui, filsuf berdarah Yahudi bernama Italia yang hidup pada 1469–1527 itu sangat diagungkan para diktator dan politikus yang doyan menghalalkan berbagai cara, seperti tampak dari karya abadinya, Il Principe.

Sebenarnya, lewat karya-karyanya, Machiavelli layak disebut sebagai peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekulerisasi (desakralisasi) politik.

Namun publik, termasuk para diktator atau politikus banal negeri ini, lebih menyukai tafsir Machiavelli sebagai penganjur politik menghalalkan semua cara. Dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, segala cara bisa ditempuh, mulai dengan berbohong hingga membunuh.

Kalau kita menyimak 32 tahun kekuasaan Pak Harto, praksis (teori dan praktik) politik yang machiavellian dengan mengabaikan etika atau moral memang amat menonjol.

Semua hal terpusat pada Soeharto dan bagaimana kekuasaannya bisa dilanggengkan di tangannya. Memang ada pemilu atau parpol, tetapi semua dibuat skenarionya demi menunjukkan pada publik dunia seolah dia demokrat. Padahal, nyatanya tak ada demokrasi.

Media pun dibungkam, kalau macam-macam, diberedel. Penyingkiran lawan politik seperti pembuangan ke Buru, penembakan misterius, dan penculikan para mahasiswa, sungguh mengabaikan etika. Martabat manusia bisa dikorbankan demi kekuasaan. Tidak heran korupsi dan segala bentuk KKN lain mulai tumbuh subur di era Pak Harto.

Harus kita akui, praksis politik di Tanah Air hingga kini masih bercorak machiavellian, karena anak didik Orde Baru atau mereka yang mengecap nilai-nilai Orde Baru masih “berjibun” di jajaran birokrasi yang tak tersentuh reformasi, kendati wacana reformasi birokrasi kerap didengungkan. Orientasi politik sebagian besar kalangan juga masih pada jabatan alias kekuasaan.

Simak kasus Wisma Atlet yang menyeret para politikus muda kita. Ini adalah contoh bahwa corak machiavellian itu tidak sirna begitu saja setelah Soeharto tidak ada. Kesejahteraan atau kekayaan untuk diri sendiri lebih diutamakan. Kesejahteraan hanya dirasakan segelintir orang yang beruntung memegang kekuasaan.

Aparat hukum pun suka memanipulasi hukum. Keadilan merupakan barang langka. Rakyat yang terkena busung lapar atau gizi buruk tak dipikirkan. Kemiskinan malah dijadikan jualan politik, termasuk data jumlah kaum miskin yang bisa dimanipulasi.

Ke depan kita tidak bisa mengharapkan banyak perubahan signifikan, jika para politikus dan pemegang amanat rakyat masih melakukan praksis politik machiavellian, yang kini tersebar di segenap lini eksekutif, legislatif, dan yudikatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar