Penyakit
Birokrasi
Dewi Aryani, KANDIDAT DOKTOR ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
UI,
ANGGOTA
DPR RI FRAKSI PDI PERJUANGAN
SUMBER : REPUBLIKA, 10 Maret 2012
“Vices, maladies, and sickness of bureaucracy
constitute bureau pathologies. They are not individual failings of individuals
who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that
cause individuals within them to be guilty of malpractices,” (Gerald E Caiden, 1991).
Gayus
Tambunan dan Dhana Widyatmika tiba-tiba saja mendadak menjadi orang yang
terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi
meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah
memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia.
Tidak
semua birokrat seperti Gayus dan Dhana, tetapi kelemahan sistem organisasi
seperti dituliskan oleh Caiden-seorang pakar ternama reformasi
administrasi--telah membentuk citra menyeluruh tentang buruknya birokrasi
Indonesia. Tulisan singkat ini akan menjelaskan bagaimana fenomena Gayusisme
dan Dhanaisme sebagai salah bentuk penyakit birokrasi terparah di negeri ini.
Maladministrasi Sistemis
Apa
yang terjadi dalam kasus Gayus dan Dhana sebenarnya bukanlah hal yang baru
dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar
dibandingkan dengan kasus-kasus serupa yang belum atau tidak terungkap.
Tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus dan Dhana juga kasus-kasus lainnya.
Tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus dan Dhana juga kasus-kasus lainnya.
Maladministrasi
yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme dan Dhanaisme atau nama
lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang
bersifat individual, melainkan timbul karena kelemahan sistematis dari
organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara, dan lembaga pemasyarakatan
mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme
dan Dhanaisme. Tetapi, apakah kita akan memenjarakan semua birokrat dengan
predikat Gayusisme dan Dhanaisme serta mengatakan hal tersebut sebagai
penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.
Caiden
mendefinisikan maladministrasi sebagai administrative
action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or
conduct. Pakar administrasi negara yang lain seperti Kenneth Wheare
menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi, seperti illegality, corruption, neglect, perversity (ketidakwajaran), turpitude (kejahatan/kekejian), discourtesy, dan misconduct. Bahkan, Caiden sendiri menyebutkan ada 175 penyakit birokrasi
yang sering kali terjadi dan dilakukan oleh birokrat.
Didorong
oleh rasa ingin tahu, penulis mencermati dan menganalisis seluruh penyakit yang
disebutkan oleh Caiden tersebut terjadi di dalam konteks birokrasi di Indonesia
pada saat ini. Coba kita bayangkan, menderita satu macam penyakit saja sering
kali sudah sangat menyusahkan, apalagi menderita 175 jenis penyakit dalam waktu
yang bersamaan. Jumlah patologi birokrasi ini sebenarnya bisa lebih banyak di
Indonesia, mengingat penyakit birokrasi daerah tropis akan berbeda dengan
birokrasi daerah subtropis seperti menjadi konteks dalam tulisan Caiden.
Maladministrasi
sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematis, bukan individual.
Bahkan, individu yang memiliki karakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak
akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi, karena serangan penyakit
yang demikian kompleks. Birokrat yang semacam ini memiliki tiga pilihan, yaitu
menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak
menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.
Fenomena
Gayus, Dhana, dan namanama birokrat lainnya yang akan muncul serta menjadi
bagian dari sindrom Gayusisme atau Dhanaisme adalah patologi birokrasi yang
sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita, merusak sel-sel
produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua pejabat dalam semua
strata.
Sebagai
individu yang memiliki selfinterest, dalam sistem yang korup para birokrat akan
memilih menjadi bagian dari sistem tersebut, daripada harus menjadi pesakitan
yang dianggap memiliki perilaku menyimpang. Itu sebabnya, mayoritas birokrat
sebenarnya sangat berpotensi mengidap penyakit sindrom Gayusisme dan Dhanaisme
yang bersifat menular dan menahun.
Terapi Radikal
Sebenarnya,
diagnosis terhadap patologi birokrasi di Indonesia sudah lama dilakukan.
Bahkan, setiap masyarakat selalu merasakan dampak dari penyakit birokrasi dalam
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan. Tetapi, tampaknya seperti orang yang
sudah mengalami ketergantungan pada obat, tidak mudah mengatasi
penyakit-penyakit birokrasi tersebut.
Problem
dasar yang kita hadapi adalah komitmen politik untuk melakukan terapi terhadap
penyakit tersebut. Karena jenis penyakit yang diderita sangat kompleks dan
melibatkan lebih dari 175 penyakit sehingga dibutuhkan tidak saja komitmen
politik yang tidak terbatas, tetapi juga terapi yang tepat. Munculnya korupsi
ala Gayus dan Dhana yang telah menjadi isu nasional harus bisa dijadikan momentum
pengobatan penyakit birokrasi secara menyeluruh.
Perintah
Presiden untuk mengungkap tuntas kasus mafia pajak dan mafia kasus tidak boleh
hanya berhenti sebagai sindrom paruh waktu, tetapi harus terus bergulir menjadi
semangat dan gerakan reformasi birokrasi secara menyeluruh.
Karena pada dasarnya, korupsi yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri sendiri, tetapi juga melibatkan penegak hukum dan politisi. Maka itu, terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal.
Karena pada dasarnya, korupsi yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri sendiri, tetapi juga melibatkan penegak hukum dan politisi. Maka itu, terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal.
Terapi
ini dilakukan, antara lain, dengan memutus media pertukaran kewenangan yang
melibatkan pejabat birokrasi, pejabat penegak hukum, dan politisi. Reformasi
birokrasi juga harus meliputi pengawasan yang ketat dan konsisten terhadap para
pejabat birokrasi dan penegak hukum dengan metode pembuktian terbalik atas
kekayaan yang dimilikinya.
Pada sisi yang lain, promosi jabatan dalam
birokrasi harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan catatan kompetensi dan
kinerja. Berbagai perbaikan sistem yang radikal ini diharapkan dapat menjadi
obat pamungkas untuk mengurangi patologi dalam birokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar