Sabtu, 10 Maret 2012

Penyakit Birokrasi


Penyakit Birokrasi
Dewi Aryani, KANDIDAT DOKTOR ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UI,
ANGGOTA DPR RI FRAKSI PDI PERJUANGAN
SUMBER : REPUBLIKA, 10 Maret 2012



Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureau pathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be guilty of malpractices,” (Gerald E Caiden, 1991).

Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika tiba-tiba saja mendadak menjadi orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia.

Tidak semua birokrat seperti Gayus dan Dhana, tetapi kelemahan sistem organisasi seperti dituliskan oleh Caiden-seorang pakar ternama reformasi administrasi--telah membentuk citra menyeluruh tentang buruknya birokrasi Indonesia. Tulisan singkat ini akan menjelaskan bagaimana fenomena Gayusisme dan Dhanaisme sebagai salah bentuk penyakit birokrasi terparah di negeri ini.

Maladministrasi Sistemis

Apa yang terjadi dalam kasus Gayus dan Dhana sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar dibandingkan dengan kasus-kasus serupa yang belum atau tidak terungkap.
Tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus dan Dhana juga kasus-kasus lainnya.

Maladministrasi yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme dan Dhanaisme atau nama lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, melainkan timbul karena kelemahan sistematis dari organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara, dan lembaga pemasyarakatan mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme dan Dhanaisme. Tetapi, apakah kita akan memenjarakan semua birokrat dengan predikat Gayusisme dan Dhanaisme serta mengatakan hal tersebut sebagai penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.

Caiden mendefinisikan maladministrasi sebagai administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or conduct. Pakar administrasi negara yang lain seperti Kenneth Wheare menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi, seperti illegality, corruption, neglect, perversity (ketidakwajaran), turpitude (kejahatan/kekejian), discourtesy, dan misconduct. Bahkan, Caiden sendiri menyebutkan ada 175 penyakit birokrasi yang sering kali terjadi dan dilakukan oleh birokrat.

Didorong oleh rasa ingin tahu, penulis mencermati dan menganalisis seluruh penyakit yang disebutkan oleh Caiden tersebut terjadi di dalam konteks birokrasi di Indonesia pada saat ini. Coba kita bayangkan, menderita satu macam penyakit saja sering kali sudah sangat menyusahkan, apalagi menderita 175 jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan. Jumlah patologi birokrasi ini sebenarnya bisa lebih banyak di Indonesia, mengingat penyakit birokrasi daerah tropis akan berbeda dengan birokrasi daerah subtropis seperti menjadi konteks dalam tulisan Caiden.

Maladministrasi sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematis, bukan individual. Bahkan, individu yang memiliki karakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi, karena serangan penyakit yang demikian kompleks. Birokrat yang semacam ini memiliki tiga pilihan, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.

Fenomena Gayus, Dhana, dan namanama birokrat lainnya yang akan muncul serta menjadi bagian dari sindrom Gayusisme atau Dhanaisme adalah patologi birokrasi yang sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita, merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua pejabat dalam semua strata.

Sebagai individu yang memiliki selfinterest, dalam sistem yang korup para birokrat akan memilih menjadi bagian dari sistem tersebut, daripada harus menjadi pesakitan yang dianggap memiliki perilaku menyimpang. Itu sebabnya, mayoritas birokrat sebenarnya sangat berpotensi mengidap penyakit sindrom Gayusisme dan Dhanaisme yang bersifat menular dan menahun.

Terapi Radikal

Sebenarnya, diagnosis terhadap patologi birokrasi di Indonesia sudah lama dilakukan. Bahkan, setiap masyarakat selalu merasakan dampak dari penyakit birokrasi dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan. Tetapi, tampaknya seperti orang yang sudah mengalami ketergantungan pada obat, tidak mudah mengatasi penyakit-penyakit birokrasi tersebut.

Problem dasar yang kita hadapi adalah komitmen politik untuk melakukan terapi terhadap penyakit tersebut. Karena jenis penyakit yang diderita sangat kompleks dan melibatkan lebih dari 175 penyakit sehingga dibutuhkan tidak saja komitmen politik yang tidak terbatas, tetapi juga terapi yang tepat. Munculnya korupsi ala Gayus dan Dhana yang telah menjadi isu nasional harus bisa dijadikan momentum pengobatan penyakit birokrasi secara menyeluruh.

Perintah Presiden untuk mengungkap tuntas kasus mafia pajak dan mafia kasus tidak boleh hanya berhenti sebagai sindrom paruh waktu, tetapi harus terus bergulir menjadi semangat dan gerakan reformasi birokrasi secara menyeluruh.
Karena pada dasarnya, korupsi yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri sendiri, tetapi juga melibatkan penegak hukum dan politisi. Maka itu, terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal.

Terapi ini dilakukan, antara lain, dengan memutus media pertukaran kewenangan yang melibatkan pejabat birokrasi, pejabat penegak hukum, dan politisi. Reformasi birokrasi juga harus meliputi pengawasan yang ketat dan konsisten terhadap para pejabat birokrasi dan penegak hukum dengan metode pembuktian terbalik atas kekayaan yang dimilikinya.

Pada sisi yang lain, promosi jabatan dalam birokrasi harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan catatan kompetensi dan kinerja. Berbagai perbaikan sistem yang radikal ini diharapkan dapat menjadi obat pamungkas untuk mengurangi patologi dalam birokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar