Politik
Selembar Foto
Muhidin M Dahlan, PENULIS
TRILOGI LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU (2008),
TINGGAL DI YOGYAKARTA
SUMBER : KORAN TEMPO, 10 Maret 2012
Foto hitam-putih yang sudah kabur dan
berbintik itu ada di hampir semua halaman buku ketika cerita sejarah sampai ke
babak Pemberontakan Madiun 1948. Enam mayat menggelimpang dalam galian besar
yang dangkal. Tali-tali tambang putih masih melilit leher dan tangan di
belakang. Saling mengait satu dengan lainnya. Dan sesosok algojo yang mirip
penggali kubur sedang memegang "benda" dengan dua tangannya. Di bawah
foto itu kemudian diberi keterangan: “Korban-korban keganasan PKI Madiun”. Foto
itu terdapat di buku 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1945-1960 (1995: 177)
Selalu saja, untuk menunjukkan kekejaman PKI,
foto inilah yang diajukan ke muka pembelajar sebagai satu-satunya saksi hidup
yang mengutuk PKI dan gerombolannya. Foto ini nyaris suci dan terjaga dengan
cara diproduksi dan reproduksi puluhan kali di puluhan buku ajar untuk
mengukuhkan sejarah resmi penguasa. Selembar foto kutukan kepada kaum pembunuh
yang amoral itu kini dipertanyakan. Bukan gugatan dengan deret ukur argumen,
tapi menampilkan semua frame foto itu. Foto-foto itu terdapat di buku Madiun
1948: PKI Bergerak (2011: 275-282) karya Harry A. Poeze.
Dalam buku itu ditampilkan 10 frame
foto. Rupanya, foto yang tampil sendiri selama puluhan tahun itu adalah
rangkaian peristiwa. Itu adalah frame kesepuluh. Frame pertama,
bagaimana manusia-manusia bernasib buruk dalam kubur massal itu diinterogasi di
bawah todongan senjata laras panjang. Frame berikutnya, para tahanan itu
diarak dari satu tempat ke tempat lainnya, disuruh menggali sumur matinya,
kemudian ditembaki satu per satu. Yang belum mati dicincang bayonet dan
kemudian diakhiri foto yang terdapat di buku-buku sejarah.
Di sinilah soalnya. Keterangan utama
kesepuluh foto itu adalah bahwa korban-korban itu anggota PKI di Magetan, dan
bukan korban kekejaman PKI. Lebih lanjut, tulis Harry Poeze, memang tak banyak
foto yang menggambarkan kekejaman PKI dalam ofensi Madiun 1948. Selain 10 foto
yang membatalkan ruang sadar kita yang diringkus selama puluhan tahun,
ditampilkan juga lima foto pembantaian anggota PKI di alun-alun Magetan.
Disaksikan ratusan warga, "algojo" PKI bernama Sipong itu dinaikkan
di atas perancah tinggi. Tubuh bermandi darah itu kemudian dilempar, dan warga
diberi hak mencincangnya sampai mati. Nyaris sama dengan frame kamera
video adegan pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan petani
Mesuji, Lampung.
Dari foto-foto itu, tahulah kita foto bukan
sekadar pelengkap dari teks pada sebuah buku. Foto memiliki peran penting,
bahkan boleh dibilang kuat-otonom. Dan yang pasti, foto menjadi saksi paling
menggetarkan ketika sejarah sedang berlangsung. Bukan hanya foto "kekejaman
PKI" yang punya takdir seorang diri maju ke hadapan mahkamah sejarah
memberi pendapat visual pada sebuah peristiwa penting. Contoh lain adalah foto
pembacaan teks Proklamasi dan pengibaran bendera Sang Saka di Pegangsaan Timur,
Jakarta, dari Mendur Bersaudara. Dua lembar foto dan hanya dua-duanya di dunia
yang menggambarkan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa sakral politik itu.
Tentu yang mencengangkan adalah selembar foto saat Presiden Sukarno dan
Panglima Besar Jenderal Soedirman berpelukan di serambi Gedung Agung Yogyakarta
pada 10 Juli 1949.
Foto itu ingin memperlihatkan kepada rakyat
bagaimana mesra dan akurnya pemimpin politik dan militer yang
sebelum-sebelumnya mengalami keretakan yang hebat karena perbedaan strategi:
diplomasi atau perang. Peristiwa itu adalah "politik foto" karena tak
terjadi begitu saja. Sukarno-lah yang menjadi sutradara mengatur pose
berpelukan itu. Bahkan beberapa kali fotografer diminta Sukarno mengulang
mengambil gambar ketika ia merasa kurang tepat.
Foto pun menjadi drama politik. Ia tak
netral. Bisa diatur untuk kepentingan apa pun. Ketika ada peristiwa penting,
dan Saudara masuk dalam frame, pastilah Saudara bernasib mujur atau
malah buntung. Mujur, jika foto itu seperti peristiwa pembacaan teks
Proklamasi. Tapi nasib buntung dan menerbitkan waswas ketika peristiwa dalam
foto itu adalah hal yang tak disukai penguasa (baca: tentara).
Demikian itulah yang digambarkan Milan
Kundera di halaman pertama bukunya yang terkenal: Kitab Lupa dan Gelak Tawa
(terbit pertama kali 1978). Februari 1948, pemimpin Komunis Klement Gottwald
melangkah keluar menuju balkon sebuah istana Barok di Praha untuk berpidato.
Salah satu pengapit Gottwald, Clementis, menanggalkan topi bulunya buat Sang
Ketua karena salju lebat turun. Foto terkenal itu disebarkan ribuan kopi karena
dipakai sebagai patok sejarah: di atas balkon itulah Partai Komunis lahir.
Empat tahun kemudian Clementis dituduh
berkhianat dan digantung. Foto Clementis yang sudah kadung tercetak di foto
bersejarah itu, oleh seksi propaganda partai, segera dihapus. Hasil cropping
itu: Gottwald sendiri berdiri di balkon. Satu-satunya yang tersisa dari
Clementis hanyalah topi yang terpacak di kepala Gottwald. Peristiwa “foto
politik” itulah yang melatari munculnya kutipan paling terkenal dari Kundera:
“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar